Oleh: Helga Maria Udam
(Warga Kampung Sawoi, Distrik Kemtuk Gresi, Kabupaten Jayapura, Papua)
DI KAMPUNG Berap, Distrik Nimbokrang, Kabupaten Jayapura, mengalir sebuah sungai kecil dengan air sebening kristal dan warna biru kehijauan yang memantulkan cahaya matahari seperti cermin. Dalam bahasa setempat, masyarakat menyebutnya Warabiae. Banyak orang dari luar mengenalnya sebagai Kali Biru Genyem.
Warabiae bukan sekadar tempat indah untuk berenang dan berfoto. Ia adalah bagian dari tanah adat, bagian dari sejarah, dan bagian dari kehidupan masyarakat pemilik ulayat yang telah menjaganya turun-temurun. Tidak ada investor besar yang membangun tempat ini. Tidak ada perusahaan yang mengatur tiket masuk. Tidak ada proyek raksasa yang merubah wajah alamnya. Hanya masyarakat adat, dengan tangan dan pikiran sendiri, yang mengelola dan merawatnya dari waktu ke waktu.
Mereka membuat jalur tanah kecil agar orang bisa berjalan dengan aman. Mereka memasang papan petunjuk seadanya. Mereka menarik karcis masuk sederhana, menjaga kebersihan, dan menyambut pengunjung dengan keramahtamahan khas Papua. Namun di balik semua kesederhanaan itu, Warabiae menyimpan nilai besar: kedaulatan masyarakat adat atas tanahnya sendiri.
Dalam semangat Otonomi Khusus Papua, pemerintah seharusnya hadir bukan untuk mengambil alih atau mengubahnya menjadi komoditas besar, melainkan untuk melindungi, berpihak, dan memberdayakan masyarakat adat agar mereka tetap menjadi pemilik dan pengelola sah Warabiae. Destinasi ini bukan untuk dijual, melainkan untuk diwariskan kepada generasi berikutnya.
Perlindungan dan Keberpihakan
Salah satu akar ketimpangan pembangunan di Papua adalah ketika tanah adat yang semula dikelola masyarakat justru dikuasai pihak luar ketika tempat itu mulai dikenal dan bernilai ekonomi. Polanya berulang: masyarakat dijanjikan pembangunan, investor masuk, tanah berganti tangan, dan masyarakat adat tersingkir dari ruang hidup mereka sendiri. Banyak contoh di Papua menunjukkan betapa mudah tanah berpindah kepemilikan ketika tidak ada perlindungan hukum yang kuat.
Warabiae harus dijaga agar tidak mengalami nasib serupa. Karena itu, perlindungan hak ulayat harus menjadi langkah pertama dan utama. Pemerintah Kabupaten Jayapura memiliki tanggung jawab moral dan politik untuk memastikan tempat ini tetap menjadi milik masyarakat adat Kampung Berap. Peraturan kampung, pengakuan wilayah adat, dan mekanisme musyawarah harus menjadi tameng agar tidak ada satu pihak pun yang bisa mengklaim Warabiae di luar masyarakat adat.
Perlindungan juga berarti melibatkan masyarakat dalam setiap proses pembangunan. Tidak boleh ada rencana apa pun tentang Warabiae tanpa musyawarah adat dan persetujuan masyarakat setempat. Ini bukan sekadar formalitas, melainkan pengakuan terhadap hak mereka sebagai pemilik sah. Prinsip Free, Prior, and Informed Consent(persetujuan bebas, didahulukan, dan diinformasikan secara jelas) harus menjadi dasar.
Selain perlindungan, keberpihakan pemerintah juga sangat penting. Akses jalan menuju Warabiae saat ini masih sempit dan licin jika hujan. Toilet dan fasilitas umum sangat terbatas. Tidak ada pos keamanan atau papan peringatan keselamatan, padahal kolam Warabiae cukup dalam. Selama ini, semua perawatan dilakukan secara swadaya oleh masyarakat. Pemerintah harus hadir untuk memperbaiki akses jalan, membangun fasilitas dasar, dan menyediakan dukungan teknis—tetapi dengan satu syarat: kepemilikan dan kendali tetap di tangan masyarakat adat.
Keberpihakan yang benar bukan berarti membawa investor besar untuk “mengelola” destinasi ini, melainkan menguatkan pengelolaan masyarakat adat yang sudah ada. Pemerintah harus menjadi penopang, bukan pengganti. Negara harus berdiri di belakang masyarakat, bukan di depan mereka.
Pemberdayaan Orang Asli Papua
Warabiae adalah ruang nyata di mana Otsus Papua dapat hidup dan berdenyut. Pemberdayaan Orang Asli Papua bukan sekadar program pelatihan formal, tetapi memberi mereka posisi sebagai pemilik, pengelola, dan penerima manfaat utama dari sumber daya yang mereka jaga.
Pemerintah dapat memperkuat masyarakat adat dengan memberikan pelatihan manajemen wisata sederhana, pelatihan keselamatan air, pelatihan pemandu lokal, dan pelatihan pengelolaan sampah serta promosi digital. Dengan dukungan modal kecil, warga kampung dapat membuka warung kecil, menyewakan pelampung atau perahu, menjual kerajinan noken, atau bahkan mengelola homestay yang sederhana namun bernuansa lokal.
Namun pemberdayaan yang sesungguhnya bukan hanya soal ekonomi. Pemberdayaan berarti menempatkan masyarakat sebagai pemegang kendali atas keputusan. Bila suatu hari ada kerja sama dengan pihak luar, maka masyarakat harus menjadi pemegang saham utama, bukan buruh murah di tanah sendiri. Pemerintah harus memastikan setiap kontrak atau kerja sama melewati musyawarah adat dan mekanisme hukum kampung.
Pemberdayaan juga berarti menjaga warisan budaya dan alam. Warabiae bukan sekadar air biru. Ia adalah ekosistem hutan, habitat burung cenderawasih, dan ruang hidup yang menyimpan cerita leluhur. Wisata yang dikembangkan di sini harus selaras dengan alam dan adat, bukan merusaknya. Jumlah pengunjung harus diatur, sampah dikelola dengan baik, dan pemandu lokal harus menjadi bagian dari setiap pengalaman wisata.
Otsus Harus Hidup di Kampung
Selama ini, dana Otsus sering kali berhenti di kota. Kampung-kampung adat seperti Berap berjalan sendiri, tanpa dukungan yang memadai. Padahal, semangat Otsus adalah memperkuat kampung sebagai pusat kehidupan masyarakat Papua. Dana Otsus harus hadir di Warabiae — bukan untuk membangun taman wisata komersial, tetapi untuk memperkuat struktur lokal yang sudah ada.
Pemerintah Kabupaten Jayapura dapat mengalokasikan dana Otsus untuk membangun jalan kampung yang layak, memperbaiki fasilitas dasar, membuat pos keamanan, papan informasi, dan sarana promosi wisata. Tapi yang lebih penting, pemerintah harus memastikan bahwa setelah pembangunan selesai, pengelolaan tetap berada di tangan masyarakat adat. Negara boleh membantu, tetapi masyarakatlah pemiliknya.
Inilah wajah Otsus yang seharusnya: kehadiran negara yang memperkuat, bukan menggantikan. Otsus tidak boleh menjadikan kampung sebagai objek proyek, tetapi sebagai subjek pembangunan. Masyarakat adat bukan penerima belas kasihan, melainkan pemegang hak.
Penutup
Perlindungan, keberpihakan, dan pemberdayaan bukan sekadar konsep kebijakan. Dalam konteks Papua, ketiganya adalah urat nadi perjuangan agar Orang Asli Papua tetap menjadi tuan di tanahnya sendiri. Warabiae memberi kesempatan kepada pemerintah untuk membuktikan bahwa Otsus dapat hidup di tempat yang sesungguhnya: di kampung, di tanah adat, di tengah masyarakat yang telah lama menjaga alamnya.
Warabiae harus tetap menjadi milik masyarakat adat Kampung Berap. Tidak boleh dijual. Tidak boleh diambil alih. Tidak boleh dikendalikan oleh siapa pun selain mereka sendiri. Pemerintah hanya perlu memastikan mereka dilindungi, didukung, dan diberdayakan. Dengan cara inilah Warabiae akan tumbuh menjadi simbol Papua yang kuat—bukan karena investor, tetapi karena masyarakat adat berdiri tegak di atas tanahnya.
Jika hal ini terwujud, Warabiae tidak hanya akan menjadi destinasi wisata alam, tetapi juga simbol keberhasilan Otsus Papua yang sesungguhnya: Papua dibangun dari kampung, dikelola oleh masyarakat adat, dan memberikan manfaat untuk anak cucu mereka sendiri.









