OPINI  

Dua Pemerintahan, Satu Kekalahan: Luka Panjang Politik Palestina

Yakobus Dumupa, Pembelajar Hubungan Internasional dan Isu-isu Global, tinggal di Nabire, Tanah Papua. Foto: Dok. Odiyaiwuu.com

Oleh: Yakobus Dumupa
(Pembelajar Hubungan Internasional dan Isu-isu Global, tinggal di Nabire, Tanah Papua)

PERJUANGAN panjang bangsa Palestina untuk meraih kemerdekaan dari penjajahan Israel terus berlangsung di tengah penderitaan, blokade, dan kehilangan harapan. Namun di balik tekanan eksternal yang berat, Palestina justru menghadapi luka paling dalam yang datang dari dalam tubuhnya sendiri: perpecahan antara dua kekuatan besar, Fatah dan Hamas. Sejak peristiwa politik pada tahun 2006–2007, ketika Hamas memenangkan pemilihan umum lalu mengambil alih kekuasaan di Jalur Gaza, sementara Fatah tetap menguasai Tepi Barat, rakyat Palestina hidup dalam dua pemerintahan yang terpisah dan dua jalan perjuangan yang saling bertolak belakang.

Dualitas Kekuasaan dan Krisis Legitimasi Politik

Perpecahan antara Fatah dan Hamas menciptakan dualitas pemerintahan yang melemahkan fondasi politik Palestina. Dunia internasional kesulitan menentukan siapa otoritas yang sah mewakili rakyat Palestina. Negara-negara Barat, termasuk Amerika Serikat dan Uni Eropa, menolak berurusan dengan Hamas karena dianggap sebagai organisasi teroris. Sebaliknya, pemerintahan Fatah di bawah Presiden Mahmoud Abbas dinilai lemah dan tidak lagi mencerminkan semangat perjuangan rakyat. Akibatnya, perjuangan Palestina kehilangan kekuatan diplomatik dan legitimasi politik di mata dunia.

Ketiadaan kepemimpinan tunggal membuat suara Palestina terdengar sumbang di forum internasional. Dunia melihat dua pemerintahan yang saling bersaing, bukan satu bangsa yang berjuang bersama. Israel dengan mudah memanfaatkan situasi ini untuk menolak perundingan damai dengan alasan tidak ada otoritas tunggal yang mewakili seluruh rakyat Palestina. Dalam konteks politik global, perpecahan ini menjadi pukulan yang jauh lebih keras daripada serangan militer mana pun.

Perbedaan Ideologi, Strategi Perlawanan, dan Fragmentasi Sosial

Akar konflik antara Fatah dan Hamas terletak pada perbedaan ideologi dan pendekatan perjuangan. Fatah, yang berakar dari gerakan nasionalis sekuler, percaya pada jalur diplomasi dan solusi dua negara (two-state solution) sebagai jalan menuju kemerdekaan. Sebaliknya, Hamas berlandaskan ideologi Islam politik yang memandang perlawanan terhadap Israel sebagai jihad dan menolak pengakuan terhadap negara Israel dalam bentuk apa pun.

Perbedaan ini berujung pada strategi perjuangan yang bertolak belakang. Di Tepi Barat, aparat keamanan Otoritas Palestina yang loyal kepada Fatah justru bekerja sama dengan Israel untuk menjaga stabilitas wilayah. Sementara di Jalur Gaza, Hamas membangun kekuatan militer sendiri melalui Izz ad-Din al-Qassam Brigades dan secara rutin melancarkan serangan roket ke Israel. Akibatnya, Palestina tampak kontradiktif: satu pihak bernegosiasi, pihak lain berperang. Dunia pun kesulitan memandang Palestina sebagai satu entitas yang solid.

Perpecahan politik itu turut melahirkan fragmentasi sosial. Warga di Tepi Barat dan Jalur Gaza kini hidup dalam dua sistem hukum, ekonomi, dan pemerintahan yang berbeda. Banyak keluarga terpisah oleh tembok pemisah dan perbedaan otoritas. Rakyat yang seharusnya bersatu menghadapi penjajahan justru saling mencurigai dan menuduh.Fatah menuding Hamas menghancurkan perjuangan nasional dengan ideologi ekstremnya, sedangkan Hamas menuduhFatah berkhianat karena terlalu dekat dengan Barat. Di tengah pertengkaran ini, rakyat kecil menjadi korban utama—mereka menanggung penderitaan tanpa akhir akibat blokade, kemiskinan, dan ketidakpastian hidup.

Generasi muda Palestina tumbuh di dua dunia yang berbeda. Di Gaza, mereka hidup di bawah bayang-bayang serangan udara dan keterisolasian ekonomi. Di Tepi Barat, mereka terjebak di wilayah yang dipenuhi pos-pos pemeriksaan dan penggusuran akibat perluasan permukiman Yahudi. Dalam kondisi seperti ini, semangat nasionalisme yang dulu menyatukan bangsa Palestina perlahan memudar. Rasa lelah, putus asa, dan kehilangan kepercayaan pada kepemimpinan menjadi penyakit sosial yang menggerogoti daya juang mereka.

Retaknya Dukungan Regional dan Keuntungan bagi Israel

Perpecahan antara Fatah dan Hamas juga berdampak besar terhadap dukungan dunia Arab dan komunitas internasional. Negara-negara Timur Tengah sendiri terbelah dalam menyikapi dua faksi ini. Qatar, Iran, dan Turki cenderung mendukung Hamas karena kesamaan ideologinya, sementara Mesir, Yordania, dan Arab Saudi lebih berpihak pada Fatah karena dianggap lebih moderat dan sejalan dengan kepentingan politik mereka. Akibatnya, isu Palestina kehilangan peran simboliknya sebagai pemersatu dunia Arab. Kini, Palestina justru menjadi ajang perebutan pengaruh geopolitik di Timur Tengah.

Situasi ini dimanfaatkan secara cerdik oleh Israel. Dengan dua pemerintahan Palestina yang saling menolak, Israel memiliki alasan kuat untuk menolak negosiasi damai dan terus memperluas wilayah pendudukannya. Dalam retorika global, Israel menggunakan keberadaan Hamas untuk membenarkan tindakan militernya dengan dalih memerangi terorisme. Sementara Fatah dianggap tidak memiliki kekuatan nyata di lapangan, sehingga setiap perundingan diplomatik selalu kehilangan daya tawar. Dengan begitu, perpecahan internal Palestina telah menjadi senjata politik paling efektif bagi Israel untuk mempertahankan status quo.

Perpecahan sebagai Sumber Kelemahan Abadi Palestina

Upaya rekonsiliasi antara Fatah dan Hamas telah berkali-kali diupayakan oleh Mesir dan Qatar, tetapi selalu gagal di tengah jalan. Setiap kesepakatan yang ditandatangani kandas karena perebutan kendali atas aparat keamanan, pembagian dana bantuan, dan saling curiga antara dua kepemimpinan yang merasa paling mewakili rakyat. Rekonsiliasi akhirnya hanya menjadi slogan politik yang indah, tetapi kosong makna.

Selama dua faksi besar ini terus berselisih, perjuangan Palestina akan tetap berjalan di tempat. Dunia internasional membutuhkan satu kepemimpinan yang kuat untuk mengakui Palestina sebagai negara berdaulat. Namun kenyataannya, Palestina justru berjalan dengan dua roda yang berputar ke arah berlawanan. Ketika Hamas berperang,Fatah berdiam diri; ketika Fatah bernegosiasi, Hamas menolak hasilnya.

Situasi ini menempatkan Palestina dalam posisi yang selalu lemah di hadapan Israel. Kekuatan Israel bukan hanya terletak pada senjata dan militernya, tetapi pada kemampuannya memanfaatkan perpecahan lawannya. Selama Fatah dan Hamas gagal bersatu di bawah satu visi perjuangan, Israel akan selalu memiliki alasan untuk menolak perdamaian dan melanjutkan pendudukan. Perpecahan yang tak kunjung berakhir inilah yang membuat bangsa Palestina terus kehilangan kekuatan politik, militer, dan moral di mata dunia.

Pada akhirnya, yang melemahkan Palestina bukan semata kekuatan Israel, melainkan ketidakmampuan mereka mengatasi perbedaan di dalam diri sendiri. Selama perpecahan itu tetap dibiarkan, Palestina akan terus menjadi bangsa yang terpecah dan tak berdaya menghadapi kekuatan yang bersatu. Luka akibat perpecahan ini bukan hanya luka politik, tetapi luka sejarah yang akan terus membuat Palestina rapuh di hadapan dunia.