OPINI  

Makanan Khas Masyarakat Tanah Papua

Dr Imanuel Gurik, SE, M.Ec.Dev, Doktor Ilmu Ekonomi lulusan Uncen Jayapura, Papua. Foto: Istimewa

Oleh Imanuel Gurik

Doktor lulusan Universitas Cenderawasih, Jayapura, Papua

PAPUA bukan hanya kaya sumber daya alam (SDA), panorama mempesona di setiap sudut, hutan tropis yang masih perawan, hingga kekayaan laut yang membentang luas, tetapi juga memiliki kekayaan budaya yang termanifestasi dalam sistem pangan tradisional. Makanan pokok masyarakat Papua bukan sekadar kebutuhan jasmani untuk bertahan hidup, tetapi bagian identitas, simbol kekerabatan, dan kedaulatan budaya. Dalam kearifan lokal Papua, makanan adalah bahasa yang menyatukan, medium rekonsiliasi dan sarana spiritual yang menghubungkan manusia, alam, dan Tuhan Sang Pencipta.

Ketika berbicara tentang Papua, kerapkali narasi umum hanya menyebut beras sebagai makanan pokok. Padahal, di tujuh wilayah adat Papua —Mamta, Saireri, Domberai, Bomberai, Anim Ha, La Pago, dan Mee Pago— terdapat keragaman pangan khas yang berbeda-beda. Sagu, ubi, keladi, petatas, pisang, hingga hasil laut dan hasil hutan menjadi penopang kehidupan masyarakat sejak ribuan tahun silam. Kekhasan inilah yang membentuk karakter budaya masing-masing suku di Papua, sekaligus menjadi warisan yang harus dijaga di tengah arus modernisasi dan ketergantungan terhadap beras impor.

Sebaran Dalam Wilayah Adat

Wilayah adat Mamberamo–Tabi (Mamta) yang meliputi Jayapura, Keerom, Sarmi, dan Mamberamo Raya dikenal sebagai lumbung sagu. Sagu adalah makanan pokok utama masyarakat pesisir dan lembah Mamta. Pohon sagu tumbuh subur di rawa-rawa, dikelola dengan kearifan lokal, dan menjadi sumber energi yang berlimpah.

Masyarakat Mamta mengolah sagu menjadi papeda —bubur kental yang disantap dengan kuah ikan kuning berbumbu kunyit. Selain itu, ada kue bagea, sagu lempeng, dan sagu bakar yang sering dihidangkan dalam acara adat. Sagu tidak hanya bernilai gizi, tetapi juga memiliki dimensi sosial. Misalnya, dalam tradisi masyarakat Sentani, makan papeda bersama menjadi simbol kebersamaan. Di tengah gempuran beras, sagu tetap dipertahankan sebagai simbol identitas. Pemerintah daerah dan tokoh adat kini mendorong agar sagu kembali diangkat sebagai pangan strategis nasional, sejalan dengan semangat kedaulatan pangan nusantara.

Sedangkan wilayah Adat Saireri (Teluk Cenderawasih) meliputi Biak, Supiori, Kepulauan Yapen, dan Waropen. Wilayah ini terkenal dengan ikan laut dan ubi-ubian sebagai makanan pokok. Ubi jalar (petatas), talas, dan singkong ditanam di kebun secara tradisional. Sedangkan ikan menjadi sumber protein utama. Di Biak, makanan khas adalah ikan bakar Manokwari (sebenarnya menyebar ke banyak daerah pesisir) dan keladi rebus. Dalam upacara adat, hidangan utama biasanya berupa ubi jalar rebus yang disajikan dengan ikan kuah kuning.

Selain itu, masyarakat Saireri juga mengenal tradisi Barapen atau bakar batu, meskipun lebih identik dengan pegunungan. Dalam konteks Saireri, Barapen dilakukan dengan ikan laut sebagai bahan utama, dipadu umbi-umbian. Inilah akulturasi unik antara budaya pesisir dan pegunungan yang memperkaya khazanah pangan Papua.

Begitu pula di Wilayah Adat Domberai atau Kepala Burung hingga Sorong, Raja Ampat, dan Manokwari. Domberai, yang berada di kawasan Kepala Burung Papua Barat, memiliki kekayaan pangan berbasis laut dan hutan. Sagu tetap menjadi makanan utama di banyak daerah, khususnya di pesisir. Namun, masyarakat juga memanfaatkan hasil laut seperti ikan, kerang, dan udang sebagai penopang utama gizi.

Makanan khas Domberai adalah papeda dengan ikan kuah kuning, hampir serupa dengan Mamta, tetapi dengan sentuhan rempah khas Maluku dan Tidore yang masuk lewat jalur perdagangan laut. Selain itu, sagu lempeng dan sinole (olahan sagu goreng dengan kelapa) menjadi kudapan favorit. Domberai juga dikenal dengan hasil kebun berupa keladi, pisang, dan ubi kayu. Hasil hutan seperti buah merah (kuansu) memiliki nilai kesehatan tinggi dan sering digunakan sebagai minyak obat tradisional serta sumber pangan bergizi.

Kemudian, wilayah Adat Bomberai (Fakfak, Kaimana) adalah wilayah yang unik. Di wilayah ini makanan pokok tidak hanya sagu, tetapi juga pala dan hasil laut. Fakfak dikenal sebagai “Kota Pala Dunia” karena sejak lama pala menjadi tanaman utama dan bagian penting dalam ekonomi rumah tangga masyarakat. Makanan pokok masyarakat Bomberai adalah papeda dari sagu, disajikan dengan ikan laut. 

Namun, ada pula hidangan khas seperti ikan asar (ikan asap), pisang rebus, dan keladi. Di beberapa kampung, masyarakat memanfaatkan kelapa sebagai tambahan energi, misalnya dengan membuat santan kental untuk kuah ikan. Bomberai juga terkenal dengan tradisi makan bersama berbasis hasil laut, terutama dalam pesta adat. Pangan bukan hanya untuk kenyang, tetapi juga medium pengikat tali kekerabatan antar-marga.

Lalu wilayah Adat Anim Ha (Papua Selatan – Merauke, Asmat, Mappi, Boven Digoel). Anim Ha memiliki ciri khas berbeda. Sagu tetap menjadi makanan pokok, tetapi wilayah Merauke juga dikenal dengan beras lokal dan ubi kayu. Sebelum beras masuk, masyarakat Marind dan Asmat mengandalkan sagu sebagai sumber energi. Sagu diolah menjadi papeda, tetapi juga dijadikan sagu bakar atau sagu bola (dibulatkan lalu dipanggang). Di Asmat, tradisi makan sagu sering dikaitkan dengan upacara adat, misalnya setelah pesta ukiran patung atau perayaan keluarga.

Masyarakat Anim Ha juga mengonsumsi hasil laut, udang rawa, ikan sungai, serta daging rusa. Pangan di sini erat kaitannya dengan alam, di mana berburu dan menangkap ikan masih menjadi aktivitas sehari-hari. Merauke kemudian menjadi sentra pangan nasional dengan Program Food Estate. Namun, banyak masyarakat adat menilai, ketahanan pangan sejati justru ada pada pangan lokal: sagu, ubi kayu, dan hasil alam, bukan semata-mata beras.

Selain itu, wilayah Adat La Pago (Pegunungan Tengah – Wamena, Lani, Yali, Dani, dan lain-lain). La Pago identik dengan ubi jalar (petatas) sebagai makanan pokok utama. Petatas ditanam di kebun-kebun berpagar kayu di dataran tinggi. Sistem bercocok tanam tradisional yang diwariskan turun-temurun memungkinkan masyarakat memenuhi kebutuhan pangan secara berkelanjutan.

Petatas dihidangkan dengan cara direbus atau dipanggang. Namun yang paling khas adalah melalui Barapen —tradisi bakar batu. Dalam acara ini, petatas dipanggang bersama sayuran, babi, dan kadang-kadang keladi atau pisang. Barapen bukan sekadar cara memasak, tetapi simbol rekonsiliasi, persaudaraan, dan syukur. Selain petatas, masyarakat La Pago juga mengonsumsi sayuran hasil kebun (kubis, wortel, daun ubi), serta beternak babi sebagai sumber protein utama. Pola pangan La Pago menunjukkan kemandirian yang kuat, meski kini beras mulai masuk melalui subsidi pemerintah.

Terakhir, wilayah Adat Mee Pago (Nabire, Paniai, Dogiyai, Deiyai). Mee Pago, tanah orang Mee (Moni, Mee, dan suku-suku sekitar), memiliki makanan pokok utama berupa ubi jalar dan keladi. Sama seperti La Pago, barapen menjadi identitas pangan utama. Petatas di Mee Pago dipandang bukan sekadar makanan, melainkan bagian dari kosmologi. Dalam mitologi Mee, petatas dianggap sebagai anugerah dari leluhur. Oleh karena itu, penanaman, pemanenan, dan penyajiannya diatur dalam tradisi tertentu.

Selain petatas, masyarakat Mee Pago juga mengonsumsi ikan air tawar dari Danau Paniai, sayuran kebun, dan daging babi. Keseimbangan antara karbohidrat, protein, dan sayuran mencerminkan pola pangan tradisional yang sehat dan berkelanjutan.

Identitas dan Kedaulatan

Dari tujuh wilayah adat tanah Papua, terlihat jelas bahwa makanan pokok berbeda-beda sesuai ekologi, sejarah, dan budaya setempat. Namun, benang merahnya adalah ketergantungan yang kuat pada pangan lokal: sagu, ubi jalar, keladi, pisang, dan hasil laut.

Makanan pokok ini lebih dari sekadar sumber gizi. Namun, lebih dari itu dapat dilihat dari sejumlah aspek. Pertama, identitas budaya. Makanan khas seperti sagu, petatas, dan ikan bukan sekadar pangan, melainkan simbol Papua. Kedua, sarana sosial. Dalam tradisi Barapen, makan papeda bersama, dan pesta adat mempererat persaudaraan. Ketiga, kedaulatan pangan. Papua sejatinya sudah mandiri pangan sejak lama, sebelum beras didatangkan. Keempat, spiritualitas. Banyak makanan pokok dikaitkan dengan mitologi, doa, dan hubungan dengan leluhur.

Namun, tantangan terbesar saat ini adalah pergeseran pola konsumsi. Beras semakin mendominasi, bahkan di daerah pedalaman. Subsidi pemerintah dan logika modernisasi membuat pangan lokal tersisih. Akibatnya, masyarakat rentan terhadap krisis pangan jika suplai beras terganggu. Makanan pokok dan khas Papua di tujuh wilayah adat adalah harta karun budaya yang harus dijaga. Di Mamta, Domberai, Bomberai, dan Anim Ha, sagu adalah simbol kehidupan. Di Saireri, La Pago, dan Mee Pago, ubi dan hasil kebun menjadi identitas. Semua ini menunjukkan bahwa tanah Papua sejatinya memiliki sistem pangan mandiri yang kuat, berbasis pada alam dan kearifan lokal.

Kini dan di masa akan datang pemerintah dan masyarakat harus bersinergi untuk menghidupkan kembali pangan lokal Papua. Sekolah-sekolah bisa mengajarkan pentingnya sagu dan petatas. Program pangan nasional sebaiknya berbasis pada kekayaan lokal, bukan memaksakan homogenisasi beras. Dengan menjaga makanan pokok khas Papua, kita bukan hanya menjaga kesehatan dan ketahanan pangan, tetapi juga merawat identitas, harga diri, dan martabat orang Papua di tengah perubahan zaman.