OPINI  

Korban yang Bangkit: Transformasi Bangsa Yahudi Menjadi Negara Tangguh

Yakobus Dumupa, Pembelajar Hubungan Internasional dan Isu-isu Global, tinggal di Nabire, Tanah Papua. Foto: Dok. Odiyaiwuu.com

Loading

Oleh: Yakobus Dumupa
(Pembelajar Hubungan Internasional dan Isu-isu Global, tinggal di Nabire, Tanah Papua)


Pendahuluan

Konflik Palestina–Israel sering dianggap sebagai persoalan politik modern belaka. Tetapi bila kita menelusuri sejarah lebih jauh, akan tampak jelas bahwa kebencian terhadap orang Yahudi bukanlah fenomena baru. Selama ribuan tahun, bangsa ini berulang kali menjadi korban: diperbudak, dibuang, diusir, bahkan dibantai. Dari Mesir hingga Babel, dari Spanyol hingga Auschwitz, pola penderitaan itu terus berulang. Justru dari pengalaman panjang itulah, ketika negara Israel berdiri pada tahun 1948, ia hadir bukan sekadar sebagai entitas politik, melainkan sebagai jawaban atas sejarah panjang penindasan.

Korban di Era Alkitab: Awal Sejarah yang Berdarah

Sejarah penderitaan Yahudi bermula dari kisah-kisah dalam Alkitab. Catatan itu bukan sekadar narasi rohani, tetapi juga dokumen tentang perjalanan bangsa yang selalu terbuang dan ditindas. Dari pengalaman inilah lahir kesadaran awal bahwa identitas bangsa hanya bisa bertahan jika diikat oleh iman dan tanah leluhur.

Pertama, bangsa Israel mengalami perbudakan di Mesir sekitar abad ke-17 hingga abad ke-13 SM. Keturunan Yakub yang semula datang karena Yusuf, akhirnya diperbudak oleh Firaun selama ratusan tahun. Mereka dipaksa bekerja keras tanpa hak dan kebebasan. Eksodus di bawah Musa menjadi simbol pembebasan, tetapi juga pengalaman pahit pertama bahwa mereka bisa dijadikan budak di negeri asing.

Kedua, pada 722 SM, Kerajaan Israel Utara ditaklukkan oleh Asyur. Sepuluh suku diangkut ke negeri asing dan hilang dari sejarah. Hilangnya tanah berarti juga hilangnya identitas. Trauma ini mengajarkan bahwa bangsa tanpa kedaulatan mudah dilenyapkan dari peradaban.

Ketiga, pada 586 SM, Kerajaan Yehuda jatuh ke tangan Babel. Yerusalem diruntuhkan, Bait Allah dihancurkan, dan ribuan rakyat dibuang. Kehancuran Bait Allah menjadi luka paling dalam, karena bangsa Yahudi kehilangan pusat rohani sekaligus nasionalnya. Namun di tengah pembuangan itu, mereka tetap bertahan dengan iman dan tradisi, seperti ditunjukkan oleh tokoh Daniel dan Yehezkiel.

Keempat, ketika Persia menaklukkan Babel pada 539 SM, Raja Koresh mengizinkan orang Yahudi kembali ke Yerusalem. Mereka membangun Bait Allah Kedua dan tembok kota. Akan tetapi, tidak semua pulang. Sebagian memilih tetap tinggal di perantauan. Sejak saat itu, diaspora menjadi bagian permanen dari sejarah Yahudi.

Kelima, masa Romawi menutup era Alkitab dengan tragedi besar. Tahun 70 M, Bait Allah Kedua dihancurkan, ribuan orang terbunuh, dan Yerusalem hancur. Pemberontakan Bar Kokhba pada 132–135 M ditumpas, dengan korban puluhan ribu jiwa, dan orang Yahudi diusir massal dari tanah suci. Sejak itu, diaspora global menjadi kenyataan yang mengiringi mereka selama ribuan tahun.

Korban Pasca-Alkitab: Luka yang Tak Pernah Sembuh

Selepas masa Alkitab, derita orang Yahudi tidak berhenti. Justru semakin jelas bahwa di manapun mereka berada, selalu ada risiko dijadikan kambing hitam.

Pertama, di Abad Pertengahan, gelombang pengusiran berlangsung silih berganti. Tahun 1290, sekitar 16 ribu orang Yahudi diusir dari Inggris. Tahun 1306, lebih dari 100 ribu orang Yahudi diusir dari Prancis. Tahun 1492, sekitar 200 ribu orang Yahudi diusir dari Spanyol melalui Dekret Alhambra. Pada masa Perang Salib (abad ke-11 hingga ke-13), ribuan komunitas Yahudi di Jerman dan Eropa Tengah juga menjadi korban pembantaian brutal.

Kedua, pada abad ke-17, tragedi Khmelnytsky (1648–1649) di Ukraina–Polandia menewaskan antara 40 ribu hingga 100 ribu orang Yahudi. Ratusan komunitas hancur dalam gelombang kebencian yang sulit dibendung.

Ketiga, abad ke-19 hingga awal abad ke-20 ditandai dengan pogrom di Rusia. Setelah pembunuhan Tsar Alexander II tahun 1881, terjadi serangkaian pogrom yang menewaskan ribuan orang Yahudi. Pada periode 1881–1906, puluhan ribu Yahudi terbunuh, ratusan ribu mengungsi, dan lebih dari dua juta bermigrasi ke Amerika Serikat, Palestina, dan Eropa Barat. Pada saat yang sama, Affaire Dreyfus di Prancis (1894) mengungkap antisemitisme yang mengakar bahkan di negara modern.

Keempat, abad ke-20 membawa puncak kebencian modern melalui Holocaust. Antara 1941–1945, Nazi Jerman membantai sekitar enam juta orang Yahudi. Sekitar 1,1 juta tewas di Auschwitz, 800 ribu di Treblinka, dan ratusan ribu lainnya di Sobibor, Belzec, serta kamp-kamp kematian lainnya. Holocaustmenjadi genosida terbesar dalam sejarah modern, meninggalkan trauma kolektif yang tak terhapuskan.

Kelima, penderitaan juga terjadi di dunia Arab. Pada 1–2 Juni 1941, Farhud di Baghdad menewaskan sekitar 180 orang Yahudi Irak, melukai ratusan lainnya, dan menghancurkan ribuan rumah serta toko. Setelah berdirinya Israel pada 1948, sekitar 850 ribu Yahudi diusir atau melarikan diri dari negara-negara Arab dan Iran. Mayoritas bermukim di Israel, menjadikan negara baru itu sebagai rumah terakhir setelah ribuan tahun terusir.

Dari Korban Menjadi Negara Tangguh

Rangkaian penderitaan berabad-abad itu akhirnya melahirkan kesadaran baru. Bangsa Yahudi menyadari bahwa satu-satunya cara untuk bertahan adalah dengan memiliki tanah dan negara sendiri. Dari situlah lahir Zionisme modern, yang berpuncak pada berdirinya Israel pada 14 Mei 1948. Negara ini lahir bukan sekadar keputusan politik, melainkan jawaban atas sejarah panjang penindasan.

Untuk memastikan bahwa tragedi tidak lagi berulang, Israel menetapkan Undang-Undang Kepulangan pada 1950. Hukum ini menjamin bahwa setiap orang Yahudi di dunia berhak kembali ke Israel. Dengan hukum ini, diaspora yang selama ribuan tahun menjadi simbol luka kini mendapatkan jaminan kepulangan.

Trauma sejarah juga membentuk doktrin keamanan Israel. Mereka membangun kekuatan militer dengan tiga pilar: deterrence (daya gentar), peringatan dini, dan serangan pendahuluan. Doktrin ini dirancang untuk mencegah kejadian seperti Holocaust terulang. Semua strategi itu lahir dari pengalaman pahit: bangsa Yahudi tidak boleh lagi menunggu sampai menjadi korban.

Di atas segalanya, berdirilah filosofi Never Again. Ungkapan ini lahir setelah Holocaust, sebagai janji bahwa genosida seperti itu tidak boleh pernah terjadi lagi. Bagi dunia, Never Again adalah seruan moral kemanusiaan. Namun bagi bangsa Yahudi, ia adalah sumpah kolektif untuk tidak lagi membiarkan diri menjadi korban tanpa pertahanan. Karena itu, Israel menegaskan bahwa keselamatan bangsanya hanya bisa dijaga dengan kekuatan mereka sendiri. Semangat Never Again bukan sekadar slogan, melainkan janji yang dijaga dengan darah, air mata, dan pengorbanan.

Penutup

Sejarah Yahudi adalah sejarah korban yang berulang. Mereka pernah diperbudak di Mesir selama berabad-abad, dibuang ke Asyur pada 722 SM, ditawan Babel pada 586 SM, dan diusir Romawi pada 70 M serta 135 M. Di Eropa, mereka diusir dari Inggris, Prancis, dan Spanyol, dibantai dalam Perang Salib, Khmelnytsky, dan pogrom Rusia. Abad ke-20 memperlihatkan tragedi terbesar, Holocaust, yang menewaskan enam juta jiwa. Bahkan setelah berdirinya Israel, mereka kembali diusir dari negara-negara Arab, dengan 850 ribu orang meninggalkan rumahnya.

Namun, dari luka itulah lahir kekuatan. Israel berdiri bukan hanya sebagai entitas politik, tetapi sebagai jawaban atas penderitaan kolektif sepanjang sejarah. Dari Mesir hingga Auschwitz, dari Yerusalem kuno hingga Tel Aviv modern, bangsa Yahudi mengirimkan pesan kepada dunia: mereka tidak akan lagi menyerahkan nasibnya kepada bangsa lain. Dengan semangat Never Again—sebuah janji moral kemanusiaan sekaligus sumpah bangsa Yahudi untuk bertahan hidup—bangsa yang selalu terbuang itu kini berdiri sebagai negara tangguh. Korban itu akhirnya bangkit.