GAZA Peace Summit 2025 yang digelar di Sharm El Sheikh, Mesir pada 13 Oktober 2025 menjadi tonggak penting dalam upaya diplomasi internasional. Konferensi ini digelar setelah dua tahun perang berdarah antara Israel DefenseForces dan Hamas sejak pecahnya konflik pada 7 Oktober 2023. Dalam forum tersebut, negara-negara besar dan organisasi internasional mendeklarasikan komitmen untuk menghentikan kekerasan dan membangun masa depan Gaza yang lebih stabil.
Deklarasi ini memberi secercah harapan. Namun, sejarah panjang konflik Israel–Palestina mengajarkan bahwa perdamaian di atas kertas tidak selalu berarti perdamaian di lapangan. Dua pihak utama — Israel dan Hamas — bahkan tidak hadir langsung dalam konferensi itu. Ketidakhadiran ini menyiratkan satu hal mendasar: perundingan dilakukan tanpa suara utama pihak yang bertikai. Diplomasi seperti ini kerap berakhir sebagai kesepakatan elitis yang sulit diwujudkan di medan nyata.
Paket perdamaian yang digagas Presiden Donald Trump berisi 20 langkah ambisius, mulai dari pelucutan senjata Hamas, penempatan pasukan internasional, hingga pembentukan pemerintahan transisi teknokratik di Gaza. Tetapi langkah sebesar ini tidak akan berjalan tanpa legitimasi politik dari rakyat Gaza sendiri dan tanpa komitmen jelas dari Israel. Sementara itu, Hamas telah menyebut rencana ini sebagai bentuk “penjajahan terselubung”, sedangkan faksi kanan Israel juga menolaknya secara terbuka.
Di lapangan, tantangannya nyata dan rumit. Legitimasi pemerintahan transisi belum tentu diterima oleh masyarakat Gaza yang telah hidup di bawah satu otoritas selama hampir dua dekade. Penempatan pasukan asing bisa memicu ketegangan baru. Rekonstruksi Gaza membutuhkan dana besar dan stabilitas yang belum terjamin. Dan yang lebih mendasar: jurang politik dan militer antara Israel dan Hamas tidak mengecil, justru tetap menganga.
Dunia internasional menyambut pertemuan ini dengan optimisme yang hati-hati. Negara-negara Arab moderat menyebutnya langkah awal menuju stabilitas. Barat menganggapnya keberhasilan diplomatik. Tetapi Iran dan kelompok perlawanan Palestina memandangnya sebagai upaya menghapus peran Hamas dan mengukuhkan status quoyang menguntungkan Israel. Sementara itu, rakyat Gaza menyambut dengan perasaan campur aduk: harapan untuk hidup normal bercampur dengan kecurigaan terhadap agenda asing yang tidak melibatkan suara mereka.
Perdamaian sejati tidak lahir dari pertemuan internasional megah, melainkan dari kemauan politik yang nyata dan keberanian menghadapi kenyataan pahit. Selama dua pihak utama tidak duduk di meja perundingan dan tidak bersedia berkompromi, kesepakatan ini berpotensi menjadi jeda pendek, bukan perdamaian permanen.
Israel dan Hamas kini berada di persimpangan jalan. Jika perundingan lanjutan tidak melibatkan mereka secara nyata dan mengakar, maka Gaza Peace Summit 2025 hanya akan menjadi satu lagi catatan diplomasi indah yang dilupakan — bukan titik balik sejarah. (Editor)