Menakar Makna Kehadiran Negara di Papua - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan
OPINI  

Menakar Makna Kehadiran Negara di Papua

Dr Ansel Atasoge, S.Fil, M.Th, Doktor Studi Islam lulusan Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Foto: Istimewa

Loading

Oleh Ansel Atasoge

Doktor Studi Islam Alumni UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta

PENEMPATAN Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka oleh Presiden Prabowo Subianto untuk berkantor langsung di Papua dan menangani konflik di wilayah tersebut bukan sekadar langkah administratif. Hemat penulis, kebijakan itu juga merupakan tindakan yang mengandung makna simbolik dan sosiologis yang dalam. 

Dari sudut pandang sosiologi agama, kebijakan ini dapat dimaknai sebagai bentuk sakralisasi institusi negara. Sebuah proses di mana kehadiran pejabat tinggi negara di Papua menjadi simbol kehadiran negara yang “sakral”. Artinya, kehadiran negara memiliki daya transenden dalam membentuk kesadaran kolektif masyarakat. 

Di wilayah yang telah lama mengalami alienasi struktural dan kultural ini, kehadiran Wakil Presiden berpotensi membangkitkan harapan baru, sekaligus menimbulkan tantangan besar dalam pemenuhan ekspektasi sosial yang telah lama terpendam.

Papua tidak dapat dilihat semata sebagai wilayah administratif atau bentang geografis. Ia adalah ruang sosial yang menyimpan luka historis, spiritual, dan kultural yang kompleks. Konflik yang terjadi tidak dapat diselesaikan hanya melalui pembangunan fisik atau pendekatan ekonomi berbasis infrastruktur. 

Berbagai kajian dan pemikiran dari para akademisi serta aktivis hak asasi manusia (HAM) mengungkapkan, akar konflik di Papua tidak bisa dilepaskan dari dinamika sosial-politik yang kompleks dan berlapis. 

Dalam buku Pembangunan, Marginalisasi, dan Disintegrasi Papua, tiga tokoh penting yakni Cahyo Pamungkas, Elvira Rumkabu, dan Yuliana Langowuyo menyampaikan kritik tajam terhadap model pembangunan yang diterapkan di Papua. 

Menurut mereka, pembangunan yang bersifat ekstraktif dan sentralistik justru memperparah ketimpangan sosial serta meminggirkan peran dan hak-hak masyarakat adat Papua. Pola pembangunan seperti ini dipandang tidak sensitif terhadap struktur budaya lokal dan kerap menimbulkan konflik baru yang berakar pada rasa ketidakadilan.

Sementara itu, hasil penelitian Robert Hendrik dan Endah Ratna Sonya dalam Humaya menyajikan analisis sosiologis yang mengidentifikasi akar konflik Papua sebagai kombinasi dari beberapa faktor krusial: diskriminasi struktural, pelanggaran HAM, eksploitasi sumber daya alam tanpa partisipasi komunitas lokal, serta ketimpangan pembangunan yang terjadi secara sistemik. 

Penelitian mereka menegaskan bahwa konflik di Papua tidak dapat diselesaikan hanya dengan pendekatan ekonomi atau keamanan semata, tetapi harus dilihat sebagai gejala dari ketimpangan relasi kuasa antara pusat dan daerah.

Kontribusi pemikiran Richard Chauvel, seorang sejarawan politik yang lama mengkaji Papua, memperdalam pemahaman atas persoalan tersebut. Ia merumuskan empat dimensi utama yang menjadi pemicu ketegangan sosial-politik: kekecewaan terhadap proses integrasi Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dominasi pejabat non-Papua dalam birokrasi lokal, marginalisasi penduduk asli dalam kehidupan publik, dan kegagalan pembangunan yang tidak menyentuh kebutuhan riil masyarakat.

Tuntutan Kemerdekaan

Temuan serupa juga diangkat tim studi Papua dari YAPPIKA yang mengatakan, tuntutan kemerdekaan tidak muncul secara spontan, melainkan sebagai respons terhadap sejarah panjang ketidakadilan. Mereka menggarisbawahi tiga faktor utama yang menjadi pemicu: ketegangan historis, pencarian identitas dan nasionalisme Papua, serta eksploitasi sumber daya alam yang dilakukan tanpa mekanisme perlindungan budaya dan hak kolektif masyarakat Papua.

Sedangkan Frits B. Ramandey dari Komnas HAM Papua dan Akia Wenda dari komunitas Pemuda Gereja Papua menyoroti bahwa pelanggaran HAM, pendekatan militer yang represif, dan eksploitasi sumber daya alam (SDA) menjadi tiga elemen yang paling sering disebut dalam keluhan masyarakat terhadap negara. 

Kedua tokoh ini menegaskan, solusi atas konflik Papua menuntut keadilan substantif yang diimplementasikan melalui mekanisme politik, hukum, dan sosial yang menyentuh pengalaman nyata masyarakat Papua.

Sebagaimana ditunjukkan oleh kajian-kajian di atas, akar persoalan Papua mencakup marginalisasi budaya, peminggiran identitas lokal, pelanggaran HAM, eksploitasi SDA yang dilakukan tanpa partisipasi masyarakat adat, dan ketimpangan pembangunan yang berlangsung secara sistemik. 

Dalam konteks ini, kelompok pro-kemerdekaan seperti Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat, sayap militer Organisasi Papua Merdeka (TPNPB OPM) telah menyatakan bahwa pembangunan bukanlah jawaban utama atas persoalan Papua. Yang mereka tuntut jauh lebih fundamental: pengakuan atas eksistensi dan sejarah masyarakat Papua, rekonsiliasi simbolik dan spiritual, serta partisipasi aktif dalam proses sosial-politik yang menyentuh akar persoalan.

Sebagai ruang sosial yang terluka, Papua menuntut pendekatan yang lebih manusiawi dan berdimensi kultural. Kebutuhan akan dialog terbuka dan rekonsiliasi yang mencakup unsur lokal termasuk tokoh adat, tokoh agama, dan pemuda menjadi keharusan yang tak terhindarkan. 

Dalam kerangka ini, kehadiran Wakil Presiden bukan sekadar simbol kekuasaan negara, tetapi juga harus mampu menjadi aktor sosial yang memahami nilai-nilai spiritual dan kultural masyarakat Papua. Hemat saya, tanpa itu, kebijakan sebaik apa pun akan sulit memperoleh legitimasi sosial yang sejati.

Dalam kerangka pemikiran Peter L. Berger, negara tidak hanya berfungsi sebagai entitas politik yang mengatur kehidupan warga secara administratif, melainkan juga beroperasi dalam wilayah simbolik yang sarat akan makna spiritual. Berger menjelaskan bagaimana institusi politik dapat mengalami proses sakralisasi, yakni transformasi dari struktur sosial biasa menjadi struktur yang dipersepsi oleh masyarakat sebagai memiliki nilai transenden. 

Pengelola Kekuasaan

Dalam proses ini, negara tampil bukan sekadar sebagai pengelola kekuasaan, tetapi sebagai pembentuk realitas sosial yang menyentuh aspek terdalam kehidupan kolektif. Ketika negara menghadirkan simbol-simbol kekuasaan seperti penempatan kantor Wakil Presiden di Papua, masyarakat tidak memaknainya secara sederhana sebagai program kerja atau langkah administratif. 

Sebaliknya, simbol ini diinterpretasikan sebagai perwujudan dari kehadiran negara yang secara spiritual hadir untuk menyentuh, mengakui, dan merawat ruang sosial yang telah lama merasa terasing. Kantor tersebut bukan hanya bangunan fisik. Lebih dari itu, ia diharapkan menjadi representasi dari pengharapan akan negara yang inklusif dan komunikatif.

Namun, Berger juga menggarisbawahi risiko dari sakralisasi yang tidak ditopang oleh praksis sosial yang nyata. Simbol dapat kehilangan maknanya, bahkan menjadi bumerang, ketika tidak disertai oleh keterlibatan aktif, komunikasi horizontal, dan kebijakan yang menyentuh kebutuhan riil masyarakat. 

Dalam konteks Papua, harapan terhadap kehadiran Wakil Presiden sangat tinggi dan telah termanifestasi dalam bentuk ekspektasi spiritual dan kultural. Apabila simbol kekuasaan ini tidak berkembang menjadi tindakan yang berdampak secara sosial dan emosional, maka ia justru berpotensi memperdalam jarak psikologis antara negara dan rakyatnya: menambah rasa keterasingan, bukan menguranginya.

Dalam pemikiran klasik Max Weber, legitimasi kekuasaan tidak semata-mata ditentukan oleh legalitas formal yang melekat pada jabatan, melainkan juga oleh dimensi karismatik dan penerimaan sosial yang bersifat dinamis. Kekuasaan yang sah, menurut Weber, harus mampu menyentuh lapisan terdalam dari kesadaran kolektif masyarakat yakni kepercayaan, pengakuan, dan rasa keterhubungan terhadap pemimpin sebagai representasi nilai-nilai yang hidup dalam komunitas. 

Dalam konteks penugasan Gibran di Papua, tantangan yang dihadapi bukan hanya administratif, tetapi juga simbolik dan sosiologis. Utamanya adalah bagaimana menjadikan dirinya bukan sekadar pejabat negara, melainkan figur dialogis yang mampu menjembatani kepentingan pemerintah pusat dengan aspirasi masyarakat Papua yang kompleks dan beragam. Dan, ini  tentu bukan perkara gampangan.

Weber juga menekankan pentingnya konsep verstehen, yakni pemahaman subjektif terhadap tindakan sosial yang tidak bisa dicapai hanya melalui observasi eksternal, tetapi harus melalui proses empatik dan interpretatif. Kehadiran Gibran di Papua agar bermakna secara sosial, harus dilandasi oleh pemahaman mendalam terhadap nilai-nilai lokal, spiritualitas masyarakat adat, serta sejarah dan trauma kolektif yang membentuk identitas sosial Papua. 

Tanpa verstehen kebijakan yang diambil berisiko menjadi instrumen kekuasaan yang kering makna, dan legitimasi yang dibangun akan bersifat rapuh. Dan karena itu, mudah runtuh ketika tidak mampu menjawab harapan dan kebutuhan masyarakat secara substansial.

Kehadiran Fisik

Dengan demikian, penugasan ini menuntut lebih dari sekadar kehadiran fisik atau pelaksanaan program kerja. Ia menuntut kehadiran yang reflektif, komunikatif, dan transformative. Di sini, kekuasaan tidak hanya dijalankan, tetapi juga dipahami dan diterima sebagai bagian dari proses rekonsiliasi sosial yang berkelanjutan.

Agar penugasan Gibran di Papua tidak terjebak dalam simbolisme belaka, diperlukan strategi yang bersifat holistik dan inklusif. Pendekatan yang dijalankan tidak hanya menyentuh aspek struktural pemerintahan, tetapi juga meresapi kedalaman sosial, budaya, dan spiritual masyarakat Papua. 

Strategi semacam ini harus dimulai dengan pembentukan badan lintas kementerian yang secara khusus menangani isu Papua secara komprehensif, melintasi batas sektoral dan birokrasi. Badan ini perlu memiliki mandat yang kuat untuk mengintegrasikan kebijakan pembangunan, rekonsiliasi, dan perlindungan hak-hak masyarakat adat.

Lebih jauh, pelibatan tokoh adat, pemuka gereja, dan pemuda lokal sebagai mitra dialog bukanlah pelengkap formalitas. Bagi saya, ini merupakan bagian inti dari proses rekonstruksi sosial. Mereka adalah penjaga nilai-nilai lokal dan spiritualitas yang telah lama menjadi fondasi kehidupan masyarakat Papua. 

Dalam konteks ini, penggunaan mediator independen menjadi penting untuk menjembatani komunikasi antara pemerintah dan kelompok oposisi, termasuk mereka yang selama ini berada di luar struktur formal negara. Dialog yang terbuka dan setara hanya mungkin terjadi jika semua pihak merasa didengar dan dihargai.

Pengakuan terhadap spiritualitas lokal sebagai bagian dari proses rekonsiliasi bukanlah romantisasi budaya, melainkan pengakuan atas sistem makna yang hidup dan mengikat masyarakat Papua. Dalam kerangka pemikiran Peter Berger, agama dan simbol-simbol sakral memainkan peran sentral dalam membentuk nomos: tatanan makna yang memberi orientasi dan stabilitas dalam kehidupan sosial. 

Ketika negara hadir di Papua, ia tidak hanya membawa kebijakan, tetapi juga simbol-simbol kekuasaan yang dapat dimaknai secara sakral oleh masyarakat. Jika simbol tersebut tidak diiringi oleh tindakan nyata dan penghormatan terhadap nilai-nilai lokal, maka ia berisiko menjadi sumber disonansi sosial dan kekecewaan kolektif.

Tinggalkan Komentar Anda :