DI TANAH Papua, peluru bukan satu-satunya senjata. Cerita justru menjadi senjata paling ampuh. Ia tidak meledak seperti bom, tapi menembus kesadaran rakyat perlahan-lahan. Ia membentuk cara berpikir, mengarahkan emosi, dan menumpulkan perlawanan. Dengan cerita, rakyat Papua bisa dibuat percaya pada kebohongan dan menolak kebenaran mereka sendiri.
Hari ini, pemerintah pusat dan daerah, orang non-Papua, serta orang asli Papua yang menjadi kroni kekuasaan memainkan peran utama sebagai story teller. Mereka pandai membungkus kepentingan mereka dengan kata-kata manis seperti “pembangunan”, “kesejahteraan”, “kedamaian”, “kemanusiaan”, dan istilah-istilah indah lainnya. Di balik semua itu, bukan kasih dan kepedulian yang berjalan, melainkan penguasaan tanah, pengendalian sumber daya, danpenundukan rakyat.
Cerita itu disebar melalui mimbar kekuasaan: media pemerintah, siaran televisi, baliho di jalanan, spanduk proyek, dan pidato pejabat. Narasi mereka satu: rakyat Papua harus berterima kasih atas “kemajuan” yang mereka bawa. Padahal, yang sesungguhnya terjadi bukanlah pembebasan, tapi penjinakan. Bukan pemberdayaan, tapi penguasaan. Bukan kesejahteraan, tapi perampasan perlahan.
Cerita ini tidak lahir dari rahim rakyat Papua. Ia lahir dari ruang-ruang kekuasaan yang jauh dari penderitaan rakyat kecil. Ia disusun untuk mencabut kesadaran kolektif orang Papua—agar rakyat berhenti percaya pada dirinya sendiri, dan mulai percaya pada janji orang luar. Begitu kesadaran itu mati, perlawanan pun padam. Inilah cara paling halus tapi paling efektif untuk menghancurkan Papua tanpa suara tembakan.
Ironisnya, sebagian orang asli Papua ikut memainkan cerita ini. Mereka berdiri di barisan depan sebagai wajah lokal, tetapi menjadi perpanjangan tangan kekuasaan luar. Mereka menjual suara rakyat demi kenyamanan pribadi. Mereka ikut menyebarkan cerita bohong seolah itu kebenaran. Kroni-kroni inilah yang membuat narasi penindasan terasa seperti anugerah.
Sementara rakyat sibuk mempercayai cerita yang telah dirancang untuk melemahkan mereka, tanah adat terus digusur,hutan ditebang, sumber daya dikuras, dan rakyat diusir dari ruang hidupnya. Semua berlangsung rapi, tanpa banyak perlawanan, karena pikiran rakyat sudah dikuasai lebih dulu.
Karena itu, perjuangan rakyat Papua bukan sekadar melawan kebijakan atau protes di jalan. Perjuangan sejati adalah merebut kembali kendali atas cerita. Rakyat Papua harus menjadi pencerita utama tentang luka, hak, dan masa depan mereka sendiri. Bukan figuran dalam skenario yang ditulis oleh kekuasaan luar.
Selama narasi tentang Papua dikendalikan oleh pemerintah pusat, elit daerah, orang non-Papua, dan kroni mereka, rakyat Papua akan terus menjadi penonton dalam panggung kehancurannya sendiri. (Editor)