OPINI  

Gencatan Senjata Yang Runtuh: Gaza Kembali Jadi Neraka

Yakobus Dumupa, Pembelajar Hubungan Internasional dan Isu-isu Global, tinggal di Nabire, Tanah Papua. Foto: Dok. Odiyaiwuu.com

Loading

Oleh: Yakobus Dumupa
(Pembelajar Hubungan Internasional dan Isu-isu Global, tinggal di Nabire, Tanah Papua)

TANAH Gaza kembali bergetar oleh dentuman bom. Hanya tiga pekan setelah gencatan senjata yang dimediasi Amerika Serikat diumumkan pada 10 Oktober 2025, Israel melancarkan serangan udara besar-besaran ke wilayah Jalur Gaza pada Senin malam, 28 Oktober 2025. Dalam satu malam, lebih dari seratus warga sipil tewas, termasuk anak-anak yang baru belajar menyebut kata “damai.” Dunia menatap layar berita dengan rasa ngeri yang sama—namun juga dengan kebisuan yang sama. Tragedi di Gaza kini bukan lagi peristiwa luar biasa, melainkan rutinitas kematian yang terus berulang.

Israel menuduh Hamas melanggar kesepakatan gencatan senjata setelah kelompok itu menyerahkan jenazah sandera yang diklaim salah identitas. Hamas membantah tuduhan tersebut dan menuding Israel sengaja mencari alasan untuk memulai perang baru. Di tengah saling tuding, bom kembali dijatuhkan, gedung-gedung runtuh, dan tubuh-tubuh manusia berserakan di reruntuhan. Bau kematian masih menyelimuti Gaza, sementara dunia kembali sibuk menyusun kalimat diplomatik untuk menutupi kebisuannya.

Gencatan yang Runtuh dan Ilusi Perdamaian

Kesepakatan gencatan senjata yang diumumkan pada 10 Oktober 2025 sejatinya rapuh sejak awal. Tak satu pun pihak benar-benar percaya pada komitmen lawannya. Israel melihat Hamas sebagai ancaman eksistensial yang harus dihancurkan hingga ke akar, sementara Hamas memandang gencatan sebagai taktik untuk bertahan hidup. Di antara dua ketidakpercayaan itu, rakyat Gaza kembali menjadi korban abadi.

Pelanggaran pertama terjadi pada 28 Oktober 2025, ketika Israel menuduh Hamas mengembalikan jenazah sandera yang tidak sesuai identitas. Tuduhan itu dijadikan alasan untuk melakukan pembalasan militer. Dunia internasional menyaksikan, namun hanya mampu mengulang seruan lama: “menyesalkan” dan “mengimbau.” Amerika Serikat, sebagai mediator utama, tetap berdiri di sisi Israel. Washington menyerukan penghentian kekerasan, tetapi di saat yang sama menegaskan bahwa Israel “berhak membela diri.” Kalimat itu terdengar diplomatis, tetapi di telinga rakyat Gaza, itu sama saja dengan izin untuk membunuh.

Pada Selasa dini hari, 29 Oktober 2025, Israel kembali melancarkan gelombang serangan udara ke kamp pengungsi Bureij, Khan Younis, dan Kota Gaza. Sedikitnya seratus warga Palestina tewas, sebagian besar perempuan dan anak-anak. Gencatan senjata yang baru berusia tiga minggu pun hancur total. Hingga akhir Oktober, belum ada tanda-tanda bahwa kekerasan akan berhenti. Dunia kembali menyaksikan tragedi yang sama, sementara diplomasi internasional terus berjalan tanpa arah dan tanpa hati.

Politik Kekerasan: Netanyahu dan Hamas dalam Lingkar Dendam

Bagi Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, perang di Gaza bukan sekadar urusan keamanan nasional, tetapi juga panggung politik untuk menyelamatkan reputasi yang kian merosot di dalam negeri. Di tengah skandal korupsi dan tekanan oposisi, perang menjadi alat untuk mengalihkan perhatian publik. Setiap kali roket Hamas menghantam wilayah Israel, dukungan terhadap pemerintahnya meningkat. Dengan dalih melindungi warga, Netanyahu memperkuat posisinya—sementara darah rakyat Palestina kembali mengalir di jalan-jalan Gaza.

Serangan pada 28–29 Oktober 2025 bukan hanya balasan militer, melainkan juga pesan politik. Israel ingin menunjukkan bahwa ia tetap mengendalikan situasi dan tidak tunduk pada kesepakatan apa pun. Pesan itu ditujukan kepada Hamas, tetapi yang membayar harganya adalah rakyat biasa yang bahkan tak tahu mengapa mereka harus mati.

Di sisi lain, Hamas pun terjebak dalam lingkar kekerasan yang sama. Setiap roket yang diluncurkan dijawab dengan bom yang lebih besar. Hamas mengaku berjuang demi kemerdekaan Palestina, namun strategi bersenjatanya justru memberi alasan bagi Israel untuk menggempur habis-habisan. Ketika perang menjadi bahasa sehari-hari, kematian berubah menjadi pengorbanan yang dianggap suci. Dua musuh ini, meski tampak berseberangan, sama-sama hidup dari logika perang yang mereka ciptakan sendiri.

Dunia yang Bungkam dan Diplomasi yang Gagal

Pasca serangan 29 Oktober 2025, gencatan senjata yang difasilitasi Amerika Serikat secara formal masih “berlaku,” meski peluru dan bom terus berjatuhan. Pada hari yang sama, Donald Trump—yang kini kembali aktif di panggung diplomasi Timur Tengah—menyatakan bahwa “gencatan senjata tetap berjalan, tetapi Israel berhak menyerang jika diserang.” Kalimat itu memperjelas posisi Amerika: menjadi wasit yang sekaligus pemain dalam perang yang tak pernah selesai.

Masih pada 29 Oktober, Menteri Luar Negeri Israel menolak usulan penempatan pasukan Turki sebagai pengawas gencatan senjata. Penolakan itu menegaskan bahwa Israel tidak mengizinkan kehadiran pihak mana pun di Gaza tanpa kendalinya. Ruang diplomasi pun kian sempit. Tidak ada kepercayaan antarnegara di kawasan itu. Amerika Serikat, yang mengklaim diri sebagai penjaga perdamaian, justru menjadi bagian dari masalah, bukan solusinya.

Hari yang sama juga mencatat satu-satunya reaksi keras dari dunia Arab. Qatar, melalui Perdana Menteri Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al-Thani, menyebut pelanggaran gencatan senjata itu “sangat mengecewakan dan membuat frustrasi.” Selebihnya, dunia Arab hanya menyampaikan keprihatinan tanpa tindakan nyata. Tidak ada kecaman kolektif, tidak ada langkah diplomatik bersama. Negara-negara yang biasanya vokal—seperti Mesir, Yordania, atau Arab Saudi—lebih memilih diam. Dunia Arab tampak lelah dengan isu Palestina, namun juga takut kehilangan legitimasi moral jika benar-benar bungkam. Maka mereka memilih jalan aman: mengutuk di depan publik, bernegosiasi di belakang layar.

Harga Kemanusiaan di Tanah yang Luka

Serangan pada 28–29 Oktober 2025 menandai babak baru penderitaan bagi rakyat Gaza. Ratusan keluarga kehilangan rumah dan anggota keluarga. Rumah sakit utama di Khan Younis dan Kota Gaza kembali kolaps akibat kekurangan listrik dan bahan bakar. Organisasi kemanusiaan melaporkan bahwa banyak korban tak bisa dimakamkan karena area sekitar masih dipenuhi ranjau dan serpihan bom. Hingga akhir Oktober, situasi kemanusiaan di Gaza terus memburuk: lebih dari dua ratus ribu orang mengungsi tanpa jaminan keselamatan.

Setiap bom yang jatuh di Gaza bukan hanya menghancurkan bangunan, tetapi juga menghancurkan nurani manusia modern. Dunia yang mengaku beradab ternyata menoleransi pembantaian yang disiarkan langsung setiap hari. Anak-anak Gaza tumbuh mengenal suara pesawat tempur lebih dulu daripada suara guru di sekolah. Mereka belajar menghitung ledakan, bukan angka dan huruf.

Rumah sakit berubah menjadi kuburan, air bersih menjadi barang langka, dan bantuan internasional tertahan di perbatasan. Di tengah kehancuran ini, para diplomat dunia sibuk menyiapkan pidato tentang perdamaian di ruang berpendingin udara. Dunia menonton tragedi ini seperti menonton serial panjang yang kehilangan empati dan makna.

Gaza: Di Mana Perdamaian Tak Pernah Tumbuh

Gencatan senjata yang diumumkan pada 10 Oktober 2025 kini sepenuhnya runtuh. Gaza kembali menjadi puing dan abu, sementara dunia kembali bungkam. Perdamaian tampak seperti kata kosong yang kehilangan isi. Ia hidup di atas kertas diplomasi, tapi tak pernah berakar di tanah penderitaan.

Selama Israel merasa berhak menghancurkan dengan alasan “membela diri,” selama Hamas merasa berhak membalas dengan alasan “melawan penjajahan,” dan selama dunia terus beretorika tanpa tindakan, Gaza akan tetap menjadi kuburan terbuka. Generasi demi generasi lahir di bawah reruntuhan, tumbuh dalam dendam, dan mati dalam perang yang sama.

Mungkin inilah kenyataan paling pahit dari konflik ini: bahwa gencatan senjata hanyalah jeda di antara dua tragedi, dan perdamaian hanyalah ilusi yang terus diucapkan oleh mereka yang tidak pernah hidup di tengah reruntuhan. Di tanah Gaza, sejarah terus ditulis dengan darah anak-anak yang tak pernah sempat mengenal arti damai.