Oleh Willem Bobi
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Fisika Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta
DI PUNCAK Grasberg, salju tipis kadang masih singgah. Namun di balik dingin pegunungan itu, hujan deras yang tak henti mengguyur kini mengubah wajah tambang raksasa PT Freeport Indonesia menjadi ladang risiko.
Air yang jatuh dari langit tak hanya membasahi tanah. Namun, membawa serta potensi banjir, longsor, dan tragedi yang bisa menelan ribuan jiwa.
“Gunung itu seperti tubuh yang terus dioperasi tanpa jeda,” ujar warga di sekitar tambang yang enggan disebut namanya. “Setiap hujan lebat, kami tahu perut bumi bisa bergerak kapan saja ke lembah sungai di lembah Waa-Banti.”
Perumpamaan itu bukan sekadar rasa takut. Pada 8 September 2025, bukti nyata hadir: longsor material basah (wet muck) menutup akses evakuasi di tambang bawah tanah Grasberg Block Cave (GBC).
Tujuh pekerja kontraktor terjebak, operasi dihentikan, dan keluarga korban menunggu dengan doa yang berat. Dua tahun sebelumnya, Februari 2023, hujan ekstrem di Mile 74 menumpahkan lumpur dan batu ke jalan tambang serta pabrik pengolahan. Jalur logistik lumpuh, alat berat terhenti, dan Tembagapura terisolasi.
Secara geologis, Grasberg memang ibarat tubuh yang penuh luka terbuka. Lerengnya terbentuk dari batuan intrusi yang rapuh akibat proses hidrotermal. Begitu hujan ekstrem meresap, lapisan batu itu kehilangan kekuatan, retakan-retakan kecil berubah menjadi “pipa air” yang melemahkan dinding tambang dari dalam.
Ahli geologi menyebut kondisi ini sebagai kombinasi sempurna menuju longsor: lereng curam, tanah jenuh, dan getaran aktivitas tambang yang terus mengganggu keseimbangan alam salju abadi.
Areal Rawan yang Membentang
Peta risiko menunjukkan bencana tidak hanya mengintai di lorong tambang. Jalur transportasi Mile 66–74, tempat ratusan truk raksasa lalu-lalang setiap hari, juga rawan runtuhan lereng. Pemukiman karyawan di Tembagapura, yang berdiri di tebing curam dan dihuni sekitar tiga ribu orang, bagai sarang burung di tepi jurang.
Sementara di bawah sana, aliran Kali Kabur dan Kali Ajkwa yang bermuara ke Timika siap meluap jika hujan tak kunjung reda, mengancam 10 hingga 15 ribu warga sipil di dataran rendah.
Bila ditotal hampir 20 ribu jiwa berada dalam radius ancaman langsung: ribuan pekerja di lorong tambang setiap shift, ratusan di jalur logistik, ribuan di Tembagapura hingga belasan ribu di Timika yang setiap hari melihat air sungai semakin keruh dan deras menggumpal.
“Bayangkan kalau satu kali longsor besar menutup jalan di Mile 66, atau kalau Kali Ajkwa meluap dan dua tanggul roboh,” kata seorang akademisi lokal di Timika. “Itu bukan hanya urusan Freeport, tapi urusan seluruh Mimika, Papua, Indonesia bahkan mata dunia melirik. Ekonomi bisa lumpuh, masyarakat bisa jadi korban.”
BMKG melaporkan curah hujan di kawasan Tembagapura sejak awal September sudah tembus 300–400 millimeter per pekan, hampir dua kali lipat dari rata-rata musim transisi. Anomali suhu laut di Pasifik barat membuat atmosfer kian basah, dan prakiraan cuaca menunjukkan hujan ekstrem bisa berlanjut hingga akhir Oktober 2025 mendatang.
Dalam topografi seterjal pegunungan Papua, angka itu bukan sekadar statistik, melainkan peringatan dini akan bencana agar dipikirkan serius oleh para eksekutif dan komisaris di ruang rapat raksasa.
“Setiap hujan deras, kami selalu dengar suara dari perut gunung, seperti gemuruh jauh di dalam,” kata seorang warga Tembagapura. “Itu bikin kami takut, karena kami tahu tanah ini bisa runtuh kapan saja.” kisahnya pasca tambang raksasa itu beroperasi legal sejak tahun 1970-an awal.
Seruan Mitigasi dan Kewajiban Moral
Para ahli menilai waktu sudah sangat mendesak. Penguatan lereng dan vegetasi penahan harus segera dilakukan. Sensor curah hujan dan kelembaban tanah perlu dipasang, bukan hanya di tambang tapi juga di pemukiman dan jalur transportasi.
Sistem peringatan dini berbasis data BMKG harus terintegrasi dengan jadwal operasi tambang. Bahkan ada yang menyarankan operasi dihentikan sementara ketika prakiraan menunjukkan hujan ekstrem.
Tony Wenas, Presiden Direktur PTFI kerap menegaskan dukungan perusahaan bagi keluarga korban setiap kali insiden terjadi. Namun masyarakat dan keluarga karyawan berharap lebih: bukan sekadar respons setelah tragedi, melainkan langkah antisipasi sebelum bencana benar-benar menghantam dan mengorbankan nyawa manusia.
Grasberg berdiri megah, seolah altar batu raksasa tempat awan dan hujan berdoa setiap hari. Namun di bawah kemegahan itu, tubuh gunung terus disayat —dipenuhi terowongan, dinding terbuka, dan lereng yang rapuh. Setiap tetes hujan yang jatuh kini serupa palu kecil yang menguji retakan di tulangnya.
Tanpa mitigasi serius, hujan yang mestinya membawa kesuburan justru bisa menjelma maut. Banjir dan longsor bukan hanya mengancam emas dan tembaga, tapi juga 20 ribu jiwa manusia yang hidup di sekitarnya.
Keselamatan manusia semestinya jadi hukum tertinggi. Sebab sekali tanah bergerak, air meluap, dan batu runtuh, Grasberg bisa berubah dari tambang raksasa menjadi kuburan sunyi di tengah pegunungan tinggi Papua. Namola menoo.