![]()
Oleh: Yakobus Dumupa
(Pembelajar Hubungan Internasional dan Isu-isu Global, tinggal di Nabire, Tanah Papua)
KETIKA kesepakatan gencatan senjata antara Israel Defense Forces dan Hamas disepakati pada 10 Oktober 2025, dunia internasional sempat menaruh harapan besar. Banyak yang membayangkan akan lahir sebuah masa tenang di Gaza Stripsetelah berbulan-bulan perang yang memporak-porandakan wilayah itu. Namun, dari balik kesepakatan yang tampak diplomatis itu, muncul sebuah istilah baru yang kini memancing perdebatan politik dan hukum internasional: Garis Kuning.
Garis ini awalnya dimaksudkan sebagai batas penarikan pasukan Israel dalam perjanjian gencatan senjata. Namun dalam kenyataan lapangan, ia tidak hanya menjadi sekadar batas teknis militer. Garis ini pelan-pelan menjelma menjadi zona pengendalian strategis—dan kini pertanyaan yang makin sering terdengar adalah: apakah Garis Kuning akan menjadi wilayah milik Israel, bukan lagi sekadar “garis gencatan”?
Garis yang Ditarik dari Peta, Bukan dari Kehadiran Militer
Secara resmi, Garis Kuning adalah batas yang disepakati untuk menarik pasukan Israel dari beberapa sektor di Gaza. Namun dalam praktiknya, yang mundur hanyalah sebagian. Investigasi lapangan dan citra satelit yang dianalisis Sanad Verification dan Al Jazeera menemukan bahwa lebih dari 40 posisi militer Israel justru tetap aktif berdiri di luar garis yang seharusnya menjadi batas penarikan. Pos-pos itu tersebar dari utara Gaza hingga ke Rafah di selatan.
Bagi warga Gaza, situasi ini sangat membingungkan dan berbahaya. Garis Kuning pada awalnya tidak memiliki penanda fisik apa pun. Tak ada pagar, tak ada papan tanda, tak ada peringatan visual. Banyak warga yang mencoba kembali ke rumah mereka tidak menyadari telah melintasi batas “tak terlihat” ini—dan beberapa di antaranya menjadi korban tembakan. Laporan Anadolu Agency menyebut Garis Kuning bahkan telah berubah menjadi “zona kematian” bagi penduduk sipil yang hanya ingin pulang.
Sementara dunia berbicara tentang penarikan pasukan, yang terjadi di lapangan justru penguatan kontrol. Garis Kuning bukanlah hasil pengurangan kehadiran militer, melainkan pengaturan ulang posisi pasukan Israel.
Dari Garis Imajiner ke Batas Nyata
Perlahan, garis yang tadinya imajiner mulai berubah menjadi struktur fisik. Patok logam setinggi tiga meter, blok beton kuning, dan papan peringatan mulai dipasang setiap beberapa ratus meter. Proses ini diam-diam mengubah status Garis Kuning dari batas “sementara” menjadi perbatasan yang nyata di lapangan.
Dalam waktu yang hampir bersamaan, sejumlah pejabat Israel secara terbuka menyebut Garis Kuning sebagai bagian dari rencana pembagian Gaza menjadi dua wilayah: zona “aman” di bawah kontrol Israel, dan zona lainnya yang tetap di bawah otoritas Palestina. Menurut laporan The Wall Street Journal, hanya zona “aman” yang akan mendapatkan aliran bantuan rekonstruksi besar-besaran dari komunitas internasional. Zona lainnya akan dibiarkan dalam pembatasan ketat hingga “situasi keamanan stabil”.
Rencana ini sangat mirip dengan pola penguasaan wilayah yang telah terjadi di Tepi Barat dan Golan Heights. Pada masa lalu, zona keamanan yang disebut bersifat sementara lambat laun dipenuhi pos militer, infrastruktur sipil, dan kontrol administratif. Akibatnya, wilayah tersebut akhirnya dikuasai secara de facto oleh Israel meski tak pernah dideklarasikan secara resmi sebagai wilayahnya. Garis Kuning kini menunjukkan tanda-tanda awal dari pola serupa.
Melupakan Fakta “Rampasan Perang”
Jika pertanyaan ini diajukan secara langsung—apakah Garis Kuning bisa menjadi wilayah milik Israel—jawabannya harus dilihat dari dua sisi: hukum internasional dan realitas politik di lapangan.
Secara hukum internasional, jawaban ini jelas: tidak boleh. Konvensi Jenewa 1949 secara tegas melarang pencaplokan wilayah hasil perang. Pendudukan bersifat sementara dan tidak boleh mengubah status akhir wilayah yang diduduki. Israel tidak memiliki hak untuk mengklaim Garis Kuning sebagai wilayahnya hanya karena pasukannya berada di sana.
Tetapi realitas politik sering berjalan jauh dari teks hukum. Dalam sejarah konflik modern, banyak wilayah berubah kepemilikan bukan karena perjanjian resmi, tetapi karena kekuasaan militer dan fakta lapangan yang dibiarkan terus berlangsung. Dunia menyebutnya sebagai aneksasi de facto: penguasaan wilayah tanpa deklarasi resmi.
Dengan tidak menyebut Garis Kuning sebagai “wilayah rampasan perang”, dunia seolah melupakan inti dari apa yang sebenarnya sedang terjadi: bahwa ini adalah penguasaan wilayah hasil perang yang dikemas dalam istilah zona keamanan.
Antara Janji Keamanan dan Kenyataan Penguasaan
Israel terus membela keberadaan Garis Kuning dengan argumen bahwa itu hanya zona keamanan sementara. Menurut pemerintahnya, garis ini dimaksudkan untuk menghindari bentrokan langsung dengan warga Gaza, mengatur arus bantuan kemanusiaan, dan mencegah serangan lintas batas. Mereka menyebut penarikan penuh akan dilakukan jika situasi keamanan stabil dan ada pasukan internasional yang mengambil alih.
Namun banyak pengamat menyangsikan narasi ini. Sejarah menunjukkan, “zona keamanan sementara” sering kali menjadi zona kontrol permanen ketika tidak ada tekanan politik yang kuat. Ketika infrastruktur militer sudah dibangun, pos-pos sudah menyebar, dan logistik sudah diatur, batas sementara menjadi kenyataan politik baru.
Inilah mengapa Garis Kuning bukan hanya masalah teknis, tapi persoalan strategis. Semakin lama ia dibiarkan, semakin sulit untuk membalikkan keadaan. Lambat laun, publik internasional akan terbiasa melihat peta dengan garis itu, dan penguasaan Israel akan dianggap sesuatu yang “normal”.
Dampak Politik dan Kemanusiaan
Bagi rakyat Palestina, Garis Kuning bukan sekadar batas di peta. Ia adalah penyusutan ruang hidup secara nyata. Zona “aman” akan dikontrol penuh oleh Israel, sementara wilayah lainnya akan terpinggirkan dari aliran bantuan, rekonstruksi, dan aktivitas ekonomi. Orang-orang yang tinggal di luar zona ini akan menghadapi pembatasan mobilitas dan kehilangan akses terhadap tanah dan hak mereka. Gaza yang sudah sempit akan menyusut lebih jauh, tanpa perang terbuka, tanpa perjanjian aneksasi, hanya melalui garis yang perlahan mengeras menjadi perbatasan.
Dampak ini juga meluas ke level global. Jika Garis Kuning benar-benar berubah menjadi wilayah yang dikuasai Israel, dunia akan menyaksikan preseden berbahaya: negara kuat dapat menguasai wilayah hasil perang tanpa perlu mengakuinya secara formal, cukup dengan membiarkan kontrol militer terus berlangsung. Jika ini dibiarkan, praktik serupa dapat terjadi di berbagai belahan dunia lainnya.
Antara Hukum dan Kenyataan
Inilah titik paling krusial dari pertanyaan ini: hukum internasional menyatakan satu hal, tetapi kekuasaan di lapangan sering kali menentukan hal yang berbeda. Secara hukum, Garis Kuning tidak akan pernah menjadi wilayah Israel, karena hal itu melanggar prinsip dasar Konvensi Jenewa. Namun secara politik, sangat mungkin garis ini menjadi wilayah Israel secara de facto—jika pos-pos militer dibiarkan terus berdiri, patok-patok permanen dibiarkan terpasang, dan masyarakat internasional membiarkan keadaan ini menjadi kebiasaan baru.
Israel tidak perlu mengumumkan aneksasi resmi. Penguasaan faktual sudah cukup untuk mengubah peta politik Gaza. Itulah yang disebut sebagai rampasan perang dalam bentuk modern: tidak diumumkan, tetapi dijalankan dengan konsisten.
Penutup: Garis yang Bisa Menjadi Perbatasan Baru
Garis Kuning awalnya hanyalah sebuah tanda dalam peta gencatan senjata. Tapi kini ia menjadi sebuah simbol dari pertarungan antara hukum internasional dan fakta militer di lapangan. Jika dunia membiarkan keadaan ini terus berjalan, garis itu akan mengeras menjadi perbatasan baru—bukan karena kesepakatan politik, tetapi karena kekuatan militer yang menciptakan kenyataan.
Pertanyaan “apakah Garis Kuning akan menjadi wilayah milik Israel?” tidak lagi bersifat retoris. Jawabannya bergantung pada siapa yang akan menang dalam benturan antara hukum dan kekuasaan. Jika dunia internasional membiarkan, maka jawabannya: ya, Garis Kuning akan menjadi wilayah Israel secara de facto, meski tak diakui secara resmi. Tapi jika ada tekanan internasional yang kuat, pengawasan independen, dan sikap politik yang tegas, garis itu masih dapat dikembalikan ke status semula: batas gencatan sementara, bukan batas kepemilikan.
Garis Kuning bukan sekadar warna pada peta. Ia adalah cermin dari bagaimana wilayah bisa berpindah tangan tanpa perjanjian resmi, tanpa perang baru, hanya lewat diamnya dunia terhadap realitas yang dipaksakan.









