OPINI  

Israel Pemenang di Sidang PBB 2025

Yakobus Dumupa, Pembelajar Hubungan Internasional dan Isu-isu Global, tinggal di Nabire, Tanah Papua. Foto: Dok. Odiyaiwuu.com

Loading

Oleh: Yakobus Dumupa
(Pembelajar Hubungan Internasional dan Isu-isu Global, tinggal di Nabire, Tanah Papua)

SIDANG Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun ini kembali menyoroti konflik Israel–Palestina. Dalam pekan tingkat tinggi ke-80 yang dimulai 23 September 2025, hampir semua pemimpin dunia mengangkat isu Gaza dalam pidato mereka. Seruan untuk perdamaian, gencatan senjata, dan pengakuan terhadap Palestina menggema di ruang sidang. Namun, di balik ramainya dukungan itu, ada kenyataan pahit yang sulit diabaikan. Israel tetap berdiri kokoh sebagai pihak yang paling diuntungkan. Peristiwa demi peristiwa yang terjadi selama sidang justru memperlihatkan betapa kuatnya posisi Israel, meski kecaman datang dari berbagai penjuru dunia.

Dukungan Dunia untuk Palestina dan Sikap Indonesia

Momentum besar muncul ketika Presiden Prancis Emmanuel Macron mengumumkan pengakuan resmi negaranya terhadap Palestina. Sebagai anggota tetap Dewan Keamanan, langkah Prancis memicu gaung yang luas. Sejak itu, gelombang dukungan semakin besar, hingga jumlah negara yang mengakui Palestina mencapai 157. Bagi rakyat Palestina, ini adalah kemenangan moral. Dunia semakin percaya bahwa perjuangan panjang mereka mendapat legitimasi. Namun semua itu berhenti di ranah simbolik. Dukungan tersebut tidak membuat serangan Israel berhenti, tidak mengubah realitas militer di Gaza, dan belum memberi Palestina kedaulatan nyata. Dunia bersorak, tetapi situasi tetap membara.

Indonesia juga tampil di podium dengan suara yang kuat. Presiden Prabowo Subianto menegaskan kembali dukungan Indonesia terhadap solusi dua negara (two-state solution), sembari mengingatkan bahwa keamanan Israel juga harus dijamin. Ucapannya yang menyebut, “Kita harus memiliki Palestina yang merdeka, tetapi kita juga harus mengakui, menghormati, dan menjamin keselamatan dan keamanan Israel,” menjadi sorotan internasional. Bahkan ia menambahkan, jika Israel mengakui Palestina, maka Indonesia siap mengakui Israel. Dari sudut pandang diplomasi, ini adalah capaian bagi Israel. Sebab, dari mulut pemimpin negara Muslim terbesar, muncul pengakuan bahwa keberadaan Israel sah dan layak dilindungi.

Pidato Prabowo tidak sekadar basa-basi. Ia mengirimkan sinyal bahwa Indonesia bersedia mengambil posisi sebagai jembatan antara dunia Islam dan Israel. Langkah ini menandai perubahan signifikan dari sikap lama yang keras menolak normalisasi. Bagi Palestina, dukungan Indonesia tetap ada. Tetapi bagi Israel, pidato ini adalah kemenangan diplomatik yang tak ternilai. Bahkan tanpa kompromi nyata di lapangan, Israel telah memperoleh pengakuan implisit yang semakin memperkokoh posisinya di mata dunia.

Tanggapan Netanyahu, Dukungan AS, dan Dewan Keamanan

Panggung berikutnya diisi Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. Pada 26 September, ia menyampaikan pidato di Majelis Umum PBB yang membuat lebih dari seratus diplomat walk-out. Netanyahu menegaskan bahwa Israel akan “menuntaskan” operasi militernya di Gaza. Bagi sebagian besar negara, pernyataan ini provokatif. Namun Netanyahu tidak gentar. Ia tetap menyampaikan pesannya secara penuh, bahkan kemudian menyiarkan pidato itu ke Gaza melalui pengeras suara. Tindakan itu adalah simbol dominasi psikologis, bahwa Israel tidak tunduk pada tekanan dunia. Walk-out yang tampak dramatis ternyata tidak mengurangi kekuatan pesan yang ingin disampaikan Israel.

Selain drama di Majelis Umum, Dewan Keamanan kembali menjadi panggung penentu. Pada 18 September, rapat ke-10.000 Dewan Keamanan gagal melahirkan resolusi gencatan senjata karena veto Amerika Serikat. Inilah titik paling menentukan. Tanpa dukungan AS, Israel akan sangat tertekan oleh suara mayoritas. Tetapi dengan perlindungan veto, Israel aman dari sanksi internasional. Dunia boleh marah, tetapi tidak ada keputusan yang mengikat. Inilah yang membuat Israel tetap mampu bergerak bebas di Gaza. Perlindungan Amerika Serikat menjadi benteng yang tak bisa ditembus oleh simpati global kepada Palestina.

Amerika Serikat tidak hanya melindungi Israel di forum internasional, tetapi juga menopang kekuatan militernya. Dukungan dana, senjata, dan teknologi menjadikan Israel salah satu kekuatan militer paling dominan di kawasan. Dengan kombinasi perlindungan politik dan kekuatan militer, Israel berada di posisi yang tidak bisa ditandingi. Dunia boleh mengutuk, tetapi Israel tetap melangkah sesuai agendanya. Majelis Umum bisa menjadi panggung retorika, tetapi Dewan Keamanan adalah arena nyata, dan di sanalah Israel selalu menang.

Kemenangan Israel

Jika semua dinamika itu ditarik dalam satu garis lurus, hasilnya jelas: Israel tetap keluar sebagai pemenang. Palestina memang berhasil mengumpulkan simpati dunia. Mereka mendapatkan dukungan moral, pengakuan politik, bahkan sorotan media global. Tetapi dukungan itu tidak mengubah fakta bahwa Israel tetap menguasai jalannya konflik. Dukungan mayoritas hanya berhenti di ruang sidang, sementara Israel menguasai realitas di lapangan.

Ada beberapa alasan mengapa Israel tetap menang. Pertama, perlindungan Amerika Serikat di Dewan Keamanan menjadikannya kebal terhadap keputusan internasional. Selama veto AS masih ada, semua resolusi yang merugikan Israel akan gugur. Kedua, kekuatan militer dan teknologi membuat Israel mampu mengendalikan medan perang. Tidak ada kekuatan di kawasan yang bisa menandinginya. Ketiga, kelemahan internal Palestina membuat mereka sulit bersatu, sehingga tidak bisa menyaingi kekuatan Israel. Keempat, legitimasi yang terus berkembang—seperti pidato Prabowo—menunjukkan bahwa Israel semakin diterima, bahkan oleh negara-negara yang dulu menentangnya.

Kemenangan Israel juga terlihat dari kemampuannya mengendalikan narasi global. Netanyahu boleh dikecam, tetapi tetap mendapat panggung. Pesannya tetap tersampaikan, dan bahkan menjadi berita utama.Walk-out hanya menghasilkan gambar dramatis, tetapi tidak menghalangi Israel menegaskan posisinya. Inilah cara Israel bertahan: menolak tunduk pada tekanan, memanfaatkan perlindungan sekutu, dan menunjukkan kekuatan di setiap kesempatan.

Sidang PBB 2025 menegaskan jurang antara idealisme dan realitas. Dunia memberi simpati kepada Palestina, tetapi kekuasaan tetap di tangan Israel. Palestina boleh dielu-elukan sebagai simbol perjuangan, tetapi Israel tetap mengendalikan jalannya konflik. Dalam politik internasional, simpati tidak cukup untuk mengubah keadaan. Yang menentukan adalah kekuatan militer, ekonomi, dan dukungan dari sekutu besar. Dan semua itu ada di pihak Israel.

Maka, meski kecaman mengalir deras, meski dukungan moral untuk Palestina membanjir, Israel tetap berdiri sebagai pemenang. Panggung PBB sekali lagi hanya menjadi arena simbolik, sementara realitas lapangan membuktikan siapa yang benar-benar berkuasa. Dalam pertarungan panjang antara simpati dan kekuatan, Israel masih memegang kendali penuh.