Oleh Kasdin Sihotang
Dosen Filsafat Moral di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta
HARI-hari belakangan kondisi bangsa kita kurang baik-baik saja. Selama beberapa hari terjadi gelombang demonstrasi yang berskala nasional. Seperti dikatakan oleh John Rawls, demonstrasi yang marak itu merupakan wujud kebangkitan nalar publik.
Dalam bukunya, The Theory of Justice (1999) John Rawls menggambarkan bahwa ketika ketidakadilan merajalela, di situlah nalar publik bangun dan bangkit berjuang untuk melawannya.
Dalam iklim demokrasi bahkan Rawls mengafirmasikan bahwa prinsip keadilan adalah syarat terwujudnya demokrasi. Sebaliknya, ketidakadilan adalah musuh bagi demokrasi. Karena itu bagi Rawls, tidak mungkin demokrasi berlangsung dengan baik tanpa keadilan. Siapa yang menjamin itu? Adalah tugas utama dari pejabat publik.
Artinya, subjek utama yang menjadi tumpuan hadirnya keadilan adalah mereka yang berada dalam struktur pemerintahan. Struktur dasar itu adalah institusi besar yang menata sistem kerjasama sosial dalam masyarakat melalui aturan-aturan yang memang sungguh-sungguh menggemakan fairness dalam tata kelola hidup bersama.
Keluhuran Pejabat Publik
Jika pemikiran John Rawls diterjemahkan secara konkret, yang ingin diangkat oleh John Rawls sesungguhnya sangat sederhana, yakni pentingnya kesadaran pejabat publik tentang tanggung jawab moral serta kepekaan etisnya dalam menjalankan tugasnya.
Tidak bisa dimungkiri bahwa pejabat publik adalah subjek yang berperan penting dalam struktur pemerintahan. Mereka adalah orang-orang yang memiliki peran penting dalam jabatan politik.
Di mana letak peran mereka dan bagaimana peran itu harus mereka tunjukkan? Untuk menjawab pertanyaan ini kita bisa merujuk pada pemikiran dua pemikir hebat, yakni Plato dan Aristoteles.
Plato dalam Republik (1997) menempatkan pejabat publik berada pada posisi tertinggi, karena menurutnya orang-orang seperti ini menjalankan fungsi jiwa yang tertinggi, yakni berpikir.
Karena fundasinya adalah rasionalitas, maka orientasi bertindak pejabat publik menurut Plato bukan lagi pada perut atau kelompok tetapi kehidupan yang melebihi itu semua.
Secara lain dapat dikatakan pejabat publik justru menjadi panutan dan tiruan bagi masyarakat dan memberikan contoh yang baik demi kehidupan masyarakat yang tentram dan terjamin baik. Ketika pejabat publik dikuasai oleh naluri kekuasaan dan keinginan, maka pejabat publik sudah mengingkari jati dirinya yang sesungguhnya.
Dalam kecenderungan ini pejabat publik justru sudah keluar dari esensi kedudukan yang sebenarnya. Seyogianya seluruh gerak gerik pejabat publik didasarkan pada gerakan akal budi, yang berarti penuh dengan pertimbangan-bertimbangan.
Karena itu menghidupi keutamaan moral adalah imperatif kategoris atau keharusan bagi pejabat publik seperti ditegaskan oleh Immanuel Kant dalam Critique of Pure Reason (2007).
Inti pemikiran yang serupa juga terdapat dalam pemikiran Aristoteles sebagaimana tertuang dalam bukunya The Politics (2020). Dalam buku itu Aristoteles bahkan secara lebih konkret menunjukkan bagaimana tugas luhur dari pejabat publik itu.
Keluhuran tugas pejabat publik itu justru terletak pada orientasi sosialnya, sesuai dengan esensi dari kata “politik” itu sendiri. Bagi Aristoteles, kata “politik” memuat ungkapan yang paling mendasar dari hakikat manusia sebagai makhluk sosial, yang diistilahkan oleh Aristoteles dengan dua kata Yunani, yakni zoon politicon.
Kata zoon, yang artinya adalah makhluk, dan politikon, artinya kota atau hidup bersama. Sementara kata “politicon” sendiri serapan dari dua kata “polis”, yang artinya kota, dan “taia” artinya urusan atau kepentingan.
Dengan penelusuran etimologis kata “politik” di atas terlihat dengan jelas bahwa esensi politik sesungguhnya berkaitan dengan tata kelola kehidupan bersama yang sehat, tepatnya urusan kehidupan masyarakat.
Karena itu tugas seorang yang diemban oleh politisi dalam pengertian Aristoteles adalah sesuatu yang luhur dan bernilai sosial, karena ia sesungguhnya mendapat mandat untuk mengelola kehidupan rakyat menuju kondisi yang lebih baik, lebih sejahtera dan lebih adil.
Dengan demikian, menurut Aristoteles, seorang politisi mengemban tugas altruistik, bukan egoistik, karena ia memberi perhatian pada kehidupan orang lain. Seperti ditegaskan oleh Plato, elite politik sesungguhnya bukan jabatan bergengsi pada dirinya sendiri, tetapi jabatan yang penuh makna sosial dan pengabdian.
Makna Etis Jabatan Publik
Pemikiran dua tokoh tenar dunia tersebut sesungguhnya memiliki irisan, yakni bahwa mereka yang menduduki posisi terdepan dalam kehidupan bersama memiliki tugas yang luhur dan mulia. Mereka mereka bukanlah sembarangan orang.
Sebaliknya, mereka adalah orang-orang terpilih dan mendapat mandat dan kepercayaan dari rakyat. Karena itu, kedudukan mereka sesungguhnya mengisyaratkan etika. Bahkan hidup beretika seyogianya menjadi penciri mereka di ruang publik.
Pemikiran Aristoteles dan Plato di atas sesungguhnya sangat mendasar dalam kehidupan bersama. Mengapa disebut mendasar? Pertama, pemikiran kedua filsuf meletakkan dasar sekaligus mengingatkan akan tanggung jawab moral siapa saja yang duduk di posisi penting dalam urusan bersama.
Secara lain dapat diterjemahkan, kedudukan terdepan di ruang publik merupakan sebuah panggilan, persis seperti ditegaskan oleh Max Weber dalam artikelnya “Politics as Vocation”.
Sebagai sebuah panggilan berarti politik itu sendiri menjadi ladang pengabdian dan kepedulian seseorang terhadap yang lain. Karena itu seyogianya para politisi menyadari betul bahwa jabatannya bukan sebuah prestise, tetapi sebuah jalan untuk melakukan yang terbaik bagi masyarakat.
Kedua, pemikiran keduanya juga memberikan fondasi sekaligus menyadarkan siapa saja dalam jabatan terdepan itu agar dalam menjalankan tugasnya sesuai dengan koridor nilai-nilai etika. Secara lain dapat dikatakan pejabat publik dalam menjalankan tugasnya harus tetap berpegang pada rambu-rambu moral.
Untuk itulah etika pejabat publik seperti dirangkai oleh Haryatmoko dalam bukunya, Etika Publik: Untuk Integritas Pejabat Publik dan Politisi (2015) sangat urgen dan mendesak disadari oleh pejabat publik.
Mengapa pejabat publik memerlukan etika? Dasar argumennya tidak jauh daripada apa yang dikatakan oleh Plato dan Aristoteles itu, yakni keluhuran martabat dari jabatan publik itu sendiri. Karena itu Haryatmoko tidak salah Haryatmoko melabelkan pejabat publik sebagai pelayan publik.
Tugas sebagai pelayan publik dengan demikian mengisyaratkan bahwa status pejabat publik berkaitan dengan nilai-nilai moral. Itulah yang disebutnya oleh Haryatmoko dengan etika publik.
Apa pentingnya etika publik? Etika publik adalah refleksi tentang standar atau norma yang menentukan baik buku, benar salah perilaku tindakan dan keputusan untuk mengarahkan kebijakan publik dalam rangka menjalankan tanggung jawab pelayanan publik.
Fokus utama etika publik adalah pelayanan publik yang berkualitas dan relevan, dimensi reflektif dan bagaimana menjembatani antara norma moral dan tindakan faktual.
Etika publik perlu karena menjadi rambu-rambu dasar yang mengatur masyarakat politis, yakni semua orang yang terlibat di lembaga-lembaga negara. Subjeknya lebih luas, tidak saja mereka yang duduk di pemerintahan tetapi semua pihak yang berposisi penting dalam pelayanan publik.
Agar pelayanan ini berjalan dengan baik, maka tanggung jawab moral sangat penting. Selain tanggung jawab, dari pejabat publik juga dituntut integritas publik, komitmen moral dengan mempertimbangkan keseimbangan antara penilaian kelembagaan, dimensi-dimensi pribadi dan kebijaksanaan di dalam pelayanan publik.
Seiring dengan esensi etika publik, pelayan publik perlu menyadari tiga dimensi etika publik, yakni tujuan, sarana dan aksi politik. Tujuan terkait dengan upaya untuk mencapai hidup yang baik, tepatnya mengupayakan kesejahteraan bagi masyarakat.
Sarana dimaksudkan sebagai upaya membangun institusi yang lebih adil dalam bentuk regulasi, hukum dan aturan yang baik untuk menjamin akuntabilitas dan transparansi serta netralitas.
Sedangkan aksi atau tindakan dipahami sebagai integritas publik untuk menjamin pelayanan publik yang berkualitas. Tujuan etika publik seperti dikatakan oleh Haryatmoko sesungguhnya adalah menjamin integritas pejabat publik dalam pelayanan publik.
Ontologi Pelayanan Publik
Seperti sudah disebutkan di atas, sebagai pelayan publik, para pejabat publik perlu menyadari betul ontologi pelayanan publik, yang meliputi empat hal penting.
Pertama, pelayanan yang berbasis pada kesetaraan dan netralitas. Seyogianya di depan pejabat publik semua anggota masyarakat memiliki kedudukan dan posisi yang sama. Ini persis sejalan dengan keadilan legal (legal justice) seperti digemakan oleh Aristoteles.
Keadilan legal mengisyaratkan perlakuan yang sama setiap orang dalam pelayanan, termasuk dalam pelayanan hukum. Implikasinya, secara etis seorang pejabat publik punya kewajiban moral untuk memperlakukan masyarakat secara sama dalam pelayanannya.
Secara negatif dapat dikatakan, pejabat publik tidak mudah tergoda untuk rayuan-rayuan warga masyarakat karena kekuatan uang atau karena kedekatan dengan penguasa, sehingga meloloskan suatu hal yang justru menabrak nilai intrinsik prinsip kesetaraan itu.
Kedua, keberpihakan pada prinsip etis. Berkaitan dengan butir pertama, seorang pejabat publik juga harus lebih berpihak pada prinsip moralitas, bukan pada kepentingan.
Keberpihakan pada prinsip moralitas justru menjadi fondasi bagi seorang pejabat publik untuk tidak berpihak pada kepentingan kelompok atau orang tertentu, bahkan dirinya sendiri, kendati memang ini agak sulit dinyatakan.
Namun sebagai wujud tanggung jawab moralnya dan demi perwujudan keluhuran kedudukannya, hal ini haruslah dijalankan. Immanuel Kant sangat tegas menyatakan hal ini dengan istilahnya imperatif kategoris.
Bagi Kant berpihak pada prinsip moral adalah sebuah keharusan. Haryatmoko bahkan menempatkan keberpihakan ini sebagai wujud tanggung jawab moral pejabat publik yang paling nyata.
Ketiga, adaptif instrumentalistik. Yang dimaksudkan kata “adaptif” di sini bukan berarti pejabat publik dengan begitu mudah tergoda atau melakukan perubahan atas kebijakan demi kepentingan tertentu. Yang dimaksudkan adaptif adalah bentuk pelayanannya mengikuti perkembangan jaman.
Artinya, yang disesuaikan dengan perkembangan adalah cara-cara menjalankan tugasnya sesuai dengan situasi dan perkembangan yang ada. Secara lain dapat dikatakan yang berubah adalah nilai instrumentalnya.
Sedangkan nilai intrinsiknya, yakni prinsip-prinsip moralnya harus tetap dipertahankan. Dalam hal ini tentunya pejabat publik perlu memiliki kepekaan terhadap perkembangan, sembari was-was akan dampak dari perubahan itu.
Keempat, partisipasi berbasis empati. Seperti dikatakan oleh Plato dan Aristoteles, esensi dari pejabat publik bersifat sosial. Ia mengambil bagian yang besar demi memajukan rakyatnya dengan mencurahkan seluruh hati dan pikirannya untuk kemajuan kepentingan publik.
Ini berarti sebagai pelayanan publik, pejabat publik ambil bagian secara aktif dengan keterlibatan, perhatian yang besar dalam memajukan kehidupan masyarakatnya. Ia sangat peduli akan situasi nyata mereka yang dilayani.
Tiga Kompetensi
Dalam mendukung empat ontologi pelayanan publik di atas, pejabat publik perlu melengkapi diri dengan tiga kompetensi utama, yakni kompetensi etis, kompetensi teknis, dan kepemimpinan.
Menurut Haryatmoko, kompetensi etis meliputi manajemen nilai, pengembangan moral dan penalaran moral, moralitas publik dan pribadi serta etika organisasi. Dalam hal ini diperlukan kemampuan memahami etika sebagai sarana dalam menghadapi konflik, kemampuan menolak perilaku yang berlawanan dengan etika dan mampu menerapkan teori-teori etika.
Kompetensi ini juga terejawantah dalam perilaku dan perbuatan yang sejalan dengan prinsip-prinsip etika itu sendiri. Sedangkan kompetensi teknik merupakan inti profesionalisme pelayanan publik. Ini mencakup pengetahuan ilmiah yang diperlukan dalam melaksanakan tugas-tugas kepublikan.
Karena itu demi pelayanan yang maksimal, tingkat pendidikan perlu menjadi bagian dari persyaratan pejabat publik. Tentu ini tidak menjadi penentu utama, karena tidak ada yang bisa menjamin bahwa tingkat pendidikan berbanding lurus dengan kualitas pelayanan publik dari seorang pejabat publik.
Namun tentu berdasarkan realitas historis maupun tingkat pola pikir, tingkat pendidikan itu memberi sumbangan besar dalam memberi mutu pelayanan kepada masyarakat.
Ketiga kompetensi tersebut wajib dimiliki oleh pejabat publik. Minus dalam ketiganya menjadi penghambat bagi pelayanan publik dan menjadi cikal bakal bagi perilaku buruk yang dihidupi oleh pelayan publik.
Korupsi, nepotisme dan hal buruk lainnya dalam pelayanan publik adalah buah-buah dari minusnya tiga kompetensi di atas dalam diri pejabat publik.
Dari paparan di atas sangat jelas bahwa faktisitas kualitas pelayan publik, lebih-lebih pejabat publik mengisyaratkan membudayakan etika pejabat publik menjadi sesuatu yang mendesak.
Artinya, kehadiran etika pejabat publik justru urgen demi memaksimalkan peran sosial yang lebih luas dari jabatan publik itu sendiri. Etika pejabat publik justru menjadi pengejawantahan esensi jabatan publik sebagai pelayan masyarakat.
Nampaknya kesadaran akan hal itu di kalangan pejabat publik semakin diperlukan. Gema etika pejabat publik ini perlu digaungkan terus menerus hingga tercipta budaya etis yang membuat pelayanan pejabat publik semakin dirasakan oleh masyarakat. Di sana keadilan, tanggung jawab moral, transparansi dan empati yang besar terhadap kehidupan rakyat hadir secara nyata. Semoga.