Tiga Kekuatan yang Mengubah Nasib Masyarakat Adat - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan
OPINI  

Tiga Kekuatan yang Mengubah Nasib Masyarakat Adat

Yakobus Dumupa, Mahasiswa Program Doktor Antropologi, Universitas Cenderawasih, Jayapura. Foto: Istimewa

Loading

Oleh Yakobus Dumupa
(Mahasiswa Program Doktor Antropologi, Universitas Cenderawasih, Jayapura)

MASYARAKAT adat di berbagai belahan dunia telah lama menjadi saksi perubahan besar yang mengguncang cara hidup mereka. Perubahan ini datang dari pengaruh kuat tiga entitas: agama, pemerintah, dan perusahaan. Ketiganya sering dipandang sebagai agen pembangunan, namun tak jarang pula membawa kerusakan struktural yang mengancam eksistensi budaya, sosial, dan ekologis masyarakat adat. Artikel ini membahas bagaimana ketiga kekuatan tersebut dapat menjadi penopang atau justru penghancur nasib masyarakat adat, dengan menyoroti dinamika yang terjadi di berbagai wilayah, termasuk Papua.

Agama: Penyelamat atau Penghancur Kepercayaan?

Agama kerap hadir dengan wajah penyelamat—membawa pendidikan, layanan kesehatan, dan nilai-nilai moral ke komunitas-komunitas adat yang sebelumnya terisolasi. Melalui misinya, agama membuka akses terhadap fasilitas dasar dan struktur sosial yang lebih terorganisir. Namun, di balik misi mulianya, agama juga bisa menjadi kekuatan yang mengikis sistem kepercayaan dan kearifan lokal yang telah tumbuh selama berabad-abad.

Di Amerika Utara, agama Kristen menjadi alat kolonial dalam upaya “asimilasi budaya” melalui sistem sekolah asrama atau residential schools. Anak-anak dari suku-suku asli dipisahkan dari keluarga mereka dan dipaksa meninggalkan bahasa serta budaya leluhur. Dampaknya bukan hanya trauma psikologis, tapi juga kehancuran ikatan sosial dalam komunitas adat. Kasus serupa terjadi di Australia melalui kebijakan “Stolen Generations”, di mana anak-anak Aborigindiambil paksa dari keluarga mereka untuk diintegrasikan ke dalam masyarakat kulit putih.

Fenomena serupa juga tampak di Papua. Sebelum kedatangan misionaris, masyarakat Papua memiliki sistem kepercayaan tradisional yang erat dengan alam dan leluhur. Namun, masuknya agama Kristen, khususnya melalui misi-misi Protestan sejak abad ke-19, mengubah lanskap spiritual dan sosial masyarakat adat. Banyak komunitas yang meninggalkan praktik animisme dan ritual adat mereka, digantikan oleh ajaran gereja yang sering menolak unsur-unsur budaya lokal sebagai “kafir” atau “sesat”. Di banyak wilayah, posisi tokoh adat digeser oleh pemuka gereja, dan upacara adat digantikan oleh liturgi Kristen.

Contohnya di pegunungan Papua, tradisi penghormatan terhadap roh nenek moyang perlahan terkikis karena tekanan dogmatis untuk meninggalkan “pemujaan berhala”. Meskipun beberapa kelompok tetap mempertahankan kepercayaan leluhur, dominasi agama luar telah menciptakan disorientasi budaya yang mendalam, bahkan krisis identitas antar generasi.

Pemerintah: Pelindung Hak atau Pengambil Tanah?

Secara normatif, negara memiliki tanggung jawab konstitusional untuk melindungi hak-hak masyarakat adat, termasuk pengakuan atas wilayah adat, kebebasan berbudaya, dan partisipasi dalam pembangunan. Namun, dalam praktiknya, banyak pemerintah justru menempatkan masyarakat adat sebagai penghambat kemajuan. Dengan dalih pembangunan nasional dan pertumbuhan ekonomi, tanah-tanah adat diambil alih secara sepihak, sering kali tanpa konsultasi atau persetujuan yang sah.

Di Brasil, pemerintah mendukung pembukaan lahan di Amazon untuk kepentingan industri pertanian, yang menghancurkan wilayah adat suku-suku seperti Yanomami dan Kayapo. Di India, suku Adivasi dipaksa meninggalkan tanah leluhur mereka untuk pembangunan bendungan, tambang, dan kawasan industri, menyebabkan kehilangan total atas sistem hidup yang telah diwariskan selama ribuan tahun.

Papua pun menghadapi persoalan serupa. Meskipun diberikan status otonomi khusus, kebijakan yang diharapkan bisa melindungi masyarakat adat sering kali tidak diterapkan secara konsisten. Alih-alih memperkuat hak-hak adat, pemerintah terlibat dalam proyek-proyek pembangunan besar yang justru menggusur masyarakat dari tanahnya. Infrastruktur dibangun tanpa dialog yang berarti, dan aspirasi masyarakat adat sering diabaikan.

Kebijakan yang tidak inklusif dan abai terhadap prinsip free, prior and informed consent menjadikan pemerintah sebagai salah satu aktor yang mempercepat marginalisasi masyarakat adat.

Perusahaan: Mesin Ekonomi atau Penjajah Alam?

Perusahaan, khususnya yang bergerak di sektor ekstraktif seperti tambang, perkebunan, dan industri kehutanan, memiliki dampak yang sangat signifikan terhadap masyarakat adat. Dengan janji pembangunan dan lapangan kerja, perusahaan sering kali justru menjadi aktor utama dalam perampasan tanah dan perusakan ekosistem.

Di Papua, keberadaan tambang raksasa seperti Freeport-McMoRan membawa dampak lingkungan yang luar biasa besar. Sungai tercemar limbah tailing, hutan gundul, dan mata pencaharian tradisional musnah. Perkebunan kelapa sawit di Kalimantan dan Papua juga mengubah wajah hutan adat menjadi ladang monokultur, mengusir masyarakat adat dari ruang hidup mereka.

Perusahaan-perusahaan kerap menggunakan taktik pecah-belah—memberi imbalan uang atau proyek kecil kepada segelintir elite lokal—untuk mendapatkan izin atas tanah. Dalam banyak kasus, mereka bekerja sama dengan pemerintah untuk mengukuhkan legalitas perampasan ini. Ketimpangan informasi, tekanan ekonomi, dan lemahnya posisi tawar masyarakat adat membuat mereka nyaris tak berdaya di hadapan kekuatan korporat.

Kehilangan Tanah, Kehilangan Identitas

Bagi masyarakat adat, tanah bukan sekadar aset ekonomi—ia adalah sumber kehidupan, ruang spiritual, dan tempat pengaliran pengetahuan leluhur. Ketika tanah dirampas, bukan hanya sumber daya yang hilang, tetapi juga identitas dan keberlanjutan budaya mereka.

Anak-anak muda yang tumbuh jauh dari tradisi nenek moyangnya mengalami keterputusan identitas. Mereka terjebak antara modernitas yang menjanjikan tetapi asing, dan budaya leluhur yang perlahan terpinggirkan. Dalam situasi seperti ini, krisis identitas tak terelakkan. Nilai-nilai komunal, solidaritas adat, dan kearifan lokal digantikan oleh individualisme dan konsumerisme.

Kerusakan lingkungan menambah penderitaan. Hutan yang dulunya dijaga sebagai bagian dari kosmologi mereka kini berubah menjadi ladang rusak. Sungai-sungai yang dulunya suci kini tercemar limbah industri. Semua ini mempercepat kehancuran ekosistem budaya masyarakat adat.

Harapan: Perlawanan dan Ketahanan Masyarakat Adat

Meski menghadapi tekanan dari berbagai arah, masyarakat adat tidak tinggal diam. Di berbagai belahan dunia, mereka bangkit memperjuangkan hak atas tanah, identitas, dan keberadaan mereka. Dukungan dari organisasi lokal, nasional, hingga internasional seperti UN Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP) menjadi landasan moral dan hukum untuk memperkuat perjuangan mereka.

Gerakan perlawanan seperti yang dilakukan suku Sioux di Standing Rock, Amerika Serikat, berhasil menggugah solidaritas global terhadap ancaman proyek Dakota Access Pipeline. Di Papua, berbagai organisasi adat dan komunitas lokal terus bersuara, menuntut pengakuan hak ulayat dan pelestarian budaya.

Kesimpulan: Jalan Menuju Keadilan dan Keberlanjutan

Agama, pemerintah, dan perusahaan adalah kekuatan besar yang dapat menentukan masa depan masyarakat adat. Bila dikelola secara adil dan inklusif, ketiganya bisa menjadi mitra yang memperkuat posisi masyarakat adat di tengah dunia yang terus berubah. Namun, tanpa penghormatan terhadap hak asasi dan nilai-nilai lokal, kekuatan ini akan menjadi alat penghancur yang menyisakan luka panjang.

Pembangunan yang sejati harus bersandar pada prinsip keadilan ekologis dan kultural. Masyarakat adat harus dilihat bukan sebagai objek pembangunan, melainkan subjek utama yang memiliki hak penuh atas tanah, identitas, dan masa depan mereka. Partisipasi aktif mereka dalam setiap kebijakan yang menyangkut hidup dan ruangnya adalah syarat mutlak untuk mewujudkan dunia yang lebih adil dan berkelanjutan.

Tanpa keadilan bagi masyarakat adat, kita bukan hanya kehilangan warisan budaya yang tak ternilai, tetapi juga mengabaikan salah satu pilar utama dalam menjaga keseimbangan bumi yang menjadi rumah bersama seluruh umat manusia.

Tinggalkan Komentar Anda :