OPINI  

Ketegangan Tiongkok–Amerika Serikat: Hegemoni Global yang Diperebutkan

Yakobus Dumupa, Pembelajar Hubungan Internasional dan Isu-isu Global, tinggal di Nabire, Tanah Papua. Foto: Dok. Odiyaiwuu.com

Loading

Oleh: Yakobus Dumupa
(Pembelajar Hubungan Internasional dan Isu-isu Global, tinggal di Nabire, Tanah Papua)

Pendahuluan

Dunia tahun 2025 menyaksikan babak baru dalam persaingan dua raksasa: Tiongkok dan Amerika Serikat. Ketegangan lama yang sudah bertahun-tahun membara kini memasuki fase baru setelah Donald Trump kembali menduduki Gedung Putih. Berbeda dengan pendahulunya, Trump tampil lebih keras dalam menghadapi Beijing. Ia memperkuat operasi militer di kawasan Asia-Pasifik, melanjutkan perang teknologi, dan menambah tarif perdagangan terhadap produk-produk Tiongkok. Dengan gaya retorika tanpa tedeng aling-aling, Trump kembali menjadikan Tiongkok sebagai target utama kebijakan luar negeri Amerika Serikat.

Konsekuensinya, dunia tidak lagi sekadar menyaksikan gesekan biasa, melainkan sebuah kontestasi terbuka yang menyentuh hampir semua lini. Dari Laut Cina Selatan yang semakin dipenuhi patroli militer, Taiwan yang baru saja memilih presiden baru, hingga perang chip dan tarif yang terus diperbarui, ketegangan ini makin terasa sebagai perebutan hegemoni global. Amerika Serikat berusaha mempertahankan dominasinya, sementara Tiongkok menuntut pengakuan sebagai kekuatan sejajar. Inilah duel besar abad ke-21 yang membentuk arah masa depan dunia.

Laut Cina Selatan: Panggung Armada dan Klaim Sepihak

Laut Cina Selatan tetap menjadi titik panas paling nyata. Pada 2025, Tiongkok semakin gencar mengerahkan kapal patroli dan pesawat pengintai di kawasan ini. Pulau buatan yang dibangun Beijing dalam satu dekade terakhir kini sudah dilengkapi pangkalan militer permanen dengan sistem rudal jarak jauh. Aktivitas ini menimbulkan kekhawatiran besar di kalangan negara-negara Asia Tenggara, terutama Filipina dan Vietnam yang juga mengklaim sebagian wilayah laut tersebut.

Trump merespons dengan cara yang khas: meningkatkan operasi freedom of navigation yang dilakukan Angkatan Laut AS. Sepanjang semester pertama 2025, beberapa kali kapal perang Amerika melintasi jalur yang diklaim Tiongkok. Tidak jarang manuver tersebut berujung pada insiden “adu dekat” yang nyaris memicu tabrakan dengan kapal Tiongkok. Trump bahkan secara terbuka menegaskan bahwa Washington tidak akan membiarkan Beijing “menguasai laut internasional yang bukan miliknya.”

Pertaruhan di Laut Cina Selatan bukan hanya persoalan teritorial. Jalur ini adalah urat nadi perdagangan global: lebih dari sepertiga perdagangan dunia melintasi perairan tersebut setiap tahun. Di bawah lautnya terdapat cadangan energi yang besar, menjadikannya kawasan vital secara strategis. Tiongkok melihat kontrol atas laut ini sebagai kunci keamanan energi dan logistiknya, sementara AS menilai kebebasan navigasi adalah prinsip fundamental yang tidak boleh dikompromikan.

Taiwan: Sumbu Api yang Semakin Menyala

Jika Laut Cina Selatan adalah panggung armada, Taiwan adalah sumbu api yang paling rawan. Pada Januari 2024, rakyat Taiwan memilih Lai Ching-te sebagai presiden baru. Lai berasal dari Partai Progresif Demokratik yang dikenal bersikap keras terhadap Beijing. Kemenangan ini memicu reaksi keras Tiongkok yang langsung menggelar latihan militer besar-besaran di sekitar pulau tersebut. Armada kapal perang Tiongkok berulang kali melintasi garis median Selat Taiwan, seolah memberi pesan bahwa kesabaran Beijing semakin menipis.

Di sisi lain, Trump tidak ragu menunjukkan dukungan terang-terangan kepada Taipei. Pemerintahannya mengumumkan paket penjualan senjata baru, termasuk sistem pertahanan udara dan kapal perang canggih. Beberapa pejabat tinggi Amerika mengunjungi Taiwan, langkah yang selalu dianggap Beijing sebagai pelanggaran serius terhadap prinsip One China. Trump bahkan dalam pidato publik menyebut Taiwan sebagai “mitra demokratis penting yang akan selalu didukung Amerika.”

Situasi ini membuat Selat Taiwan semakin tegang. Setiap latihan militer Tiongkok direspon dengan patroli udara dan laut Amerika Serikat bersama Jepang. Risiko salah perhitungan semakin besar. Dunia tahu, jika konflik terbuka pecah di Taiwan, dampaknya akan meluas ke seluruh Asia dan mengguncang stabilitas global.

Teknologi: Perang Chip dan Kemandirian Digital

Arena teknologi adalah wajah lain dari persaingan hegemoni. Sejak masa jabatannya yang pertama, Trump dikenal keras terhadap perusahaan teknologi Tiongkok. Kini pada 2025, kebijakan itu diperluas. Amerika Serikat memberlakukan larangan ekspor teknologi semikonduktor canggih, mesin litografi, serta perangkat lunak desain chipke Tiongkok. Washington beralasan bahwa teknologi tersebut bisa digunakan untuk memperkuat militer Beijing.

Tiongkok tidak tinggal diam. Pemerintah Xi Jinping mempercepat program kemandirian teknologi. Ratusan miliar dolar dialokasikan untuk riset chip dalam negeri, kecerdasan buatan, komputasi kuantum, dan superkomputer. Perusahaan teknologi Tiongkok digencarkan untuk memperluas jaringan ke negara-negara Global Selatan, menawarkan alternatif lebih murah dibanding teknologi Barat.

Di sisi lain, Amerika Serikat meningkatkan tekanan kepada sekutu agar tidak menggunakan perangkat 5G buatan Tiongkok. Trump secara terbuka memperingatkan bahwa teknologi Tiongkok berisiko dipakai untuk spionase. Persaingan ini membuat dunia digital terbelah. Internet global terancam pecah menjadi dua ekosistem: satu dipimpin oleh Washington, satu lagi oleh Beijing.

Perdagangan: Tarif Trump dan Balasan Beijing

Perdagangan adalah bidang yang paling jelas memperlihatkan gaya Trump. Pada awal 2025, ia kembali mengumumkan tarif baru untuk berbagai produk Tiongkok, termasuk baja, panel surya, kendaraan listrik, dan perangkat elektronik. Trump menyebut langkah ini sebagai cara untuk melindungi industri Amerika dari “praktik dagang tidak adil.” Kebijakan ini melanjutkan semangat proteksionisme yang sudah ia galakkan sejak periode pertamanya.

Beijing menanggapi dengan tarif balasan terhadap produk pertanian dan energi Amerika. Selain itu, Tiongkok semakin aktif memperluas pasar alternatif. Kerja sama dengan Rusia diperkuat, perdagangan dengan Asia Tenggara diperdalam, dan kemitraan dengan Afrika diperluas melalui investasi infrastruktur. Tiongkok juga mendorong transaksi lintas negara dengan mata uang lokal untuk mengurangi dominasi dolar AS.

Bagi ekonomi global, perang tarif ini menciptakan ketidakpastian besar. Banyak perusahaan multinasional harus mengalihkan rantai pasok ke negara-negara lain, seperti Vietnam, India, atau Meksiko. Namun pada saat yang sama, pasar Tiongkok yang luas tetap sulit ditinggalkan. Ketegangan perdagangan ini memperlihatkan bahwa dunia kini berada dalam pusaran perebutan kontrol atas ekonomi global.

Perebutan Hegemoni Global

Inti dari semua konflik ini adalah perebutan hegemoni global. Amerika Serikat berusaha mempertahankan posisinya sebagai pemimpin dunia, sementara Tiongkok menuntut pengakuan sebagai kekuatan sejajar. Persaingan mereka tidak hanya berlangsung di kawasan Asia-Pasifik, tetapi juga di Afrika, Amerika Latin, dan Timur Tengah.

Tiongkok mengandalkan Belt and Road Initiative untuk memperluas pengaruhnya. Program infrastruktur ini terus berjalan, meski banyak mendapat kritik. Melalui investasi pelabuhan, jalur kereta, dan jaringan energi, Beijing mengikat banyak negara dalam jejaring ekonomi baru. Trump menanggapinya dengan memperkuat blok Indo-Pasifik, menekan sekutu tradisional agar lebih aktif melawan ekspansi Tiongkok.

Dunia kini terbelah dalam pusaran tarik-menarik. Sebagian negara bergantung pada Amerika Serikat untuk keamanan, sebagian lain melihat Tiongkok sebagai sumber investasi. Banyak negara mencoba bersikap netral, memanfaatkan persaingan ini untuk keuntungan mereka sendiri. Yang jelas, era unipolar di mana Amerika Serikat berdiri sendiri sebagai penguasa tunggal sudah berakhir. Dunia multipolar semakin nyata, dengan Tiongkok dan Amerika sebagai tiang utama.

Penutup

Ketegangan Tiongkok–Amerika Serikat pada 2025 bukanlah konflik baru, melainkan kelanjutan dari persaingan panjang yang kini mencapai fase paling intens. Laut Cina Selatan dipenuhi armada militer, Taiwan menjadi titik api yang bisa meledak kapan saja, perang chip membelah dunia digital, dan tarif perdagangan menciptakan ketidakpastian global. Semua ini adalah potret perebutan hegemoni yang tak bisa dihindari.

Bagi negara-negara lain, termasuk Indonesia, situasi ini menuntut strategi cermat. Ada peluang besar untuk mendapatkan investasi dan teknologi dari dua kekuatan ini, tetapi ada pula risiko terseret dalam konflik besar. Dunia berada di persimpangan: apakah persaingan ini akan berujung pada konfrontasi terbuka atau keseimbangan baru yang lebih stabil? Apa pun jawabannya, satu hal pasti: masa depan dunia sangat ditentukan oleh duel antara Washington dan Beijing.