Oleh: Yakobus Dumupa
(Pembelajar Hubungan Internasional dan Isu-isu Global, tinggal di Nabire, Tanah Papua)
Babak Awal di Tengah Api Perang
Pada 9 Oktober 2025, dunia menyaksikan sebuah peristiwa penting: Israel dan Hamas menandatangani kesepakatan tahap pertama dari Proposal Trump di Sharm el-Sheikh, Mesir. Momen ini menjadi titik balik setelah dua tahun perang tanpa jeda yang menghancurkan Gaza, melumpuhkan ekonomi Israel selatan, dan menguras emosi dunia internasional. Banyak pihak menyambut langkah ini sebagai sinyal pertama menuju berakhirnya konflik panjang yang telah merenggut ribuan nyawa, namun tidak sedikit pula yang memandangnya dengan kecurigaan.
Gencatan senjata ini memang diharapkan membawa jeda, tetapi bukan perdamaian total. Penandatanganan itu lebih menyerupai upaya untuk meredakan tekanan internasional dan memberikan ruang bernapas bagi semua pihak, daripada langkah tulus menuju rekonsiliasi. Dalam setiap perang panjang, momen seperti ini kerap muncul sebagai jeda taktis. Perjanjian dapat menciptakan keheningan sementara, namun juga menyimpan bara yang sewaktu-waktu bisa menyala kembali.
Penandatanganan tersebut tidak datang tiba-tiba. Selama berminggu-minggu, Mesir, Qatar, dan Turki menjadi mediator intensif antara delegasi Israel dan Hamas. Trump, sebagai tokoh pendorong utama, menekan kedua belah pihak untuk menyetujui tahapan awal ini. Ia menyebut kesepakatan ini sebagai “langkah bersejarah menuju akhir perang”. Namun sejarah panjang konflik Israel–Palestina menunjukkan bahwa kata “bersejarah” sering kali berakhir menjadi “sementara”.
Isi Pokok dan Logika Politik di Baliknya
Isi dari kesepakatan tahap pertama ini tampak sederhana. Israel setuju menarik pasukan dari zona utara dan tengah Gaza, membentuk buffer zone sementara guna menurunkan intensitas bentrokan. Dalam 72 jam setelah penandatanganan, gencatan senjata total akan diberlakukan. Pengawasan akan dilakukan oleh tim internasional dengan dukungan penuh Mesir, Qatar, dan Turki. Hamas, di sisi lain, diwajibkan membebaskan seluruh sandera yang tersisa, sedangkan Israel akan membebaskan sebagian tahanan Palestina. Bantuan kemanusiaan diperluas melalui jalur logistik di selatan Gaza. Pelucutan senjata Hamas ditunda ke tahap berikutnya—poin ini menjadi yang paling kontroversial.
Di atas kertas, perjanjian ini seolah menjanjikan jeda nyata. Namun dalam konteks politik, logika di baliknya jauh lebih rumit. Pemerintahan Benjamin Netanyahu tengah berada di bawah tekanan publik dalam negeri, oposisi politik, dan tekanan internasional. Krisis kemanusiaan di Gaza telah membuat citra Israel memburuk di mata dunia. Dengan menandatangani perjanjian ini, pemerintah Israel berupaya menunjukkan langkah konkret untuk meredakan situasi. Ini bukan semata-mata tindakan moral, melainkan strategi politik untuk menyelamatkan stabilitas pemerintahan di Tel Aviv.
Bagi Hamas, keputusan untuk menyetujui kesepakatan ini merupakan kalkulasi bertahan hidup. Setelah lebih dari dua tahun perang, infrastruktur mereka melemah, blokade makin memperparah penderitaan rakyat Gaza, dan tekanan dari negara-negara Arab semakin keras. Dengan ikut dalam proses diplomatik, Hamas berusaha mengubah posisi mereka: dari sekadar kelompok bersenjata menjadi aktor politik yang diakui. Ini bukan penyerahan diri, melainkan manuver strategis untuk mempertahankan eksistensi.
Trump, di sisi lain, menjadikan momen ini sebagai panggung politik global. Dengan gaya khasnya, ia menggambarkan kesepakatan ini sebagai “pencapaian besar yang tak pernah dicapai siapa pun sebelumnya”. Bagi Trump, keberhasilan ini penting untuk membangun citra sebagai “pembawa perdamaian dunia” di tengah masa politik Amerika yang panas menjelang pemilu. Tekanan yang ia berikan terhadap Hamas melalui ultimatum keras menjadi faktor penentu lahirnya kesepakatan ini.
Peran Mediator dan Medan Diplomasi
Peran tiga negara mediator—Mesir, Qatar, dan Turki—tidak bisa diremehkan. Mesir menjadi tuan rumah banyak pertemuan rahasia. Rafah Crossing, satu-satunya jalur keluar Gaza yang tidak dikuasai Israel, membuat Kairo memegang kunci strategis. Qatar, yang selama ini menampung para pemimpin Hamas di pengasingan, memainkan peran politik dan finansial. Turki membawa legitimasi moral dunia Islam sekaligus jembatan komunikasi dengan Barat. Ketiganya bergerak dalam senyap untuk memastikan kesepakatan ini tidak runtuh sebelum ditandatangani.
Namun jalan diplomasi ini rapuh. Setiap kesalahan kecil bisa menghancurkan proses negosiasi. Para mediator tahu bahwa gencatan senjata bukan jaminan perdamaian. Karena itu mereka menyiapkan mekanisme pemantauan ketat, termasuk tim siaga di lapangan yang akan mencatat setiap pelanggaran dalam hitungan jam. Meski demikian, tantangan terbesarnya bukanlah teknis, melainkan ketidakpercayaan mendalam antara kedua pihak.
Diplomat dari negara-negara mediator menggambarkan proses ini sebagai “berjalan di atas kaca tipis.” Sedikit saja Hamas dianggap melanggar, tekanan dari sayap kanan Israel akan memaksa Netanyahu menarik diri dari kesepakatan. Sebaliknya, jika Israel dianggap tidak konsisten, Hamas dapat dengan mudah membatalkan perjanjian dan mengembalikan konflik ke titik semula. Situasi ini membuat setiap langkah menjadi perhitungan politik yang sangat sensitif.
Titik Rawan dan Bom Waktu
Gencatan senjata ini memiliki banyak titik rawan yang berpotensi menggagalkannya. Pertama, fragmentasi faksi bersenjata di Gaza menjadi ancaman nyata. Tidak semua kelompok bersenjata tunduk sepenuhnya pada instruksi Hamas. Satu serangan roket yang diluncurkan oleh kelompok kecil saja cukup memicu respons militer Israel yang keras. Ketika peluru pertama itu ditembakkan, perjanjian bisa runtuh dalam sekejap.
Kedua, faktor kepercayaan menjadi penghalang utama. Sejarah perundingan Israel–Hamas penuh dengan perjanjian yang runtuh karena saling curiga. Dalam kesepakatan ini, Hamas khawatir Israel hanya ingin menarik waktu untuk menyerang kembali. Sementara Israel khawatir Hamas menggunakan jeda ini untuk memperkuat diri. Ketidakpercayaan ini membuat gencatan senjata sulit bertahan lama.
Ketiga, penarikan pasukan Israel tidak disertai mekanisme pengamanan yang kokoh. Kekosongan keamanan di zona tertentu bisa dimanfaatkan oleh kelompok radikal non-Hamas untuk memperkuat posisi mereka. Keempat, penundaan pembahasan pelucutan senjata adalah bom waktu paling besar. Bagi Israel, pelucutan senjata Hamas adalah syarat utama perdamaian. Bagi Hamas, itu adalah ancaman eksistensial. Jika titik ini tidak terselesaikan, maka gencatan senjata hanya akan menjadi jeda sebelum ledakan berikutnya.
Masa Depan yang Tak Pasti
Dalam jangka pendek, kesepakatan ini memberi ruang bernapas bagi dua juta warga Gaza. Bantuan kemanusiaan mulai mengalir lebih lancar. Anak-anak bisa tidur tanpa mendengar ledakan. Rumah sakit dapat beroperasi tanpa ketakutan bom jatuh sewaktu-waktu. Namun semua ini hanya akan berarti jika gencatan senjata bertahan cukup lama untuk membuka ruang diplomasi lanjutan.
Di sisi Israel, tekanan politik tetap besar. Kelompok kanan radikal menentang segala bentuk kompromi dengan Hamas. Netanyahu akan menghadapi kritik tajam jika Hamas dianggap diuntungkan dari kesepakatan ini. Di pihak Hamas, tekanan internal juga tinggi. Mereka harus membuktikan bahwa menerima kesepakatan ini bukan bentuk kekalahan. Jika tidak, faksi radikal di Gaza bisa mengambil alih narasi dan memicu konflik baru.
Gencatan senjata ini adalah awal yang rapuh. Ia bisa menjadi batu loncatan menuju negosiasi jangka panjang, atau sekadar jeda singkat sebelum peluru kembali bersahutan. Sejarah konflik di Timur Tengah dipenuhi perjanjian damai yang runtuh sebelum membuahkan hasil. Tanpa langkah politik berani, semua ini hanya akan menjadi catatan tambahan dalam daftar panjang kegagalan diplomasi Gaza.
Penutup: Jeda yang Bisa Meledak
Gencatan senjata ini membawa secercah harapan, tetapi juga menyimpan risiko besar. Dunia internasional menyaksikan dengan napas tertahan: apakah ini langkah awal menuju perdamaian atau sekadar jeda menuju perang babak baru. Proposal Trump mungkin telah membuka pintu, namun siapa pun yang mengikuti konflik ini tahu bahwa pintu perdamaian di Timur Tengah tidak pernah terbuka lebar—ia selalu berat, berderit, dan mudah tertutup kembali.
Jika Israel dan Hamas gagal menjaga kesepakatan ini, sejarah akan mengulang dirinya. Gaza kembali akan menjadi puing-puing, ribuan nyawa terancam, dan diplomasi kembali menjadi kata kosong. Perdamaian sejati tidak lahir dari tekanan sepihak, melainkan dari keberanian untuk mempercayai masa depan bersama.









