Jakarta–Papua: Pikiran Tak Kunjung Ketemu

Jakarta–Papua: Pikiran Tak Kunjung Ketemu. Gambar ilustrasi: Odiyaiwuu.com

ADA satu kenyataan pahit yang terus berulang selama puluhan tahun: Jakarta dan Papua berbicara tentang Papua dengan dua bahasa yang berbeda. Jakarta selalu menganggap persoalan Papua sebagai persoalan “kesejahteraan”—angka pendapatan, pembangunan infrastruktur, bantuan sosial, sekolah, puskesmas, dan deretan proyek mercusuar. Sementara itu, rakyat Papua memandang persoalan inti sebagai persoalan “kemerdekaan”—harga diri, martabat, sejarah politik yang dipatahkan, dan hak menentukan masa depan sendiri. Dua dunia berpikir yang tidak pernah sejalan. Dua cara pandang yang tidak pernah bertemu. Dua posisi yang terlanjur terpisah terlalu jauh.

Bagi Jakarta, Papua adalah wilayah yang harus dikejar pembangunan fisiknya. Jalan dibuka, jembatan dibangun, bandara diperbesar, anggaran digelontorkan. Laporan-laporan resmi dipenuhi grafik dan tabel yang menunjukkan “kemajuan”. Pembangunan dianggap sebagai bahasa universal yang mampu menyelesaikan semua masalah. Ketika konflik muncul, jawabannya tetap sama: tambah anggaran, tambah proyek, tambah fasilitas. Dalam logika Jakarta, rakyat asal kenyang, sekolah, dan jalan bagus, maka persoalan mereka selesai. Padahal tidak sesederhana itu.

Sementara bagi rakyat Papua, persoalan utamanya adalah kemerdekaan—bukan sekadar dalam arti politik separatisme, tetapi dalam arti yang lebih dalam: kebebasan menentukan hidup sendiri, bebas dari ketakutan, bebas dari kekerasan, bebas dari rasa sebagai tamu di atas tanah leluhur sendiri. Kemerdekaan berarti diakui sebagai manusia seutuhnya, bukan sekadar objek proyek pembangunan. Kemerdekaan berarti menghentikan luka sejarah yang belum pernah benar-benar diobati. Bagi banyak orang Papua, selama persoalan dasar ini tidak disentuh, maka pembangunan sebanyak apa pun tidak akan pernah menghapus rasa ketidakadilan.

Karena itu, Jakarta dan Papua terus berbicara tetapi tidak saling mendengar. Jakarta sibuk dengan anggaran, Papua sibuk dengan martabat. Jakarta mengukur kemajuan dengan kilometer jalan, Papua mengukur luka dengan jumlah nyawa. Jakarta bangga dengan statistik pembangunan, Papua menangis atas tanah yang semakin hilang, budaya yang tersisih, dan kekerasan yang terus menghantui. Dua pikiran yang berjalan pada jalurnya masing-masing, tidak pernah bersentuhan, apalagi disatukan.

Konflik pun menjadi takdir yang berkepanjangan. Tidak karena orang Papua menolak pembangunan, tetapi karena pembangunan tidak pernah menyentuh akar persoalan. Tidak karena Jakarta tidak peduli, tetapi karena kepeduliannya salah alamat. Keduanya terjebak dalam lingkaran salah paham yang diwariskan dari generasi ke generasi. Dan selama bahasa pembangunan terus dipaksakan sebagai obat segala penyakit, sementara bahasa kemerdekaan terus dianggap ancaman, maka jurang itu tidak akan pernah tertutup.

Inilah tragedi terbesar relasi Jakarta–Papua: dua pikiran, dua kenyataan, dua kebenaran, tetapi tidak satu pun mencoba memahami yang lain. Selama dialog tidak pernah jujur, selama keberanian untuk mengakui kesalahan tidak pernah muncul, Papua akan tetap menjadi luka terbuka bangsa ini—luka yang terus berdarah di tengah pesta pembangunan yang semu.

Apa pun yang terjadi di masa depan, satu hal harus menjadi fondasi utama: Jakarta dan Papua wajib mempertemukan pikiran mereka secara jujur dan setara. Selama Jakarta terus berbicara tentang kesejahteraan dan Papua terus berbicara tentang kemerdekaan, keduanya hanya akan saling berjalan tanpa pernah menyentuh inti masalah. Tetapi jika kedua pihak mau duduk bersama tanpa rasa superioritas, tanpa paksaan, dan tanpa rasa curiga, maka untuk pertama kalinya ruang penyelesaian sejati benar-benar terbuka.

Dalam pertemuan pikiran itulah seluruh kemungkinan masa depan dapat dibicarakan secara bermartabat—apakah Papua memilih merdeka, atau tetap dalam NKRI dengan bentuk relasi politik yang benar-benar baru. Semua opsi adalah baik, selama lahir dari dialog yang tulus, kesetaraan, penghormatan terhadap martabat manusia, dan persetujuan bebas tanpa tekanan dari rakyat Papua sendiri. Karena masa depan yang damai tidak ditentukan oleh status politik semata, tetapi oleh kejujuran kedua pihak dalam mendengar, memahami, dan mengakui kebenaran masing-masing.

Dengan demikian, penyelesaian yang sejati bukanlah memaksakan satu jalan, tetapi membuka semua jalan, dan memilihnya melalui pertemuan pikiran yang selama ini tak pernah terjadi. (Editor)