Oleh Silwanus Sumule
Obginsos; tinggal di Jayapura
BADAN Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) baru saja meluncurkan Rencana Aksi Percepatan Pembangunan Papua (RAPPP) 2025–2029. Acara resmi. Rapi. Terjadwal. Lengkap dengan sambutan dan dokumen.
Saya menghargainya. Setiap rencana selalu lebih baik daripada tidak ada rencana. Tapi di Papua, setiap rencana besar selalu memunculkan satu pertanyaan sederhana: apakah kali ini negara benar-benar akan hadir?
Sebab ada satu fakta yang jarang diucapkan keras-keras: Papua tidak kekurangan kebijakan. Papua kekurangan kehadiran negara yang nyata. Yang paling terasa adalah di kesehatan.
Dana Otsus sudah berganti periode. Regulasi berganti. Pejabat berganti. Istilah dan singkatan makin panjang. Namun di kampung-kampung, pertanyaannya tetap sama: mengapa pelayanan kesehatan kami tidak berubah?
Pertanyaan ini tidak bisa dijawab dengan slide presentasi. Tidak bisa dijawab dengan angka nasional. Ia hanya bisa dijawab dengan satu hal: apakah orang Papua benar-benar lebih mudah mendapatkan pertolongan medis.
Sering kali pembangunan Papua dirancang dari Jakarta. Indah. Simetris. Masuk akal di ruang rapat. Masalahnya, Papua tidak hidup di ruang rapat.
Di sini (Papua) ada sungai yang harus diseberangi. Ada gunung yang harus ditembus. Ada cuaca yang tidak bisa diprediksi. Ada jarak yang membuat satu keputusan administrasi bisa berujung pada kehilangan nyawa.
Akibatnya, banyak program besar terasa kecil dampaknya. Energinya besar. Hasilnya tipis. Peluncuran RAPPP seharusnya menjadi momen berhenti sejenak. Bukan hanya meresmikan dokumen, tetapi bertanya jujur: apakah cara kita merencanakan Papua selama ini sudah benar?
Di kesehatan, setidaknya ada tiga hal yang perlu diluruskan. Pertama, Papua tidak bisa diseragamkan. Ambulans di Jawa itu mobil. Di Yahukimo, ambulans itu perahu motor. Obat di kota bisa dikirim tiap minggu. Di Pegunungan Bintang, ada bulan-bulan ketika pesawat tidak bisa mendarat.
Kedua, urusan administrasi jangan mengalahkan nyawa. Rumah sakit di Papua hidup dengan biaya operasional tinggi. Tapi diikat oleh aturan pusat yang kaku. Akibatnya, direktur rumah sakit lebih sibuk menghindari kesalahan administrasi daripada mengurus pasien.
Di Papua, keterlambatan klaim Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) bukan sekadar soal kas. Ia bisa berarti layanan berhenti. Dan layanan berhenti bisa berarti kematian. Kalau negara ingin serius, maka prosedur harus melayani manusia. Bukan sebaliknya.
Ketiga, tenaga kesehatan Papua harus diperlakukan sebagai aset strategis negara. Dokter di pedalaman bukan relawan. Bidan di kampung bukan pelengkap. Perawat yang berjaga dengan senter bukan cerita romantis. Mereka adalah wajah negara di kampung.
Kalau perbatasan dijaga dengan senjata, maka rakyat Papua harus dijaga dengan layanan kesehatan yang manusiawi. RAPPP akan menjadi dokumen penting. Tapi nilainya baru terasa ketika ia tidak berhenti di lemari arsip.
Papua tidak membutuhkan rencana yang indah. Papua membutuhkan keberanian politik. Keberanian untuk berkata: Papua memang berbeda. Dan karena itu, kebijakannya juga harus berbeda.
Negara tidak boleh memimpin Papua dari jarak jauh. Negara harus turun. Melihat. Mendengar. Merasakan. Melihat ibu hamil yang menunggu bidan. Melihat rumah sakit kecil yang hidup dari utang operasional.
Melihat tenaga kesehatan yang bertahan karena nurani, bukan fasilitas. Peluncuran RAPPP adalah awal. Jangan biarkan ia menjadi akhir dari perhatian. Karena bagi orang Papua, pembangunan bukan soal percepatan. Ia soal kehadiran.
Dan kehadiran negara tidak diukur dari tebalnya dokumen, tetapi dari seberapa cepat pertolongan datang ketika nyawa sedang menunggu. AWaktunya membuktikan. Bukan lagi menjanjikan. (*)










