OPINI  

Bubarkan Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua

Yakobus Dumupa, Anggota Majelis Rakyat Papua (2012-2016) dan Bupati Dogiyai (2017-2022). Foto: Dok. Odiyaiwuu.com

Oleh: Yakobus Dumupa
Anggota Majelis Rakyat Papua (2012-2016) dan Bupati Dogiyai (2017-2022)

BADAN Pengarah Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua (BP3OKP), atau yang sering disebut Badan Pengarah Papua, dibentuk melalui Peraturan Presiden Nomor 121 Tahun 2022. Badan ini diketuai oleh Wakil Presiden dan beranggotakan sejumlah menteri serta perwakilan dari setiap provinsi di Tanah Papua. Secara formal, tugasnya tampak ideal: melaksanakan sinkronisasi, harmonisasi, evaluasi, dan koordinasi percepatan pembangunan serta pelaksanaan otonomi khusus. Namun, setelah berjalan empat tahun, pertanyaan yang muncul justru sederhana: apa hasil nyatanya?

Jawabannya, hampir tidak ada. Tidak ada kebijakan strategis baru yang lahir dari badan ini, tidak ada inisiatif yang mempercepat pembangunan Papua, dan tidak ada koordinasi nyata antara kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah. Ia hidup dalam ruang administratif Jakarta — jauh dari denyut kehidupan orang Papua.

Badan Pengarah Papua hanyalah satu dari sekian banyak lembaga yang dibentuk pemerintah pusat sejak era Otonomi Khusus untuk “mengurus Papua” dari meja birokrasi. Sebelumnya ada UP4B di masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Unit Kerja Presiden untuk Papua, Tim Koordinasi Otsus, dan berbagai badan ad hoc lainnya. Semua lahir dengan semangat serupa: mempercepat pembangunan dan memastikan Otsus berjalan efektif. Namun, nasib mereka sama — berumur pendek, tak berakar di Papua, dan berakhir tanpa hasil yang signifikan.

Badan yang Berulang, Masalah yang Sama

Masalahnya bukan pada nama lembaga, melainkan pada pola pikir di balik pembentukannya. Pemerintah pusat selalu percaya bahwa masalah Papua bisa diselesaikan lewat struktur baru, bukan melalui kehadiran nyata di lapangan. Akibatnya, setiap kali terjadi kegagalan, solusinya bukan introspeksi, tetapi menciptakan lembaga baru.

Ketika UP4B dibentuk pada 2011, harapan besar mengiringinya. Namun dalam waktu singkat, lembaga itu pun kehilangan daya dorong karena minim dukungan politik dan kewenangan anggaran. Kini pola yang sama diulang melalui BP3OKP. Bedanya, lembaga ini bahkan lebih lemah karena tidak memiliki struktur operasional di Papua. Sekretariatnya melekat di Kantor Wakil Presiden, ribuan kilometer dari lokasi yang hendak dibangun.

Dalam praktiknya, BP3OKP tidak pernah benar-benar bekerja. Tidak ada kebijakan yang mengubah tata kelola dana Otsus menjadi lebih transparan. Tidak ada koordinasi lintas kementerian yang efektif untuk menjawab kesenjangan pendidikan, kesehatan, dan ekonomi di Papua. Di daerah, pemerintah provinsi dan kabupaten bahkan tidak merasakan kehadiran badan ini. Ia ada di atas kertas, tapi tidak hadir di lapangan.

Otonomi Khusus yang Sudah Lumpuh

Fakta yang lebih mendasar adalah: badan ini lahir dalam konteks Otonomi Khusus Papua yang sudah lumpuh secara politik dan substansi. Setelah revisi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 melalui UU Nomor 2 Tahun 2021, Otsus kehilangan rohnya sebagai instrumen politik untuk memberi ruang bagi orang asli Papua mengatur dirinya sendiri.

Revisi tersebut justru mempersempit kewenangan daerah, memperkuat kontrol pusat, dan menjadikan dana Otsus sekadar mekanisme fiskal. Dalam konteks seperti itu, pembentukan Badan Pengarah Papua menjadi ironi: lembaga yang mengklaim mengoordinasikan otonomi khusus di saat otonomi itu sendiri sudah dikendalikan penuh oleh pusat.

Bagaimana mungkin sebuah badan bisa “mengawasi dan mengarahkan pelaksanaan Otsus” bila substansi Otsus telah berubah menjadi proyek teknokratis? Yang tersisa hanyalah slogan percepatan pembangunan, bukan semangat keadilan dan pengakuan terhadap martabat orang asli Papua. Karena itu, keberadaan badan ini justru memperkuat kesan bahwa Papua tidak pernah benar-benar dipercaya mengelola dirinya sendiri.

Restrukturisasi Bukan Jawaban

Sebagian pihak mengusulkan agar BP3OKP direstrukturisasi menjadi lembaga baru yang lebih efektif — misalnya dengan meniru model UP4B era SBY. Gagasan ini terdengar rasional di permukaan, tetapi sebenarnya mengulang kesalahan lama.

Restrukturisasi tidak akan menyembuhkan penyakit struktural yang sudah kronis: sentralisasi kekuasaan, birokratisasi pembangunan, dan lemahnya keberpihakan politik terhadap Papua. Masalahnya bukan pada bentuk badan, melainkan pada paradigma yang melandasinya. Pemerintah pusat selalu merasa harus menjadi pengarah dan pengendali tunggal pembangunan di Papua, padahal persoalan Papua adalah tentang kepercayaan, bukan sekadar koordinasi administratif.

Setiap badan yang dibentuk tanpa mengubah pola relasi kekuasaan hanya akan menambah daftar panjang lembaga gagal di Tanah Papua. Pengalaman membuktikan: dari UP4B hingga BP3OKP, semuanya gagal karena tidak berakar pada realitas Papua dan tidak melibatkan masyarakat adat, gereja, akademisi, serta tokoh lokal sebagai pengambil keputusan sejati.

Membubarkan untuk Memulihkan

Solusi yang paling rasional dan jujur adalah membubarkan BP3OKP, bukan merestrukturisasinya. Pembubaran bukan berarti menolak pembangunan, melainkan mengakhiri kebijakan simbolik yang tidak membawa hasil. Daripada mempertahankan lembaga yang hanya hidup di atas kertas, lebih baik menata ulang mekanisme pembangunan Papua melalui sistem pemerintahan yang sudah ada — kementerian, pemerintah daerah, dan lembaga keagamaan yang memang bekerja langsung di lapangan.

Dana dan energi yang dihabiskan untuk mempertahankan badan-badan ad hoc semacam ini sebaiknya dialihkan ke penguatan kapasitas daerah. Pemerintah pusat seharusnya mempercayakan pembangunan Papua kepada pemerintah provinsi, kabupaten, dan masyarakat sipil lokal yang lebih memahami konteks sosial, budaya, dan ekonomi setempat.

Papua tidak butuh lembaga baru di Jakarta, melainkan ruang untuk memimpin dirinya sendiri. Otonomi sejati bukan berarti semakin banyak badan pengarah, tetapi semakin sedikit campur tangan pusat.

Menutup Siklus Kegagalan

Jika pemerintah terus mengulang pola yang sama — membentuk lembaga baru setiap kali Papua bermasalah — maka Tanah Papua akan terus menjadi laboratorium kebijakan, bukan wilayah yang sungguh-sungguh dibangun. Sudah saatnya pemerintah berhenti memperlakukan Papua sebagai objek eksperimen birokrasi.

Empat tahun berdirinya BP3OKP tanpa hasil adalah cukup. Lembaga ini tidak perlu dipoles, tidak perlu diganti nama, tidak perlu direstrukturisasi. Ia harus dibubarkan!

Dengan membubarkannya, pemerintah bisa menunjukkan keberanian moral dan politik: bahwa pembangunan Papua tidak membutuhkan simbol baru, melainkan keseriusan, kepercayaan, dan kemauan untuk mendengar suara rakyat Papua sendiri.

Membubarkan Badan Pengarah Papua berarti membuka lembaran baru — dari pendekatan teknokratis menuju pendekatan manusiawi. Dan mungkin di situlah letak awal dari Papua yang benar-benar damai dan sejahtera.