DAERAH  

Mahasiswa dan Pelajar Asal Mimika Desak Presiden Prabowo Tarik Pasukan TNI-Polri dari Tanah Papua

Para pelajar dan mahasiswa asal Mimika Korwil Salatiga-Purworejo Ipmami Se-Jawa dan Bali saat konferensi pers merespon insiden kekerasan aparat keamanan di Distrik Jila, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua Tengah, Kamis (13/11). Foto: Istimewa

SALATIGA, ODIYAIWUU.com — Para pelajar dan mahasiswa Koordinator Wilayah (Korwil) Salatiga-Purworejo Ikatan Pelajar dan Mahasiswa-Mahasiswi asal Kabupaten Mimika (Ipmami) Se-Jawa dan Bali, Kamis (13/11) menggelar konferensi pers merespon insiden kekerasan aparat keamanan di Distrik Jila, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua Tengah.

“Peristiwa penembakan yang dilakukan oknum anggota TNI terhadap warga setempat terjadi Sabtu (31/10) di Kampung Pilig Ogom, Distrik Jila,” ujar Korwil Salatiga-Purworejo Ipmami Novita Tsolin melalui keterangan tertulis dari Salatiga, Jawa Tengah, Kamis (13/11).

Menurut Novita Tsolin, aksi penembakan itu menimbulkan keresahan dan menambah luka akibat konflik dan ketidakadilan yang terjadi selama ini. Warga terpaksa mengungsi ke ibu kota Distrik Jila untuk mencari perlindungan.

.Novita menegaskan, para pengurus dan anggota Ipmami Korwil Salatiga-Purworejo Ipmami memiliki tanggung jawab moral dan kepedulian terhadap tanah kelahiran. Karena itu, para pelajar dan mahasiswa merasa terpanggil untuk menyuarakan keprihatinan mendalam atas situasi yang semakin memburuk akibat peningkatan aktivitas militer di wilayah tersebut.

“Sejak penempatan pasukan militer di Distrik Jila, berbagai laporan mengenai tindakan kekerasan terhadap warga sipil terus bermunculan, termasuk penyiksaan yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa. Masyarakat juga dipaksa untuk melapor ke pos-pos TNI-Polri setiap hari, menciptakan ketakutan dan trauma psikologis berkepanjangan serta membangkitkan pengalaman pahit masa lalu,” katanya.

Para pelajar dan mahasiswa mengecam keras segala bentuk kekerasan dan intimidasi yang dilakukan aparat keamanan terhadap masyarakat sipil di Jila. Berbagai tindakan itu tidak hanya melanggar HAM tetapi abai terhadap prinsip keadilan, perdamaian, dan kemanusiaan yang dijunjung tinggi. Kekerasan itu juga abai pada sejarah dan trauma kolektif di atas tanah Papua akibat konflik dan pelanggaran HAM berkepanjangan selama ini.

Dalam konferensi pers tersebut para pelajar dan mahasiswa menyampaikan sikap dan tuntutan. Pertama, mendesak Presiden Republik Indonesia segera menarik seluruh pasukan TNI-Polri dari tanah Papua, khususnya di Distrik Jila.

Kehadiran aparat keamanan berlebihan, alih-alih memberikan rasa aman, justru memperburuk situasi dan memperdalam luka sejarah. Kedua, menuntut Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Mimika untuk bertanggung jawab penuh atas situasi yang terjadi.

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pemerintah memiliki kewajiban untuk menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan HAM sesuai dengan standar hukum internasional.

Pemerintah daerah juga harus mempertimbangkan konteks sejarah dan budaya Papua dalam setiap kebijakan yang diambil. Ketiga, meminta pemerintah dan aparat penegak hukum untuk menghentikan segala bentuk konflik horizontal di Kabupaten Mimika.

Upaya perdamaian dan rekonsiliasi harus dilakukan dengan pendekatan yang menghormati hak-hak masyarakat adat dan melibatkan partisipasi aktif dari semua pihak terkait.

Keempat, menuntut jaminan perlindungan penuh terhadap masyarakat sipil, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pasal 28G Ayat 1, menjamin hak setiap orang atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda, serta rasa aman dari ancaman ketakutan. Pasal 30 Ayat 4 menegaskan bahwa TNI bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan serta kedaulatan negara, bukan menimbulkan penderitaan bagi rakyatnya.

Perlindungan ini harus diberikan dengan mempertimbangkan kerentanan masyarakat Papua akibat sejarah konflik dan diskriminasi.

“Pernyataan sikap ini kami buat dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab moral, sebagai bagian dari Ipmai yang peduli terhadap nasib masyarakat di kampung halaman. Kami berharap suara kami didengar dan dipertimbangkan demi terciptanya keadilan, keamanan, dan kedamaian yang berkelanjutan di Distrik Jila dengan menghormati sejarah dan budaya Papua,” ujar Novita. (*)