OPINI  

Freeport, Akar Masalah Indonesia di PBB

Willem Bobi, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Fisika Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta. Foto: Istimewa

Loading

Oleh Willem Bobi 

Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Fisika Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta 

DI JANTUNG Pegunungan Tengah Papua, Grasberg menjulang seperti raksasa bisu yang menahan napas. Puluhan tahun tanahnya digali, hutan terkoyak, sungai tercemar, udara dipenuhi debu tambang. 

Kilau emas, tembaga, dan perak yang mengalir ke pasar global tidak menutupi luka yang nyaris tak terlihat. Kehidupan terguncang, tanah longsor, dan konflik yang menjalar dari desa terpencil hingga forum internasional seperti Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).

Selama hampir enam dekade, Freeport-McMoRan mengeksploitasi kekayaan alam ini. Pajak, dividen, dan royalti mengalir ke pemerintah pusat, sebagian kecil ke kas daerah. Bagi rakyat tanah Papua, manfaatnya nyaris tak terasa. 

Hutan yang dulu meneduhkan kampung, sungai yang memberi kehidupan, kini jadi saksi bisu ambisi manusia. Burung-burung yang menari di langit kala matahari menyapa pagi kini terbang terbirit-birit, menghindari debu dan gemuruh alat berat.

Detik-Detik Longsor 

Malam 8 September 2025, hujan deras mengguyur lereng curam Grasberg. Tanah yang menahan beban puluhan tahun mulai bergerak perlahan. Batu dan puing menghantam jalur alat berat, menimbulkan gemuruh dari perut bumi. Tujuh pekerja berada di titik paling rawan, tak sempat lari.

Debu menutupi udara, hujan bercampur lumpur; bumi seolah menelan darahnya sendiri. Lima pekerja hilang di pelukan lereng yang menahan beban tambang bertahun-tahun. Dua minggu berlalu, pencarian belum membuahkan hasil. 

Lima jiwa kini “bersemayam” dalam dimensi spiritual Nemangkawi —tempat roh menunggu kembali ke alam pencipta. Angin gunung membawa aroma tanah basah, lumpur, dan kayu terbakar perlahan, simbol duka yang menyelimuti setiap honai di kaki lereng gunung Grasberg.

Di kampung sekitar, sejumlah honai dipenuhi keluarga yang menanti kabar. Ibu memeluk foto anaknya, wajah basah oleh air mata. Anak-anak menangis, tidak mengerti mengapa tanah yang dulu mereka pijak menelan seseorang yang mereka cintai dan kasihi.

“Mama, kapan Bapa pulang?” tanya seorang bocah. “Sabar sayang, kita doakan dia selamat,” jawab si ibu. Suaranya patah namun menenangkan. Di desa lain, tetua adat mengumpulkan pemuda dan pekerja yang selamat.

Mereka berdiskusi tentang adat, keselamatan, dan ketidakpastian pekerjaan. Hujan turun deras, tetapi api kecil di tengah honai memercikkan cahaya hangat ke wajah-wajah yang lelah. 

“Kita tahu tanah ini kuat, tapi juga hidup. Ia tidak bisa dipaksa terus-menerus,” kata tetua, matanya menatap lereng basah. “Tapi bagaimana keluarga yang menunggu? Apakah kami harus diam saja?” tanya seorang pemuda.
“Kita tidak bisa mengabaikan adat dan alam. Manusia dan tanah memiliki ikatan yang tak bisa diukur dengan uang,” jawab tetua.

Percakapan berlanjut hingga larut malam. Pemuda menceritakan sungai yang kini cokelat lumpur, ikan mati, ladang hilang. Tetua membalas dengan kisah leluhur dan roh Nemangkawi yang menjaga keseimbangan bumi, memperingatkan bahaya jika manusia melanggar aturan alam. Api meredup, tetapi dialog itu menegaskan: alam hidup, manusia hanyalah bagian kecil darinya.

Pekerja Dibungkam

Beberapa pekerja yang membocorkan kondisi rawan longsor diancam pemecatan karena dianggap melanggar kode etik. Keselamatan ditekan demi laba, sementara keluarga korban menanggung duka. 

“Kami hanya ingin mencegah tragedi,” kata seorang pekerja, matanya berkaca-kaca. “Itu melanggar aturan, kamu bisa kehilangan pekerjaan,” balas manajer, tegas. Paradoks ini menyoroti sisi gelap operasi tambang: manusia hanya dianggap alat produksi. 

Sementara tanah Papua dijadikan ladang keuntungan tanpa memperhatikan keselamatan dan spiritualitas. “Kita harus berani berbicara,” bisik seorang rekan. “Tapi harga yang kita bayar bisa sangat tinggi. Ingat, mereka mengontrol nyawa kita juga,” jawab yang lain, takut namun tidak ingin diam. 

Saham Freeport-McMoRan jatuh lebih dari 10 persen pada hari insiden, menandakan ketidakpastian bisnis internasional. Bagi rakyat Papua, angka itu hanyalah simbol. Anak-anak menatap tanah yang bergeser, orang dewasa menelan kepedihan, dan lima jiwa yang tertimbun bukan sekadar statistik, tapi doa dan pengingat spiritual.

Pajak, dividen, dan royalti mengalir ke pemerintah pusat. Sebagian kecil ke kas daerah. Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2025 mencatat, ratusan kasus korupsi di sektor sumber daya alam (SDA) dengan kerugian negara triliunan rupiah. Kekayaan Papua sebagian besar hilang di tangan koruptor, rakyat menanggung penderitaan, alam hancur.

Di ruang rapat pemerintah, diskusi panas terjadi. “Apakah dividen dan royalti ini benar-benar sampai ke rakyat Papua?” tanya anggota DPD RI Papua. “Sebagian besar memang ke kas pusat. Kas daerah masih sangat terbatas,” jawab Menteri ESDM. “Lalu mengapa korupsi begitu banyak? Kita kehilangan kepercayaan publik,” tambah anggota DPR lain.

Konflik Internasional

Tambang Grasberg bukan hanya soal ekonomi nasional. Investor asing menikmati keuntungan dari emas dan tembaga Papua, sementara Indonesia menghadapi sorotan PBB terkait HAM, kerusakan lingkungan, dan perlindungan masyarakat adat.

Dialog pejabat Indonesia dan delegasi PBB berlangsung tegang. “Bagaimana Anda memastikan keselamatan masyarakat adat dan lingkungan di Papua?” tanya diplomat PBB, serius. “Kami memiliki regulasi dan pengawasan,” jawab pejabat Indonesia, menahan kekhawatiran di bawah sorotan media global.

“Namun longsor dan pekerja hilang menunjukkan ada yang gagal,” imbuh diplomat. “Ini kompleks. Banyak faktor alam, sosial, dan ekonomi saling terkait,” tambah pejabat Indonesia, suaranya tegas tapi penuh beban.

Grasberg adalah sumber penghidupan sekaligus sumber masalah. Lima jiwa yang hilang menjadi simbol spiritual Nemangkawi. Tanah Papua tidak hanya kaya mineral, tetapi juga menyimpan roh dan sejarah yang harus dihormati.

Setiap tetes darah, air, dan tanah yang bergeser adalah peringatan. Kekayaan duniawi tidak boleh menutup mata terhadap kemanusiaan, alam, dan keadilan. Anak-anak menatap tanah yang longsor, ayah menelan kepedihan, ibu memeluk foto anaknya.

Kehidupan sehari-hari masyarakat Papua tetap berjalan: berburu, menanam ubi, memancing, menebang kayu untuk bahan bakar, bayang-bayang tambang selalu hadir.
“Kami hidup dengan tanah ini, bukan untuk keuntungan orang lain,” kata seorang pemuda. “Perusahaan melihat kita sebagai angka, bukan manusia,” tambah tetua desa, lirih.

Sebaran Masalah

Konflik Grasberg merambat ke setiap lapisan masyarakat dan meja keputusan internasional. Di honai, keluarga korban duduk terdiam, menunggu kabar yang tak kunjung datang. Anak-anak menatap kosong ke lereng yang menyimpan tubuh ayah, kakak, atau saudara mereka.

Para pekerja yang mencoba bersuara menghadapi dilema moral: ingin memperingatkan, ingin melindungi nyawa, tetapi ancaman pemecatan membayang. “Jika kita diam, lima jiwa bisa jadi awal tragedi berikutnya. Jika bicara, kita sendiri yang terancam,” kata seorang pekerja lirih.

Kas daerah tetap minim, pajak, dividen, dan royalti mengalir ke pemerintah pusat. Sebagian besar kekayaan hilang di tangan koruptor, desa ditinggalkan tanpa infrastruktur memadai. Di bursa global, investor menghitung keuntungan emas, tembaga, dan perak. Mereka tidak melihat air mata, doa, atau tanah yang bergeser.

Delegasi PBB menekankan hak masyarakat adat dan perlindungan lingkungan. “Indonesia memiliki tanggung jawab untuk melindungi masyarakat adat dan lingkungan. Penanganan Freeport harus transparan dan adil,” tegas perwakilan PBB.

Delegasi Indonesia menundukkan kepala, menahan kekhawatiran. “Kami berkomitmen, namun realitas lapangan sangat kompleks,” jawab mereka. Setiap kata terasa berat karena isu ini bukan hanya soal kebijakan, tetapi nyawa manusia dan kelangsungan alam.

Ancaman global menambah tekanan pada pemerintah, tetapi kehidupan warga Papua tetap berjalan. Mereka setia menanam ubi, berburu, memancing, merawat keluarga. Investor menghitung laba, pemerintah menghitung pajak, tetapi doa lima jiwa yang hilang, tangisan keluarga, dan rintihan tanah yang bergerak di lereng Grasberg tidak pernah tercatat di laporan finansial.

Emas, tembaga, dan perak Grasberg mengalir ke pasar global tanpa henti. Investor di AS, Eropa, dan Asia menikmati keuntungan besar. Saham naik turun mengikuti berita bencana, namun rakyat Papua dan keluarga korban tetap berada di garis depan risiko: longsor, banjir, pencemaran, hilangnya tanah adat.

Di forum internasional, PBB menyoroti isu ini. “Indonesia memiliki tanggung jawab melindungi masyarakat adat dan lingkungan. Penanganan Freeport harus transparan dan adil,” tegas perwakilan PBB. “Kami berkomitmen, namun realitas lapangan kompleks,” jawab delegasi Indonesia.

Tekanan global menambah beban pemerintah, tetapi kehidupan warga Papua tetap berjalan: hidup dari tanah dan air, bukan dari dividen atau royalti tertunda.Freeport, dengan seluruh keuntungannya, menjadi akar masalah yang menjangkau desa, kota, negara, dan dunia. 

Lima jiwa yang hilang bukan sekadar angka statistik, tetapi simbol spiritual, pengingat bahwa keseimbangan harus dijaga antara ambisi manusia, kelangsungan alam, dimensi spiritual, dan keadilan bagi rakyat Papua. 

Setiap batu longsor, pohon tumbang, dan sungai tercemar bukan hanya kerugian ekonomi. Mereka adalah bisikan alam, doa tak terdengar, namun nyata bagi mereka yang tinggal di kaki Grasberg.