UMAT Islam Indonesia sedang berada dalam sebuah dilema ideologis yang pelik. Di satu sisi, mayoritas Muslim Indonesia menganut paham Sunni dan secara kultural maupun teologis menunjukkan penolakan terhadap Syiah, aliran yang menjadi mayoritas di Iran. Sentimen anti-Syiah telah tumbuh subur di berbagai kelompok keagamaan, bahkan menimbulkan pengucilan dan kekerasan terhadap komunitas Syiah di dalam negeri. Iran, sebagai representasi utama negara Syiah di dunia, sering dicap sesat, menyimpang, bahkan dianggap musuh akidah oleh sebagian kelompok Islam di Indonesia.
Namun di sisi lain, ketika Iran berdiri tegas melawan Israel—negara yang sejak lama dianggap sebagai musuh bersama umat Islam karena penjajahan atas Palestina—reaksi umat Islam Indonesia justru berbalik arah. Tiba-tiba Iran dipuji dan dielu-elukan. Sikap keras Iran terhadap Israel dianggap sebagai cerminan keberanian Islam sejati. Para tokoh dan kelompok Islam yang biasanya mengecam Iran, kini memuji tindakan perlawanan Iran terhadap agresi militer Israel dan solidaritasnya terhadap Palestina.
Fenomena ini menunjukkan paradoks dan kebingungan yang nyata dalam cara berpikir sebagian besar umat Islam Indonesia. Ketika berbicara tentang akidah dan perbedaan mazhab, Iran dijadikan musuh. Namun saat bicara tentang musuh bersama yang lebih besar, yakni Israel, Iran dijadikan sekutu dan simbol perlawanan. Tidak sedikit yang membagikan video propaganda Iran, menyebarkan pidato pemimpin tertinggi Iran, dan mengagungkan Garda Revolusi Islam, padahal sebelumnya kelompok yang sama lantang menentangnya.
Situasi ini menunjukkan bahwa preferensi umat Islam Indonesia dalam menilai Iran lebih didasarkan pada emosi politik dan sentimen musuh bersama daripada konsistensi ideologis atau kejelasan berpikir. Keberpihakan kepada Palestina dijadikan pembenaran untuk mengabaikan sikap negatif terhadap Syiah, seolah perlawanan terhadap Israel bisa menghapus perbedaan mendasar dalam paham keagamaan yang selama ini ditentang. Akibatnya, lahirlah kontradiksi dalam wacana keislaman dan sikap publik yang membingungkan.
Ironisnya, kebingungan ini justru memperlihatkan bahwa narasi umat Islam di Indonesia rentan dipengaruhi opini-opini global tanpa kerangka berpikir yang matang. Alih-alih memiliki sikap yang kritis dan konsisten, sebagian umat lebih terjebak dalam euforia simbolik dan narasi biner: siapa lawan Israel, dia adalah kawan. Padahal dunia Islam jauh lebih kompleks, dengan perbedaan ideologi, kepentingan geopolitik, dan agenda masing-masing negara.
Sudah saatnya umat Islam Indonesia bersikap dewasa dalam memandang dinamika internasional. Tidak cukup hanya berpihak karena faktor emosional dan simbol perlawanan. Harus ada upaya untuk memahami posisi Iran secara utuh—baik dalam doktrin, praktik politik, maupun kepentingan regionalnya—sebelum menjadikannya panutan atau sekutu. Kematangan dalam bersikap bukan hanya soal memilih kawan dan lawan, tetapi juga tentang memahami dengan jernih siapa yang kita dukung, mengapa kita mendukung, dan apa konsekuensinya bagi umat Islam secara keseluruhan. (Editor)