PANDEMI coronavirus diseas 2019 (Covid-19) membawa kita ke situasi yang sulit. Sudah banyak yang mati karena infeksi virus yang menyerang saluran nafas. Menurut data yang dilansir oleh worldometers.info, Sabtu (24/7 2021) di seluruh dunia 4.160.263 orang meninggal dunia. Meski tidak diharapkan, kita mengerti bahwa angka itu masih akan bertambah setiap hari selama pandemi ini belum berhasil dikendalikan.
Situs covid19.papua.go.id yang di-update pada Kamis( 15/7 2021), memuat data bahwa di Provinsi Papua ada 29.047 kasus konfirmasi positif. Ada 4.717 orang dirawat. Orang yang meninggal 587 orang. Yang sudah sembuh 23.743 kasus.
Sumber data yang sama menginformasikan bahwa kasus infeksi virus Covid-19 sudah menyebar kebanyak daerah. Misalnya, Kabupaten Mappi, Boven Digoel, Paniai. Lanny Jaya, Mimika, Jayawijaya, Yalimo, Keerom. Tolikara, Nabire, Asmat, Kabupaten Jayapura, Kota Jayapura, Mamberamo Tengah, Sarmi, dan Merauke.
Pemerintah Provinsi (Pemprov) Papua beberapa hari yang lalu membuka lowongan untuk 50 dokter kontrak, 200 perawat/bidan, 50 analis kesehatan, 50 orang kesehatan masyarakat/epidemiologi. Rekrutmen ini untuk mencukupi kebutuhan tenaga medis untuk menangani pandemi Covid-19 di Biak, Boven Digul, Paniai, Wamena, dan Kabupaten Jayapura.
Selain menambah kecukupan tenaga medis, pemerintah pun harus memastikan kecukupan fasilitas tempat rawat, obat-obatan, juga oksigen. Barangkali, jika penyebaran virus semakin tidak terkendali, pemerintah harus membuka rumah sakit darurat. Pada saat ini di Papua terdapat 45 rumah sakit dengan 16 di antaranya adalah rumah sakit rujukan.
Distribusi logistik juga tidak akan mudah mengingat beberapa wilayah memiliki akses tranportasi yang terbatas. Kabupaten Mappi yang berawa-rawa, misalnya, sangat bergantung pada pesawat kecil dan alat transportasi air ringan.
Penting untuk diperhatikan dengan sangat serius bahwa pemerintah tidak boleh berlambat-lambat. Virus korona sudah menyebar jauh sampai ke wilayah-wilayah yang sejauh ini dinilai terisolasi. Apalagi, di sana fasilitas kesehatan dan tenaga medis terbatas.
Mengendalikan penyebaran virus ini sesungguhnya menjadi pekerjaan yang sangat menentukan. Bukan hanya di Papua, tetapi di seluruh dunia. Kekuatan-kekuatan global seperti PBB, negara-negara, lembaga-lembaga riset dengan para ahli di dalamnya, dan banyak agen yang lain mencurahkan sumber daya secara optimal untuk menahan laju penyebaran virus yang mematikan ini. Kita sedang berada dalam ancaman global. Tidak ada satu negara pun yang dikecualikan dari ancaman wabah ini.
Penemuan vaksin menjadi perkembangan yang mutakhir dan memberikan harapan untuk membentuk “herd immunity”. Kekebalan kelompok ini akan terbentuk jika sekurangnya 60% populasi mendapatkan vaksin Covid-19 sehingga memberikan perlindungan tidak langsung kepada populasi yang tidak kebal.
Setelah vaksin ditemukan dan diproduksi massal, negara-negara bergerak cepat untuk memvaksin warganya. Vaksinasi merupakan upaya pemerintah untuk melindungi dan menyelamatkan warganya dari ancaman kematiana kibat virus korona. Vaksin menjadi senjata global untuk mengerem pandemi. Maka, selama sebagian besar penduduk belum mendapatkan vaksin, ancaman wabah korona masih terus bertahan. Lalu, semakin lama pandemi ini berjalan, semakin besar juga korban yang jatuh.
Akan tetapi, seperti dalam setiap olahraga pacuan, akan selalu ada yang tertinggal atau kalah. Dalam perlombaan mendapatkan vaksin juga ada negara yang tersingkir. Pandemi ini membuka selubung: ketimpangan dan sekat-sekat!
Negara-negara maju cenderung menjadi juara. Inggris konon sudah berhasil memvaksin 60% penduduknya. Jerman sudah memvaksin lebih dari sepertiga total populasinya. Lebih lanjut, dalam rangka mengantisipasi kondisi terburuk akibat penyebaran varian Delta, Jerman menargetkan untuk memvaksin 80% penduduknya. Sedangkan negara-negara miskin yang kesulitan mengupayakan vaksin, bergantung pada sumbangan-sumbangan dari pihak-pihak luar.
Maka, negara-negara yang berhasil memperoleh vaksin dapat dikatakan “bernasib lebih baik”. Namun, jika membiarkan ada negara-negara yang gagal mendapatkan vaksin sama sekali nasib baik itu tidak ada artinya. Berhadapan dengan pandemi Covid-19 semestinya seluruh dunia adalah juaranya.
Sejarah memberikan pelajaran penting bagi kita sekarang ini. Pada abad ke-20 saja penyakit cacar telah membunuh sekurangnya 300 juta orang di seluruh dunia. Virus cacar menyebar dengan sangat gampang dan cepat. Angka itu sangat besar. Kehancuran yang ditimbulkan tidak terbilang lagi besarnya.
Dunia berterima kasih kepada Edward Jenner, ilmuwan Inggris, yang pertama kali mengembangkan vaksin cacar pada 1796. Ia berjasa besar karena sudah menyelamatkan hidup banyak orang. Bahkan hingga sekarang vaksin cacar bisa didapatkan dengan relatif mudah. Seandainya vaksin cacar baru bisa ditemukan puluhan tahun kemudian, jumlah korban wabah cacar tentulah lebih banyak dari pada angka di atas.
Pada 1980, WHO mengumumkan bahwa penyakit cacar sudah berhasil diberantas. Pandemi Covid-19 ini memunculkan nama Sarah Gilbert, penemu vaksin Astra Zeneca. Ia menolak mematenkan temuannya. Padahal, jika ia melakukan itu, ia bisa memperoleh uang yang sangat besar. Tetapi, demi kepentingan seluruh warga dunia, ia melepaskannya. Sarah Gilbert tidak saja orang cerdas, tetapi sungguh mulia. Melepaskan hak paten memungkinkan vaksin temuannya diproduksi secara besar-besaran.
Dunia berterimakasih kepada banyaka hli virus yang terlibat membuat vaksin virus korona ini. Kemajuan teknologi saat ini telah memungkinkan proses pembuatan vaksin berlangsung lebih cepat. Mereka pasti sadar bahwa kita berada dalam perlombaan yang mengerikan dengan virus korona ini. Semakin lambat terkendali, semakin virus ini memakan banyak korban.
Mengendalikan pandemi bukanlah pekerjaan satu atau dua pihak. Tidak hanya pemerintah provinsi, pemerintah daerah, Satgas Covid-19, dan kelompok-kelompok warga atau badan-badan yang dibentuk yang bertanggungjawab. Virus korona tidak mengecualikan satu orang pun. Tidak ada satu pun yang bebas dari ancaman. Virus korona adalah musuh tak kelihatan untuk semua orang. Cukup banyak dari antara kita sudah gugur. Seharusnya kita bekerjasama mencegah virus menyebar lebih luas.
Kita menengok kembali. Kasus korona di Indonesia pertama kali ditemukan pada Maret 2020 di Depok, Jawa Barat. Tidak segera diambil langkah serius oleh pemerintah. Bahkan beberapa petinggi malah membuat lelucon. Pemuka agama dengan ringan melucu seolah-olah orang Indonesia lebih kebal.
Sekarang kita sendiri bisa menilai: semua lelucon atau sikap menganggap enteng itu tidak banyak menolong, malah menyesatkan. Kita juga tahu kesalahan mengambil langkah itulah yang membuat korban di Indonesia terus berjatuhan dan belum tahu kapan akan jatuh korban terakhir. Apakah kita akan mengulangi yang sama? (Editor)