Oleh: Helga Maria Udam
(Warga Kampung Sawoi, Distrik Kemtuk Gresi, Kabupaten Jayapura, Papua)
Pendahuluan: Cermin Luka Pembangunan Papua
Grime Nawa bukan sekadar nama sebuah wilayah di tengah Kabupaten Jayapura. Ia adalah potret nyata masyarakat Papua yang hidup di atas tanah yang subur, diapit hutan rimbun, sungai jernih, dan sumber daya alam melimpah, namun terperangkap dalam ketertinggalan panjang. Jarak jauh dari Sentani sebagai pusat pemerintahan, minim infrastruktur dasar, dan ketimpangan pembangunan membuat masyarakat di wilayah ini seperti hidup di dunia yang dilupakan.
Untuk mengurus dokumen kependudukan, mereka harus menempuh perjalanan panjang dan mahal. Untuk berobat, mereka sering menunda atau membatalkan karena jarak dan biaya. Untuk bersekolah, banyak anak harus meninggalkan kampung. Sementara itu, pembangunan dan kebijakan publik lebih banyak mengalir ke kota. Di kampung-kampung Grime Nawa, kehidupan berlangsung dalam keterbatasan yang seakan dianggap wajar. Padahal di balik keterbatasan itu, ada rasa sakit yang tidak pernah benar-benar disuarakan: rasa ditinggalkan, tidak dianggap, dan tidak punya kuasa atas nasib sendiri.
Ironisnya, wilayah ini memiliki potensi besar di berbagai bidang: pertanian, perikanan, kehutanan, budaya, sosial, dan politik lokal. Namun semua potensi itu seperti terkunci oleh keadaan. Karena itu, berbicara tentang Grime Nawa bukan sekadar berbicara tentang pemekaran kabupaten, tetapi tentang kewajiban moral dan politik untuk membangkitkan martabat manusia—membuka ruang bagi masyarakat untuk menjadi berdaya dalam seluruh aspek kehidupannya.
Tidak Berdaya: Ketertinggalan yang Menyeluruh
Ketidakberdayaan masyarakat Grime Nawa bukan hanya terjadi pada satu bidang, melainkan merata di semua lini kehidupan—ekonomi, sosial, pendidikan, kesehatan, politik, lingkungan, dan budaya.
Dalam kehidupan ekonomi, masyarakat hidup dalam lingkaran subsistensi: bercocok tanam sekadar untuk makan hari ini, bukan membangun masa depan. Potensi pertanian, perikanan, dan kehutanan ada, tetapi tidak terhubung ke pasar dan tidak memiliki dukungan modal serta teknologi. Lapangan kerja formal hampir tidak ada, menyebabkan pengangguran menjadi fenomena umum, terutama di kalangan anak muda. Dalam ruang kosong tanpa pekerjaan, banyak pemuda terjebak dalam kebiasaan mabuk-mabukan, berjudi, atau terlibat dalam pencurian kecil untuk bertahan hidup.
Dalam bidang sosial dan keluarga, ketidakberdayaan tampak dalam rapuhnya ketahanan keluarga. Banyak keluarga hidup dalam rumah semi permanen, dengan sanitasi buruk, air bersih terbatas, dan listrik tidak stabil. Mereka hidup dari hari ke hari tanpa tabungan, tanpa jaminan sosial, dan tanpa perencanaan masa depan. Dalam tekanan hidup yang panjang, kekerasan dalam rumah tangga meningkat, konflik antarkelompok sering muncul, dan perkelahian pemuda menjadi pemandangan yang tidak asing.
Dalam bidang pendidikan, ketertinggalan semakin mencolok. Akses terhadap sekolah sangat terbatas, terutama di tingkat menengah dan atas. Anak-anak harus menempuh jarak jauh atau pindah ke kota untuk melanjutkan pendidikan. Banyak yang akhirnya putus sekolah. Guru dan tenaga pendidik pun sering tidak menetap lama di wilayah ini karena fasilitas minim. Pendidikan yang seharusnya menjadi jalan keluar dari kemiskinan justru menjadi kemewahan yang sulit dijangkau.
Dalam bidang kesehatan, masyarakat tidak memiliki fasilitas kesehatan yang memadai di kampung-kampung. Untuk berobat, mereka harus pergi ke Sentani dengan biaya besar. Banyak orang memilih menahan sakit atau hanya mengandalkan pengobatan tradisional seadanya. Akibatnya, penyakit ringan sering menjadi berat, dan kasus kematian akibat keterlambatan penanganan medis masih sering terjadi.
Dalam bidang politik dan pemerintahan, masyarakat Grime Nawa tidak punya ruang representasi yang kuat. Keputusan pembangunan dibuat jauh dari mereka. Suara mereka lemah, aspirasi jarang ditindaklanjuti. Dalam struktur seperti ini, masyarakat bukan menjadi subjek pembangunan, melainkan penonton. Ketika suara mereka tak terdengar, ketidakberdayaan menjadi semakin dalam.
Dalam bidang budaya dan lingkungan, masyarakat juga mengalami tekanan. Pola hidup yang pasif dan terpinggirkan perlahan meruntuhkan semangat dan kebanggaan budaya lokal. Sementara itu, eksploitasi sumber daya alam di wilayah sekitar—oleh pihak luar—sering terjadi tanpa melibatkan masyarakat sebagai pemilik tanah adat. Mereka menyaksikan tanah mereka dimanfaatkan orang lain, tanpa punya daya untuk menuntut keadilan.
Semua ini menciptakan satu lingkaran setan: ketidakberdayaan di satu bidang memperkuat ketidakberdayaan di bidang lainnya. Masyarakat tahu mereka tertinggal, tetapi tidak punya daya dan sarana untuk melawan ketertinggalan itu.
Menjadi Berdaya: Membangun Kekuatan di Semua Bidang
Perubahan sejati hanya akan terjadi jika pemberdayaan dilakukan secara menyeluruh, tidak parsial. Masyarakat Grime Nawa perlu didukung untuk bangkit dalam setiap aspek kehidupannya.
Pertama, pemberdayaan ekonomi. Pemerintah dan semua pemangku kepentingan harus membangun sistem ekonomi lokal yang kuat, berbasis pada potensi masyarakat sendiri. Pertanian rakyat perlu dikembangkan dengan teknologi tepat guna. Perikanan air tawar, pengelolaan hutan lestari, dan ekowisata dapat menjadi sumber penghidupan. Akses modal, pelatihan, dan pasar harus disediakan secara adil. Dengan begitu, masyarakat punya pendapatan yang stabil, pemuda punya pekerjaan, dan ketergantungan terhadap pusat kota berkurang.
Kedua, penguatan sosial dan keluarga. Keluarga adalah inti dari kehidupan masyarakat. Ketahanan keluarga perlu diperkuat melalui program perlindungan sosial, perumahan layak, air bersih, sanitasi, dan layanan dasar lainnya. Gereja dan lembaga sosial dapat berperan penting dalam mendampingi keluarga menghadapi tekanan sosial. Ruang-ruang aman dan produktif bagi anak muda perlu dibangun agar mereka tidak lagi mencari pelarian dalam minuman keras atau perilaku destruktif lainnya.
Ketiga, akses pendidikan dan kesehatan yang merata. Pemerintah harus memastikan sekolah dan fasilitas kesehatan hadir di wilayah Grime Nawa. Guru dan tenaga medis perlu mendapatkan insentif dan fasilitas memadai agar mau tinggal dan bekerja di kampung. Anak-anak harus bisa belajar tanpa meninggalkan rumah. Masyarakat harus dapat berobat dengan biaya terjangkau dan cepat. Pendidikan dan kesehatan bukan hadiah, melainkan hak dasar yang harus dijamin negara.
Keempat, penguatan posisi politik dan kewenangan lokal. Pemekaran wilayah menjadi salah satu strategi realistis untuk memperkuat suara masyarakat. Dengan pemerintahan lokal yang dekat, aspirasi rakyat lebih cepat ditangani, dan kebijakan pembangunan dapat diarahkan secara tepat. Pemekaran bukan tujuan akhir, tetapi sarana untuk memperluas ruang kendali masyarakat atas masa depan mereka.
Kelima, pelestarian budaya dan pengelolaan lingkungan berkelanjutan. Masyarakat Grime Nawa harus diberi ruang dan kewenangan untuk menjaga tanah, hutan, dan air mereka sendiri. Budaya lokal harus dipertahankan sebagai kekuatan, bukan dibiarkan terkikis oleh modernisasi yang timpang. Pengelolaan sumber daya alam harus menempatkan masyarakat adat sebagai pelaku utama, bukan sekadar penonton.
Dengan pemberdayaan yang menyeluruh di semua bidang ini, Grime Nawa dapat bergerak dari wilayah yang lama terpinggirkan menjadi wilayah yang berdiri tegak atas kaki sendiri.
Penutup: Tanggung Jawab Kolektif untuk Mengangkat
Ketidakberdayaan masyarakat Grime Nawa bukan muncul dari ruang hampa. Ia lahir dari pembangunan yang timpang, kebijakan yang terpusat, dan suara rakyat yang terlalu lama diabaikan. Masalah sosial seperti mabuk-mabukan, pengangguran, pencurian, perkelahian, dan kekerasan hanyalah gejala dari akar masalah yang lebih dalam: ketidakadilan dalam semua aspek kehidupan.
Karena itu, tanggung jawab membangkitkan Grime Nawa tidak bisa diletakkan di satu pundak saja. Pemerintah pusat harus hadir dengan kebijakan afirmatif yang berpihak kepada wilayah tertinggal. Pemerintah daerah harus keluar dari kenyamanan pembangunan kota dan benar-benar menyentuh kampung. Gereja dan lembaga agama harus menjadi motor moral dan sosial. Organisasi masyarakat sipil harus hadir dengan program pemberdayaan yang konsisten dan jangka panjang. Dunia usaha harus membuka peluang ekonomi yang adil dan menghormati masyarakat lokal.
Dan yang paling penting, masyarakat Grime Nawa sendiri harus bangkit. Persatuan mereka dalam perjuangan pemekaran adalah modal sosial yang kuat. Dengan dukungan semua pihak, mereka bisa menjadi masyarakat yang mandiri, percaya diri, dan bermartabat.
Grime Nawa tidak boleh selamanya menjadi penonton pembangunan. Mereka harus menjadi pelaku utama yang menentukan masa depan tanahnya sendiri. Dari tidak berdaya menuju berdaya, dari penonton menjadi pemain, dari pinggiran menjadi pusat harapan baru. Inilah panggilan untuk semua pihak: bertanggung jawablah bersama, karena harga diri satu wilayah adalah harga diri seluruh bangsa.









