JAYAPURA, ODIYAIWUU.com — Pembentukan Komando Operasi (Koops) Habema dinilai United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) bentuk justifikasi Pemerintah Indonesia untuk mendorong mobilisasi aparat keamanan ke tanah Papua.
Tujuannya, tak lain untuk menduduki wilayah yang kaya potensi sumber daya alam (SDA) dan menciptakan ketakutan meluas terhadap penduduk asli Papua.
“Berdasarkan informasi yang kami miliki Indonesia telah menempatkan 47.261 personil aparat keamanan di tanah Papua. Sekitar 24 ribu personil telah dimobilisasi ke titik konflik yang masih bergolak,” ujar Presiden Eksekutif ULMWP Menase Tabuni melalui keterangan tertulis yang beredar di sejumlah media lodal dan diperoleh Odiyaiwuu.com dari Jayapura, Papua, Senin (4/3).
Menurut Tabuni, Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto pada Rabu (28/2) mengumumkan pembentukan Koops Habema sebagai format operasi gabungan TNI dan Polri untuk menangani konflik di tanah Papua.
Koops ini mengadopsi nama Danau Habema di wilayah Nduga yang kemudian didefinisikan sebagai singkatan dari ‘Harus Berhasil Maksimal’ (Habema). Koops Habema direncanakan memakai strategi smart power dengan pendekatan soft power, hard power, dan diplomasi militer.
“Selama periode konflik antara 2017-2023, Dewan Gereja Papua melaporkan bahwa 63.490 warga telah mengungsi untuk mencari lokasi aman di kabupaten lain maupun ke Papua New Guinea,” kata Tabuni lebih lanjut.
Menurut Tabuni, penempatan militer Indonesia di tanah Papua memiliki keterkaitan erat dengan keberadaan perusahaan yang beroperasi untuk kepentingan bisnis konglomerat dan politisi Indonesia tanpa berkonsultasi dengan orang asli Papua.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Nasional Indonesia, ujar Tabuni, sampai dengan tahun 2015 terdapat 7.478 perusahaan industri dari berbagai sektor yang eksis di Provinsi Papua.
“Sedangkan di sektor pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam, sebanyak 23.830.632 hektar telah dijadikan sebagai area konsesi bagi 445 perusahaan yang mencakup mineral, minyak, gas, hutan dan Perkebunan,” kata Tabuni lebih lanjut.
Pihaknya menegaskan, sikap Pemerintah Indonesia cenderung ambigu dalam menangani konflik Papua. Beberapa inisiatif lokal yang diajukan untuk menyelesaikan konflik Papua secara damai dan bermartabat, telah diabaikan oleh Pemerintah Indonesia.
Sementara di tingkat internasional, pemerintah Indonesia giat mendorong penyelesaian damai konflik di Palestina, Myanmar, Uighur dan sebagainya.
Selama lebih dari enam dekade pendudukan Indonesia di tanah Papua, kata Tabuni, berbagai kebijakan Indonesia telah menempatkan orang Papua dalam ancaman genosida, ekosida, dan etnosida.
“Kami menilai, orang Papua tidak memiliki masa depan bersama dengan Indonesia. Kami menyerukan kepada berbagai pihak agar dapat bekerja sama untuk mendorong upaya penyelesaian konflik Papua secara damai dan bermartabat, sehingga menghindari jatuhnya korban di kedua belah pihak,” ujar Tabuni. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)