NABIRE, ODIYAIWUU.com — Kabupaten Deiyai lahir berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 55 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Deiyai, Provinsi Papua Tengah. UU tersebut disahkan di Jakarta pada tanggal 26 November 2008 oleh Presiden Dr H. Susilo Bambang Yudhoyono dan tercatat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 192 Tahun 2008.
Ketua Fraksi Otonomi Khusus Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi (DPRP) Papua Tengah Donatus Mote, SIP, MM mengatakan, kehadiran Kabupaten Deiyai sebagai daerah otonom baru (DOB) saat itu disambut antusias masyarakat dan seluruh elemen di Deiyai.
“Sejak Deiyai resmi menjadi kabupaten definitif di tanah Papua, masyarakat menyambut penuh gembira dan antusias. Masyarakat juga melepaskan lahan miliknya sebagai lokasi pembangunan sejumlah kantor dinas dan badan di wilayah Tigido, Kampung Waghete,” ujar Donatus Mote di Nabire, kota Provinsi Papua Tengah, Senin (16/6)
Meski demikian, Donatus menegaskan, hingga saat ini secara administratif status lokasi perkantoran masih belum jelas, termasuk aspek legal formal dan tercatat di Badan Pertanahan Kabupaten Deiyai.
“Usia Kabupaten Deiyai sudah memasuki 18 tahun. Tetapi masih ada yang belum jelas apakah kepemilikan lahan atau lokasi pemerintah itu benar-benar sudah dibeli dan menjadi milik pemerintah daerah atau masih bersifat kontrak kepada pemilik ulayat tanah. Pemda harus memastikan status kepemilikan lahan kantor dinas atau badan demi menjaga kelangsungan pelayanan pemerintahan dan pembangunan,” kata Donatus lebih lanjut.
Donatus mengingatkan, langkah memastikan status lahan melalui proses sertifikasi sangat penting. Pasalnya, hingga saat ini banyak kantor yang kerap dipalang oleh masyarakat yang mengklaim sebagai pemilik ulayat. Ada masyarakat yang sering memalang kantor karena pemerintah mengabaikan lahan pemilik ulayat tanah yang sudah disepakati bersama saat terjadi proses jual beli.
“Saat ini ada juga warga yang memalang kantor karena adanya tuntutan kepada pemerintah untuk membayar ganti rugi tanah milik masyarakat meski pemerintah sudah mendirikan kantor. Terkesan, pemerintah berulang kali membayar lahan. Padahal, saat pertama kali pemerintah sudah bayar kepada pemilik tanah, namun dari belakang hampir setiap tahun mereka menuntut untuk dibayar,” ujar Donatus.
Kondisi ini, kata Donatus, menjadi pertanyaan apakah benar pemerintah daerah sudah melunasi lokasi tanah sesuai kesepakatan awal dengan pemilik. Berikut, bila tanah itu sudah memiliki sertifikat tanah sebagai milik atau aset pemda maka harus ada ketegasan pemerintah daerah.
“Kalau tanah sudah dibayar lunas, ya pemerintah harus tegas dan tidak perlu bayar berulang-ulang. Kalau itu yang terjadi maka terkesan hanya main-main dengan anggaran pembangunan. Kami berharap agar tanah-tanah milik masyarakat yang dibeli pemerintah harus dibayar lunas agar ke depan pemerintah tidak lagi main-main anggaran pembangunan daerah,” ujar Donatus, jurnalis senior di tanah Papua.
Donatus menambahkan, pada Senin (16/6) Pemerintah Kabupaten Deiyai secara resmi menyerahkan biaya pembebasan tanah kepada pemilik ulayat sebesar Rp 10 miliar.
Ada tiga lokasi yang dibeli oleh pemerintah yakni Rp 3 miliar untuk membangun toko Souvenir guna menampung kerajinan tangang mama-mama Papua. Kemudian, Rp 4 miliar untuk membangun Pasar mama-mama Papua dan Rp 3 miliar untuk membangun Kantor Dewan Adat.
“Saya menyampaikan apresiasi kepada Bupati Deiyai Pak Meki Mote dan Wakil Bupati Pak Ayub Pigome. Langkah dan kebijakan ini sejalan dengan amanah Undang-Undang Otonomi Khusus. Salah satu implementasi UU tersebut yaitu memberdayakan orang asli Papua di bidang ekonomi, kearifan lokal, dan adat-istiadat,” kata Donatus, tokoh muda Papua Tengah kelahiran Deiyai.
Pihaknya juga berharap kepada Pemkab Deiyai agar tanah-tanah yang sudah dibeli harus benar-benar diselesaikan administrasi. Dengan demikian, di kemudian hari tidak lagi ada tuntutan ganti rugi kepada pemerintah daerah.
“Urusan pembayaran tanah harus benar-benar dipastikan atau dibayar lunas dan pemerintah juga segera memastikan aspek legal formal berupa proses sertifikat tanah sehingga menghindari klaim-klaim masyarakat karena tanah warga yang sudah dibeli itu benar-benar merupakan aset pemerintah daerah,” kata Donatus, mantan guru di Deiyai. (*)