OPINI  

Memfederasikan Persatuan Indonesia

Yakobus Dumupa, Orang asli Papua, tinggal di Nabire, Tanah Papua. Foto: Dok. Odiyaiwuu

Loading

Oleh: Yakobus Dumupa
(Orang asli Papua, tinggal di Nabire, Tanah Papua)


Pendahuluan

Indonesia adalah negara besar dengan keragaman luar biasa. Kita memiliki ribuan pulau, ratusan bahasa, beragam adat, agama, dan tradisi. Semua itu adalah kekayaan, tetapi juga tantangan. Para pendiri bangsa memilih bentuk negara kesatuan agar bangsa yang baru merdeka ini bisa tetap utuh. Pilihan itu masuk akal di tengah ancaman Belanda dan ketidakpastian saat itu.

Namun, perjalanan panjang lebih dari tujuh dekade menunjukkan bahwa bentuk negara kesatuan yang terlalu sentralistis melahirkan banyak persoalan. Pusat terlalu dominan, sementara daerah merasa dipinggirkan. Di sinilah muncul gagasan untuk memfederasikan persatuan Indonesia: menjadikan persatuan sebagai kesepakatan sadar antarwilayah dalam bingkai federasi, bukan sekadar ikatan paksa dari pusat.

Luka dari Negara Kesatuan

Bentuk negara kesatuan memang menjaga keutuhan, tetapi ia juga menorehkan banyak luka. Untuk memahami masalah ini, mari kita uraikan satu per satu.

Pertama, pemusatan kekuasaan di Jakarta membuat hampir semua keputusan penting datang dari pusat. Kebijakan pembangunan, perizinan tambang, hingga proyek strategis lebih sering diputuskan elite pusat, meski tidak sesuai kebutuhan lokal. Otonomi daerah pascareformasi tetap terbatas, karena banyak urusan vital tetap dikendalikan pusat.

Kedua, pembangunan tidak merata. Pulau Jawa mendapat jalan tol, kereta cepat, dan bandara modern, sementara Papua, Maluku, NTT, bahkan sebagian Kalimantan masih kesulitan akses dasar. Masyarakat di luar Jawa merasa dianaktirikan meski ikut menyumbang pajak dan sumber daya.

Ketiga, eksploitasi sumber daya alam tidak memberi keadilan. Emas di Papua, minyak di Riau, batubara di Kalimantan, dan hutan di Sumatra menghasilkan pemasukan besar, tetapi masyarakat lokal tetap hidup sederhana. Bahkan tanah adat sering hilang karena izin tambang.

Keempat, identitas lokal sering terpinggirkan. Bahasa daerah kian jarang dipakai, adat dianggap kuno, dan budaya lokal lebih sering jadi tontonan seremonial. Negara kesatuan mendorong keseragaman, padahal keragaman adalah kekuatan.

Kelima, suara politik daerah lemah di pusat. Anggota DPR dari daerah sering kalah oleh dominasi partai besar berbasis Jakarta. Aspirasi lokal tenggelam di tengah kepentingan elite nasional.

Mengapa Federasi Relevan

Jika kesatuan melahirkan luka, federasi bisa menjadi jawabannya. Federasi bukan ancaman, tetapi cara baru untuk membuat persatuan lebih sehat dan adil.

Pertama, federasi membagi kekuasaan dengan jelas. Negara bagian mengatur pendidikan, kesehatan, ekonomi, budaya, dan pertanian sesuai kebutuhan masing-masing. Pemerintah pusat cukup mengurus pertahanan, diplomasi, dan moneter. Dengan begitu, keputusan lebih dekat dengan rakyat.

Kedua, federasi menciptakan keadilan ekonomi. Sumber daya alam dikelola negara bagian, sementara pusat mendapat bagian sesuai kesepakatan. Papua bisa memakai emas dan gasnya untuk membangun sekolah, Maluku bisa mengembangkan lautnya, Kalimantan bisa mengatur hutannya. Tidak ada lagi daerah kaya sumber daya tetapi miskin pembangunan.

Ketiga, federasi menghormati identitas lokal. Bahasa, adat, dan budaya tidak lagi sekadar formalitas, tetapi diakui sebagai bagian hidup berbangsa. Identitas menjadi sumber kebanggaan, bukan ancaman.

Keempat, federasi memperkuat akuntabilitas. Kekuasaan dipegang pemimpin lokal, sehingga rakyat bisa menuntut langsung jika kebijakan salah. Tidak ada lagi alasan menyalahkan pusat.

Kelima, federasi sudah terbukti berhasil di banyak negara besar. Amerika Serikat, India, Jerman, Australia, hingga Malaysia tetap bersatu meski sangat beragam, justru karena mereka berbagi kekuasaan secara adil.

Menjawab Ketakutan

Setiap gagasan federasi biasanya ditolak dengan alasan-alasan klasik. Namun, ketakutan itu bisa dijelaskan.

Pertama, banyak yang khawatir federasi membuka peluang disintegrasi. Padahal justru karena negara kesatuan tidak adil, muncul gerakan separatis. Federasi bisa membuat daerah puas dengan otonomi nyata sehingga tidak perlu lagi ada tuntutan keluar.

Kedua, pusat dianggap akan lemah. Nyatanya, pusat tetap memegang kendali pertahanan, diplomasi, dan moneter. Negara bagian tidak bisa seenaknya memisahkan diri karena terikat konstitusi federal.

Ketiga, biaya birokrasi federal dikhawatirkan mahal. Benar, federasi butuh parlemen dua kamar, sistem hukum baru, dan birokrasi negara bagian. Tetapi biaya itu sepadan dengan hasilnya. Konflik dan ketidakadilan jauh lebih mahal ketimbang membangun sistem federal.

Keempat, trauma RIS 1949 masih membekas. RIS gagal bukan karena federasi buruk, melainkan karena dipaksakan Belanda. Federasi yang lahir dari kehendak rakyat Indonesia tentu berbeda. Ia justru bisa memperkuat persatuan.

Model Federasi Indonesia

Jika Indonesia menjadi federasi, ada beberapa model yang bisa dibayangkan.

Pertama, menjadikan provinsi sebagai negara bagian. Ini paling mudah karena sesuai peta administratif sekarang, meski jumlahnya bisa terlalu banyak untuk dikelola.

Kedua, membagi Indonesia berdasarkan kawasan besar. Misalnya Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, dan Bali-NTT. Model ini lebih sederhana, tetapi harus adil agar satu kawasan tidak didominasi kelompok tertentu.

Ketiga, federasi berbasis identitas budaya. Misalnya Negara Bagian Aceh, Minangkabau, Papua, Bugis, dan lain-lain. Model ini menghormati budaya lokal, tetapi berisiko menumbuhkan eksklusivisme etnis.

Apapun model yang dipilih, prinsip utamanya adalah menyeimbangkan kedaulatan lokal dengan persatuan nasional.

Konsekuensi Politik dan Hukum

Federasi bukan sekadar perubahan administratif, tetapi juga politik dan hukum.

Pertama, konstitusi federal baru harus dibuat bersama, mengatur dengan jelas kewenangan pusat dan negara bagian.

Kedua, parlemen federal perlu dibentuk dua kamar: satu mewakili rakyat, satu mewakili negara bagian. Dengan begitu, keputusan nasional tidak bisa mengabaikan suara daerah.

Ketiga, Mahkamah Konstitusi Federal harus dibentuk untuk menjaga agar sengketa pusat-daerah atau antarnegara bagian bisa diselesaikan adil.

Keempat, sistem keuangan federal harus jelas dan transparan. Pajak, royalti, dan hasil sumber daya dibagi secara adil sehingga tidak ada lagi daerah yang merasa diperas.

Kelima, pusat tetap memegang kendali atas pertahanan, diplomasi, dan moneter. Federasi tidak berarti pusat hilang, melainkan pusat yang fokus pada urusan vital.

Manfaat Jangka Panjang

Jika federasi diterapkan, Indonesia bisa mendapat banyak keuntungan.

Pertama, konflik pusat-daerah bisa berkurang drastis. Daerah tidak lagi kecewa karena mereka punya kewenangan nyata.

Kedua, pembangunan lebih merata. Daerah bisa menentukan prioritas sesuai kebutuhan rakyat, bukan semata keputusan pusat.

Ketiga, elite daerah lebih bertanggung jawab. Karena kekuasaan ada di tangan mereka, rakyat bisa menuntut langsung jika kebijakan gagal.

Keempat, kepercayaan publik meningkat. Rakyat merasa negara hadir untuk semua, bukan hanya untuk pusat.

Kelima, persatuan Indonesia lebih kokoh. Persatuan lahir dari kesadaran bersama, bukan paksaan. Semua daerah merasa dihargai dan diakui.

Tantangan yang Harus Diantisipasi

Federasi memang menjanjikan, tetapi tidak mudah. Ada beberapa tantangan yang harus diantisipasi.

Pertama, rakyat perlu pendidikan politik agar paham makna federasi. Sosialisasi yang luas bisa mengurangi rasa takut akan disintegrasi.

Kedua, transisi dari kesatuan ke federasi harus dirancang matang. Pembagian kewenangan, aset, dan birokrasi harus jelas agar tidak menimbulkan kekacauan.

Ketiga, kesepakatan nasional mutlak diperlukan. Semua wilayah harus dilibatkan sehingga tidak ada yang merasa dipaksa.

Keempat, konstitusi federal harus tegas menjamin integrasi. Negara bagian tidak boleh keluar sepihak, sehingga persatuan tetap terjaga.

Penutup

Indonesia adalah rumah besar yang dihuni oleh rakyat dengan latar belakang berbeda. Bentuk negara kesatuan memang berhasil menjaga keutuhan, tetapi ia juga menimbulkan ketidakadilan yang berkepanjangan. Pusat terlalu dominan, daerah merasa dianaktirikan.

Karena itu, gagasan memfederasikan persatuan Indonesia layak dipertimbangkan serius. Federasi bukan tanda perpecahan, melainkan jalan untuk persatuan yang lebih sehat. Dengan federasi, daerah tidak lagi bawahan pusat, tetapi mitra setara. Pusat tetap kuat, tetapi adil. Daerah bebas mengurus dirinya sendiri, tetapi tetap loyal pada konstitusi federal.

Seperti kepompong yang berubah menjadi kupu-kupu indah, Indonesia juga bisa bermetamorfosis. Dari negara kesatuan yang timpang menjadi federasi yang kokoh, adil, dan demokratis. Persatuan tetap terjaga, tetapi dalam bentuk baru yang benar-benar menghormati keragaman.

Memfederasikan persatuan Indonesia berarti mewujudkan semboyan Bhinneka Tunggal Ika secara nyata: berbeda-beda, tetapi sungguh-sungguh setara dalam satu federasi.