OPINI  

Efisiensi Anggaran di Tanah Papua: Alasan Mulia yang Disalahgunakan

Costan Oktemka S.IP, MH, Bupati Pegunungan Bintang 2016-2021 dan Tokoh Masyarakat Papua Pegunungan. Foto: Dok. Odiyaiwuu.com

Oleh: Costan Oktemka S.IP, MH
Bupati Pegunungan Bintang 2016-2021 dan Tokoh Masyarakat Papua Pegunungan


Efisiensi: Niat Baik yang Mudah Disalahgunakan

Pemerintah Pusat kini gencar mendorong efisiensi anggaran di seluruh Indonesia. Tujuannya jelas: agar setiap rupiah dari uang negara digunakan untuk kepentingan mendesak dan berdampak nyata bagi rakyat. Prinsip ini penting, apalagi ketika kebutuhan publik meningkat sementara kemampuan fiskal terbatas.

Namun di Tanah Papua, kebijakan efisiensi ini sering tidak berjalan sebagaimana mestinya. Banyak pejabat daerah—baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota—menjadikannya alasan untuk menutupi kelemahan pengelolaan keuangan. Kata “efisiensi” berubah menjadi tameng untuk menunda pembangunan, menahan hak ASN, atau memotong program publik, padahal dana sebenarnya ada.

Efisiensi seharusnya berarti penataan ulang prioritas agar belanja publik lebih tepat guna. Tetapi jika yang ditekan justru anggaran untuk rakyat, sementara fasilitas pejabat tetap mewah, maka efisiensi kehilangan maknanya dan berubah menjadi penyimpangan moral.

Rakyat Ditekan, Pejabat Tetap Nyaman

Fenomena ini kini terlihat di seluruh Tanah Papua. Saat masyarakat bertanya mengapa jalan rusak tak diperbaiki, mengapa tunjangan ASN tertunda, atau mengapa bantuan sosial berhenti, jawabannya hampir selalu sama: “anggaran sedang efisiensi.” Alasan ini terdengar logis, tetapi sering digunakan untuk menutupi ketidakmampuan dan salah kelola.

Ironisnya, di balik kebijakan itu, kegiatan para pejabat tetap berjalan seperti biasa. Rapat di hotel mewah, perjalanan dinas ke luar daerah, dan pengadaan fasilitas baru masih dilakukan. Efisiensi seolah hanya berlaku untuk rakyat, bukan untuk pejabat.

Padahal, rakyat Papua masih menghadapi banyak kekurangan. Di kampung-kampung, masih ada sekolah tanpa guru tetap, puskesmas tanpa obat, dan jalan yang rusak bertahun-tahun. Ketika efisiensi dijadikan alasan untuk menunda hal-hal mendasar seperti itu, maka kebijakan baik berubah menjadi alat ketidakadilan.

Efisiensi atau Alibi Politik?

Kata “efisiensi” kini sering digunakan sebagai kalimat pembenaran. Setiap kali ada masalah keuangan, pejabat cukup mengucapkannya, dan publik pun diam. Tak ada penjelasan, tak ada data terbuka, dan tak ada evaluasi yang jujur.

Padahal di banyak daerah, apa yang disebut efisiensi hanyalah akibat buruk dari lemahnya perencanaan. Ketika anggaran tidak tersusun dengan baik, ketika proyek gagal karena salah kelola, atau ketika realisasi tidak sesuai target, muncullah alasan “efisiensi.” Akhirnya, kebijakan yang seharusnya menjadi alat perbaikan malah berubah menjadi pelindung kesalahan birokrasi.

Lebih jauh, efisiensi juga kerap dipakai untuk menunda program yang dianggap tidak menguntungkan secara politik. Di sinilah efisiensi kehilangan jiwanya: dari semangat rasional menjadi instrumen kekuasaan.

Masalah Utama: Krisis Etika Pengelolaan Uang Publik

Permasalahan efisiensi anggaran di Tanah Papua tidak hanya soal teknis, tetapi juga soal moral. Uang publik adalah amanah rakyat. Pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota hanyalah pengelola yang diberi kepercayaan untuk memastikan uang itu kembali kepada rakyat dalam bentuk pelayanan dan pembangunan.

Ketika pejabat menyalahgunakan amanah itu, yang rusak bukan hanya sistem anggaran, tetapi juga kepercayaan rakyat. Krisis kepercayaan inilah yang paling berbahaya, karena tanpa kepercayaan, pemerintahan akan kehilangan legitimasi moral.

Efisiensi sejati menuntut keberanian moral. Pejabat harus berani memangkas anggaran untuk kenyamanan diri sendiri sebelum memangkas kebutuhan rakyat. Efisiensi bukan soal penghematan, melainkan tentang keadilan dalam mengatur prioritas.

Peran Pengawasan dan Keterlibatan Publik

Untuk mengembalikan makna sejati efisiensi, lembaga pengawasan harus berfungsi lebih tegas. DPRD provinsi dan kabupaten/kota perlu memeriksa realisasi anggaran secara kritis, bukan sekadar menyetujui laporan tahunan. BPK, Kejaksaan, dan KPK juga perlu memperhatikan praktik efisiensi di Papua agar tidak berubah menjadi kedok penyimpangan.

Namun pengawasan formal saja tidak cukup. Rakyat juga harus dilibatkan. Masyarakat berhak tahu ke mana uang mereka digunakan, dan pemerintah wajib membuka laporan keuangan secara transparan. Publikasi laporan anggaran di media resmi atau kanal digital pemerintah harus menjadi kebiasaan, bukan sekadar formalitas.

Ketika rakyat ikut mengawasi, pejabat akan berhati-hati. Transparansi adalah sahabat efisiensi; tanpa keterbukaan, efisiensi hanya akan menjadi alasan kosong.

Efisiensi yang Benar dan Adil

Pemerintah daerah di seluruh Tanah Papua perlu memahami bahwa efisiensi bukan berarti memangkas semua belanja, tetapi mengatur prioritas dengan bijak. Efisiensi berarti menekan pengeluaran yang tidak produktif—perjalanan dinas berlebihan, rapat mewah, atau pengadaan barang tak penting—dan mengalihkannya ke pelayanan dasar yang langsung menyentuh rakyat.

Menunda proyek pendidikan, kesehatan, atau bantuan sosial dengan alasan efisiensi adalah kesalahan besar. Itu bukan penghematan, tetapi kemunduran moral. Jika penghematan harus dilakukan, maka pejabat harus memulainya dari dirinya sendiri, bukan dari rakyat.

Efisiensi yang benar menumbuhkan kepercayaan, sedangkan efisiensi yang salah hanya menumbuhkan kekecewaan. Keadilan harus menjadi jiwa dari setiap kebijakan penghematan.

Pesan untuk Seluruh Pemerintah Daerah di Tanah Papua

Pesan ini berlaku bagi semua pemerintah daerah—baik provinsi, kabupaten, maupun kota di seluruh Tanah Papua. Jangan jadikan efisiensi sebagai alasan untuk menghindari tanggung jawab. Jadikan ia sebagai cermin integritas dan komitmen moral terhadap rakyat.

Setiap kepala daerah harus memastikan bahwa setiap kebijakan efisiensi diikuti dengan transparansi dan hasil yang nyata. Uang publik harus kembali kepada rakyat, bukan hanya berhenti di meja kekuasaan. Jangan lagi rakyat mendengar alasan “efisiensi” ketika anaknya tidak bisa sekolah atau ketika puskesmas kehabisan obat.

Rakyat Papua berhak melihat bukti nyata dari uang mereka sendiri. Karena itu, setiap pejabat publik harus berani terbuka dan siap diawasi. Hanya dengan cara itu efisiensi akan menjadi kebijakan yang hidup, bukan sekadar jargon.

Penutup: Efisiensi Harus Jadi Cahaya, Bukan Bayangan

Efisiensi anggaran adalah kebijakan yang baik dan perlu, tetapi hanya akan menjadi terang jika dijalankan dengan jujur dan berpihak pada rakyat. Jika digunakan untuk menutupi penyimpangan, maka efisiensi hanya menjadi bayangan gelap yang menutupi kebenaran.

Tanah Papua membutuhkan pejabat-pejabat yang menjadikan efisiensi sebagai jalan moral, bukan alasan politik. Efisiensi yang benar akan memperkuat pelayanan publik, memulihkan kepercayaan, dan membawa perubahan nyata.

Uang negara adalah cahaya pembangunan. Gunakanlah ia untuk menerangi jalan rakyat, bukan hanya menerangi meja kekuasaan. Jika efisiensi dijalankan dengan hati nurani, maka Tanah Papua akan menjadi wilayah yang bukan hanya damai, tetapi juga adil dan sejahtera bagi semua.