Oleh Alexander Philiph Sitinjak
Anggota Departemen Politik dan Hubungan Antar Lembaga Presidium Pusat Ikatan Sarjana Katolik (ISKA)
TANAH Papua adalah tempat di mana keindahan alam berpadu dengan kompleksitas kemanusiaan. Di satu sisi, kekayaan budaya dan spiritualitas masyarakatnya menjadi fondasi kuat bagi kehidupan sosial. Namun, di sisi lain, tanah ini terus dirundung konflik berkepanjangan yang membawa penderitaan bagi masyarakat sipil.
Dalam situasi yang penuh luka ini, kehadiran Mgr Bernardus Bofitwos Baru, OSA, sebagai Uskup Keuskupan Timika menjadi momentum penting. Pengangkatannya oleh Paus Fransiskus pada 8 Maret 2025 bukan sekadar peristiwa gerejawi, tetapi juga menandai harapan baru bagi perjuangan kemanusiaan di Papua dengan ditambahnya Uskup yang asli orang Papua.
Sebagai seorang pemimpin rohani, akademisi, dan aktivis sosial, Uskup Bernardus memiliki peran strategis dalam membangun jembatan perdamaian serta meneguhkan martabat manusia di Papua. Kehadirannya diharapkan mampu membawa angin segar bagi upaya rekonsiliasi, keadilan, dan perdamaian bagi seluruh masyarakat Papua.
Papua bukan sekadar soal sumber daya alam atau angka pertumbuhan ekonomi. Papua adalah tentang manusia, tentang mereka yang hidup dalam ketidakpastian, tentang anak-anak yang tumbuh di tengah bayang-bayang konflik, tentang komunitas yang terus bertanya apakah keadilan akan pernah benar-benar hadir di tanah mereka. Konflik antara kelompok bersenjata Organisasi Papua Merdeka dan aparat keamanan Indonesia telah berlangsung selama puluhan tahun. Ia bukan hanya menciptakan korban di medan tempur, tetapi juga di desa-desa terpencil, di sekolah-sekolah yang tak lagi memiliki guru, di keluarga-keluarga yang kehilangan orang-orang tercinta.
Di tengah semua ini, suara kemanusiaan sering kali tenggelam. Negara melihat Papua sebagai bagian dari kedaulatan yang harus dijaga. Organisasi Papua Merdeka (OPM) melihatnya sebagai tanah yang harus diperjuangkan. Dan di antara mereka, masyarakat sipil, orang-orang biasa yang hanya ingin hidup damai, terperangkap dalam pusaran kekerasan yang tidak pernah mereka pilih. Kini, harapan itu berada di tangan Uskup Bernardus. Dengan latar belakang akademis yang kuat dan pengalaman pastoral yang luas, beliau memahami bahwa konflik Papua bukan hanya persoalan politik, tetapi juga kemanusiaan. Ribuan warga sipil, baik dari masyarakat asli Papua maupun pendatang, menjadi korban kekerasan, pengungsian, serta ketidakadilan struktural yang berakar dalam sejarah panjang marginalisasi Papua.
Sejarah telah mencatat bahwa Gereja Katolik di Papua bukan hanya sekadar lembaga keagamaan, tetapi juga benteng moral yang memperjuangkan hak-hak masyarakat adat dan mereka yang terpinggirkan akibat konflik berkepanjangan. Dari Pastor Neles Tebay hingga almarhum Uskup John Philip Saklil, Gereja di Papua selalu berada di garis depan dalam memperjuangkan dialog damai dan keadilan sosial. Mereka memahami bahwa Papua bukan masalah militer, tetapi masalah kemanusiaan. Kini, tongkat estafet itu berada di tangan Uskup Bernardus. Beliau bukan orang luar yang datang membawa teori-teori perubahan dari jauh. Beliau lahir dan besar di Papua, merasakan langsung bagaimana kehidupan di tanah ini berjalan, bagaimana harapan dan ketakutan masyarakat bercampur dalam keseharian mereka.
Sebagai seorang gembala umat, Uskup Bernardus memiliki legitimasi untuk berbicara bagi mereka yang tidak memiliki suara. Ia memahami bahwa Papua tidak bisa diselesaikan dengan peluru atau perundingan sepihak, tetapi dengan dialog yang tulus dan berakar pada kemanusiaan. Papua membutuhkan ruang di mana semua pihak bisa berbicara tanpa rasa takut. Bukan sekadar dialog yang dikendalikan oleh kepentingan politik, tetapi dialog yang benar-benar mendengar suara masyarakat. Gereja bisa menjadi fasilitator dalam membangun jembatan antara pemerintah, kelompok pro-kemerdekaan, dan masyarakat sipil agar perundingan berlangsung secara adil dan berkelanjutan.
Pendidikan adalah kunci bagi masa depan Papua. Namun, yang dibutuhkan bukan sekadar angka literasi atau infrastruktur sekolah, tetapi pendidikan yang menanamkan kebanggaan akan identitas, penghormatan terhadap perbedaan, dan kemampuan membangun masa depan tanpa kekerasan. Sebagai seorang akademisi, Uskup Bernardus bisa membawa perspektif baru dalam membangun ekosistem pendidikan yang lebih inklusif dan berorientasi pada kemanusiaan. Ada banyak korban konflik di Papua yang suaranya tidak pernah sampai ke Jakarta. Para pengungsi yang kehilangan rumah, anak-anak yang kehilangan orang tua, keluarga yang tidak tahu di mana anggota keluarganya yang ditangkap, mereka sering kali hanya menjadi statistik dalam laporan resmi. Gereja bisa memastikan bahwa mereka dipandang sebagai manusia dengan martabat, bukan sekadar angka dalam laporan administratif.
Lebih luas lagi, Uskup Bernardus dapat mengajak seluruh bangsa untuk melihat Papua dengan perspektif yang lebih dalam. Selama ini, banyak orang di luar Papua hanya memahami daerah ini dalam dua narasi: separatisme atau pembangunan. Padahal, Papua bukan hanya soal politik atau ekonomi. Papua adalah tentang orang-orangnya. Mereka memiliki hak untuk hidup damai, dihormati, dan diakui sebagai bagian dari bangsa ini dengan setara. Kehadiran Uskup Bernardus membawa harapan bahwa Papua tidak lagi hanya dilihat dari kepentingan politik semata, tetapi juga dari sisi kemanusiaan yang lebih mendalam.
Dunia tidak kekurangan pemimpin. Tetapi dunia kekurangan pemimpin yang memiliki hati untuk rakyatnya. Uskup Bernardus Bofitwos Baru, OSA, adalah harapan bagi Papua karena beliau adalah bagian dari Papua. Beliau tidak datang dengan janji-janji kosong. Ia datang dengan pemahaman mendalam bahwa Papua bisa berubah, tetapi perubahan itu tidak bisa dipaksakan. Papua membutuhkan dialog, bukan dominasi. Papua membutuhkan penghormatan, bukan paksaan. Papua membutuhkan kepemimpinan yang lahir dari tanah ini sendiri, dari mereka yang memahami bahwa setiap nyawa di Papua sama berharganya dengan nyawa di bagian mana pun dari negeri ini.
Semoga kita melihat secercah harapan di tengah gelapnya konflik. Dengan kehadiran Uskup Bernardus, kita bisa percaya bahwa mungkin, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Papua tidak hanya akan menjadi wilayah yang diperebutkan oleh politik, tetapi tanah yang benar-benar dihargai oleh kemanusiaan. Papua tidak butuh lebih banyak darah. Papua butuh lebih banyak cinta. Dan di tangan pemimpin seperti Uskup Bernardus, harapan itu masih bisa diperjuangkan.