OPINI  

Kijne dan Peran Profetis Pemimpin di Tanah Papua

Ansel Deri, Sekretaris Papua Circle Institute, Jakarta. Foto: Istimewa

Loading

Oleh Ansel Deri

Sekretaris Papua Circle Institute, Jakarta

PEMERINTAH dan masyarakat tanah Papua, khususnya umat Kristiani paling timur Indonesia, merayakan secara serentak Satu Abad Nubuatan Domine Izzak Samuel (IS) Kijne di seluruh Papua, tanah Melanesia pada Sabtu (25/10) lalu. Tahun 1923 Kijne menjejakkan kaki di tanah Papua.

Kehadiran Kijne, misionaris sederhana asal Belanda, negeri Kincir Angin, bukan alasan ambisi kuasa atau harta di atas tanah besar itu yang bertabur sumber daya alam (SDA) melimpah. Ia hanya hadir dengan cinta dan visi mulia: membangun masa depan Papua melalui pendidikan, budaya, dan kasih.

Puncak peringatan Satu Abad Nubuatan Kijne diisi dengan doa dan syukuran sebagai momentum rohani dan sosial atas karya Agung Tuhan yang menyata melalui tangan Kijne yang dibaptis sebagai Bapak Bangsa Papua dan Peletak Dasar Peradaban Papua serta para misionaris asing lainnya.

Kijne dan para misionaris perintis agama dan pendidikan di tanah Papua seperti Carl Wilhelm Ottouw, Johann Gottlob Geissler, Cornelis Le Cocq d’Armandville, dan berbagai tarekat misionaris lainnya lengket dengan masyarakat di awal manusia yang tinggal di pulau jumbo paling timur Indonesia belum mengenal agama dan hidup dalam adat dan tradisi yang kuat.

Kehadiran para misionaris dan penginjil di tanah Papua menandai babak awal jejak orang asli Papua mengenal agama dan pendidikan yang berujung lahirnya banyak pemimpin rohani dan pemerintahan di tengah masyarakat. Kijne dan para misionaris asing kala sungguh menyadari betapa besar tanggung jawab seorang misionaris atas tanah Papua.

Tanggung jawab profetis, kenabian mesti bergerak lebih dalam menembus lekuk tanah Papua agar manusia ciptaan-Nya di atas ‘potongan surga yang jatuh ke bumi” juga tersentuh kemajuan dalam iman dan satu tubuh mistik Kristus seturut ajaran iman kristiani.

Momentum Rohani

 Puncak peringatan Satu Abad Nubuatan IS Kijne pada Sabtu (25/10) merupakan momentum rohani dan spiritual umat Kristiani, khususnya para pemimpin pemerintahan dan rohani di tanah Papua. Doa tidak hanya terdaras dari ruang batin umat dan para pemimpin Kristiani untuk memuji kebesaran dan keagungan Tuhan di atas tanah Papua.

Perayaan penuh sukacita masyarakat menjadi gambaran betapa legasi Kijne dan para misionaris sejatinya menjadi tugas dan tanggung jawab tiada batas guna meraih kebaikan bersama (bonum commune) di atas tanah itu.

Ibadah dan syukur melalui perayaan serta merta menjadi wujud nyata dan persembahan kepada Tuhan melalui tangan Kijne dan para misionaris. Perayaan syukur juga sekaligus menjadi ruang refleksi atas pesan para misionaris selama ziarah perjalanan hingga hitungan seratus tahun atau satu abad karya gereja melalui para gembala.

Pada 25 Oktober 1925, di atas batu di Bukit Aitumeiri, Teluk Wondamam, West Papua, Kijne menulis pesan kepada umat dan masyarakat yang dilayaninya. Kata Kijne, “di atas batu ini, saya meletakkan peradaban orang Papua. Sekalipun orang memiliki kepandaian tinggi, akal budi, dan marifat untuk memimpin bangsa ini tetapi bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri”.

Catatan Kijne satu abad lalu itu mengingatkan sejumlah aspek penting yang tentu menjadi tugas dan tanggung jawab profetis (kenabian) gereja sekaligus gereja dalam artian umat Allah, terutama para pemimpin di berbagai bidang tugas pewartaan demi keagungan dan keluhuran nama-Nya. Catatan Kijne dapat diperluas dalam beberapa hal urgen di tengah dinamika sosial kemasyarakatan tanah Papua yang tidak baik-baik saja.

Pertama, peringatan Satu Abad Nubuatan Kijne menjadi momentum refleksi bagi para pemimpin, baik pemimpin agama, pemimpin pemerintahan, dan seluruh pemimpin kultural. Para pemimpin dari atar apapun diberi mandat rohani dan jasmani mengemban  tugas mengatur masyarakat dan tanah Papua sepenuh hati.

Kedua,  para pemimpin dan tokoh-tokoh lintas segmen sosial mesti menjadikan jabatan sebagai alat perjuangan meraih kebaikan bersama. Papua merupakan tanah yang kaya raya, berkat dari Tuhan yang mesti diatur dengan penuh tanggung jawab melibatkan masyarakat dan para pemimpin kultural dan formal serta masyarakat. Masyarakat tanah Papua dengan segala kemampuan warisan nilai-nilai agama dan pendidikan para misionaris tempo doeloe mesti terus setia menjadi garam dan terang di tengah dunia.

Ketiga, pada momentum Satu Abad Nubuatan Kijne catatan sang misionaris itu (Kijne) mengingatkan bahwa muara kepemimpinan apapapun diarahkan untuk kebaikan bersama. Masyarakat atau umat tanah Papua bukan lagi objek tetapi subjek dalam pembangunan. Hal ini yang kerap tanggal sejak nubuatan Kijne seratus tahun silam dari Teluk Wondama. Kini, menjadi peringatan penting bahwa manusia asli Melanesia adalah segalanya karena Papua bukan tanah kosong.

Wajah Buram Papua

Rangkaian peringatan Satu Abad Nubuatan Kijne tentu bukan sekadar doa dan perayaan syukur. Namun, lebih dari itu upaya pemerintah, masyarakat, dan berbagai pihak yang berkehendak baik untuk membawa tanah Papua lebih aman, damai, dan upaya merawat kebersamaan serta persaudaraan paling hakiki. Mengapa?

Hingga, kini tanah Papua masih berwajah buram. Kekerasan demi kekerasan terjadi laiknya pejabat turne menyambangi warga di honai (rumah), kampung (desa) di berbagai sudut dan lekuk tanah itu. Belum lama berselang, misalnya, 14 warga sipil yang disebut anggota Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat, sayap militer Organisasi Papua Merdeka (TPNPB OPM) pimpinan Undius Kogoya meregang nyawa.

Tak hanya itu, banyak anggota TNI-Polri dan masyarakat sipil juga meninggal dalam konflik bersenjata di berbagai wilayah di tanah Papua. Entah berapa warga sipil yang dituding kelompok separatis Papua merdeka juga meninggal sia-sia dan jauh dari pemberitaan media.

Publik tentu tahu, sudah berapa banyak seruan profetis para pemimpin gereja lokal, pemimpin kultural, pemerintah daerah hingga tokoh masyarakat berkumandang, toh konflik dan kekerasan yang memakan korban tewas terus berjatuhan di atas tanah Papua. Seolah dalam ruang batin pihak berkonflik berlaku frasa: “kekerasan adalah satu-satunya bahasan yang saya pahami.”

Setiap berganti presiden selalu ada komitmen kuat atas tanah Papua sehingga masyarakatnya aman, damai, dan Sejahtera. Anggota Komite Eksekutif Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus (Otsus) Papua Billy Mambrasar juga menegaskan komitmen Presiden Prabowo Subianto untuk mempercepat pembangunan di tanah Papua.

Saat menjadi pembicara seminar nasional yang dihadiri ratusan pemuda Papua dari berbagai kota seperti Salatiga, Solo, dan Semarang, bertajuk Bersatu Rasa Memeluk Warna di Universitas Kristen Setya Wacana, Salatiga, Billy Mambrasar mengatakan, Presiden Prabowo Subianto menempatkan Papua sebagai prioritas nasional, dengan fokus pada sektor pendidikan, infrastruktur, dan pemberdayaan ekonomi lokal.

Kata Billy, “Pak Prabowo berpesan agar pembangunan di Papua tidak hanya cepat, tetapi juga tepat sasaran dan berpihak kepada masyarakatnya. Kita ingin anak-anak muda Papua menjadi pelaku utama, bukan sekadar penonton,” ujar Billy (mediaindonesia.com, Kamis, 21/10).

Oleh karena itu, pesan Prabowo relevan di saat masyarakat bumi Cenderawasih tengah larut dalam peringatan Satu Abad Nubuatan Kijne di tanah Papua. Pesan profetis dalam momentum rohani ini mesti pula menukik lebih dalam, menyentuh hati dan sanubari pemimpin baik rohani maupun jasmani serta masyarakat. Pesan profestis bagi para pemimpin Papua dari momentum rohani itu mesti merasuk dalam sanubari melangka menatap potongan surga itu dengan optimisme. Koyao………