OPINI  

Memperkuat Perempuan Adat Papua, Memajukan Bangsa

Dr Yosua Noak Douw, S.Sos, M.Si, MA, doktor lulusan Universitas Cenderawasih, Jayapura, Papua. Foto: Istimewa

Oleh Yosua Noak Douw

Doktor lulusan Universitas Cenderawasih, Jayapura, Papua 

PEPATAH lama mengatakan, perempuan yang hebat melahirkan bangsa yang kuat. Frasa ini sangat relevan ketika kita membicarakan perempuan adat Papua. Perempuan adat Papua bukan sekadar individu dalam rumah tangga. Namun, lebih dari itu mereka penjaga pengetahuan tradisional, penggerak ekonomi keluarga, dan pelindung ekosistem menopang kehidupan masyarakat adat selama berabad-abad.

Di balik peran strategis itu, perempuan adat Papua juga masuk dalam situasi yang paradoks. Mereka dihormati secara kultural, tetapi termarjinalisasi dalam struktur politik, hukum, dan pembangunan modern. Realitas ini menimbulkan pertanyaan kritis: sejauh mana negara sungguh mengakui, melindungi, dan memberdayakan perempuan adat Papua?

Secara formal, regulasi nasional dan daerah telah memberikan landasan hukum untuk melindungi masyarakat adat, termasuk perempuan. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, misalnya, menetapkan kuota keterwakilan perempuan minimal 30 persen di DPR Provinsi (DPRP) dan DPR Kabupaten/Kota (DPRK).

Tetapi kenyataan menunjukkan, hanya 15 persen perempuan yang berhasil duduk di DPRP periode 2019–2024. Artinya, janji regulasi tidak otomatis berbuah pada keterwakilan substantif. Selain itu, RUU Masyarakat Adat yang sudah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sejak 2009 hingga kini belum juga disahkan. 

RUU ini sebenarnya bisa menjadi payung hukum penting bagi perlindungan tanah, sumber daya alam, dan hak budaya masyarakat adat. Sayangnya, tarik-menarik kepentingan politik dan ekonomi membuat regulasi ini tertunda, sehingga perempuan adat tetap berada pada posisi rentan.

Posisi Perempuan di Tingkat Lokal

Di tingkat daerah, Peraturan Daerah (Perda) Papua Nomor 5 Tahun 2022 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat memberi pengakuan atas hak-hak adat, termasuk hak perempuan. Perda ini progresif karena mengatur restitusi dan kompensasi atas pengambilalihan tanah adat.

Namun, implementasinya menghadapi kendala: kapasitas kelembagaan terbatas, koordinasi lintas sektor lemah, dan target pendataan enam bulan terlalu ambisius mengingat luas dan kompleksitas Papua.

Artinya, ada jurang lebar antara hukum di atas kertas dan pelaksanaannya di lapangan. Janji regulasi tidak cukup tanpa komitmen politik, pendanaan, dan keberanian melawan kepentingan besar yang sering mengabaikan hak masyarakat adat. Beberapa perspektif teoretis membantu kita memahami posisi perempuan adat Papua secara lebih kritis.

Pertama, ecofeminism menghubungkan penindasan terhadap perempuan dengan eksploitasi terhadap alam. Perempuan adat Papua yang menjaga hutan sagu, kopi, atau lahan ubi jalar melihat alam bukan sekadar sumber ekonomi, melainkan bagian dari siklus kehidupan. Perlawanan mereka terhadap perampasan tanah adalah perlawanan ekologis sekaligus feminis.

Kedua, indigenous feminism menekankan bahwa pengetahuan lokal perempuan adat —seperti pengobatan tradisional, teknik berladang, dan adaptasi iklim— adalah epistemologi sah yang harus diakui. Sayangnya, pembangunan sering mengabaikan hal ini.

Ketiga, postcolonial theory mengingatkan bahwa marginalisasi Papua tidak bisa dilepaskan dari relasi kuasa kolonial: sentralisasi di Jakarta, ekspansi industri, dan kebijakan top-down. Dalam kerangka ini, perempuan adat menghadapi “penjajahan ganda”: sebagai orang Papua dan sebagai perempuan.

Keempat, legal pluralism menegaskan pentingnya pengakuan terhadap hukum adat yang masih hidup di Papua. Regulasi seperti Perda Papua Nomor 5 Tahun 2022 adalah bentuk upaya integrasi hukum negara dengan hukum adat. Namun, pluralisme hukum hanya bermakna jika benar-benar melibatkan perempuan sebagai subjek, bukan objek.

Tantangan Nyata di Lapangan

Tantangan yang dihadapi perempuan adat Papua dapat dilihat dari tiga dimensi utama. Pertama, struktural–politik. Mereka masih dipinggirkan dalam pengambilan keputusan, baik dalam musyawarah adat maupun politik formal. Kuota politik belum diikuti pendidikan politik yang memadai.

Kedua, sosial–budaya. Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) Papua hanya 67,50, jauh di bawah rata-rata nasional 76,26. Ini mencerminkan keterbelakangan dalam pendidikan, kesehatan, dan partisipasi politik. Ketiga, ekonomi–ekologis. Ekspansi industri ekstraktif menyebabkan perampasan tanah yang langsung memukul perempuan.

Misalnya, hilangnya hutan sagu di Sorong Selatan membuat perempuan harus berjalan lebih jauh untuk memenuhi pangan keluarga. Mereka menanggung beban ganda: kerja domestik dan perjuangan mempertahankan sumber hidup.

Selain itu, kekerasan berbasis gender (KBG) masih marak, baik di rumah tangga maupun di ruang publik. Aktivis perempuan adat yang memperjuangkan hutan dan tanah adat sering menghadapi kriminalisasi. Inilah bentuk nyata “kekerasan struktural” yang jarang disorot.

Meski tantangan berat, ada banyak kisah inspiratif dari perempuan adat Papua. Yustina Ogoney, misalnya, berhasil memperjuangkan pengakuan hutan adat seluas 16.299 hektar di Teluk Bintuni. Kepemimpinannya membuktikan bahwa perempuan bisa menjadi agen perubahan.

Di Biak, mama-mama di Kampung Kabidon membentuk Kelompok Tani Hutan dan menanam kembali lahan kritis untuk menjaga sumber air. Di Supiori, perempuan mengembangkan kelompok nelayan yang menjaga pulau dari kerusakan ekologi sekaligus memperkuat ketahanan ekonomi keluarga.

Dalam pemetaan partisipatif wilayah adat, perempuan menjadi narasumber kunci karena ingatan kolektif mereka tentang garis keturunan dan batas wilayah. Tanpa mereka, peta adat akan pincang. Kisah-kisah ini menunjukkan bahwa ketika diberi ruang, perempuan adat bukan hanya bertahan, tetapi juga melahirkan inovasi sosial dan ekologis.

Rekomendasi

Untuk memperkuat posisi perempuan adat Papua, ada beberapa langkah strategis yang bisa diambil. Pertama, regulasi dan kebijakan. DPR dan Pemerintah harus segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat dan RUU Keadilan Iklim dengan melibatkan perempuan adat dalam penyusunannya. Kedua, affirmative action substantive. Kuota 30 persen keterwakilan perempuan harus diiringi pendidikan politik, mentoring, dan dukungan finansial. Tanpa itu, kuota hanya simbol.

Ketiga, pendanaan dan kapasitas. Pemerintah daerah perlu mengalokasikan dana khusus untuk program pemberdayaan perempuan adat, terutama dalam implementasi Perda Papua Nomor 5 Tahun 2022. Keempat, perlindungan dari kekerasan. Dibutuhkan mekanisme perlindungan khusus bagi perempuan adat yang menghadapi intimidasi, baik dari aparat maupun korporasi.

Kelima, ekonomi berkelanjutan (sustainable). Program pemberdayaan berbasis kelestarian seperti pengembangan noken, budidaya sagu, dan pengolahan hasil hutan non-kayu harus didukung. Keenam, pengakuan pengetahuan tradisional. Pengetahuan perempuan adat tentang iklim, obat tradisional, dan pangan lokal perlu didokumentasikan serta diintegrasikan ke dalam kurikulum pendidikan dan kebijakan pembangunan.

Pemberdayaan perempuan adat Papua bukan sekadar urusan keadilan gender, tetapi strategi nasional menghadapi krisis iklim dan ketahanan pangan. Mereka memiliki pengetahuan yang tidak dimiliki teknologi modern sekalipun. Sayangnya, kita lebih sering mendengar suara perusahaan tambang daripada suara perempuan adat. 

Sudah saatnya bangsa ini mengubah paradigma pembangunan: dari eksploitasi menuju keberlanjutan, dari patriarki menuju kesetaraan, dari pusat menuju pinggiran. Perempuan adat Papua adalah kunci dalam transformasi ini.

Perempuan adat Papua adalah agen perubahan (agent of change). Mereka bukan sekadar korban marjinalisasi, melainkan aktor yang mampu memimpin, melestarikan, dan menciptakan masa depan berkelanjutan. Investasi pada perempuan adat berarti investasi pada masa depan Indonesia yang lebih adil, berdaulat, dan lestari. 

Persia seperti pepatah bijak di atas: perempuan yang hebat melahirkan bangsa yang kuat, maka jika kita ingin bangsa ini benar-benar kuat, tidak ada pilihan lain. Negara perlu mendengarkan suara perempuan adat Papua, lindungi hak-hak mereka, dan berikan ruang kepadanya untuk memimpin. Hanya dengan itulah menjadi salah satu pintu masuk memuliakan peran perempuan adat dengan segala kemampuan atau potensi yang lengket dalam dirinya.