PROGRAM makan bergizi gratis yang menjadi salah satu janji kampanye Presiden Prabowo Subianto kini mulai dijalankan secara bertahap. Di atas kertas, ini adalah gagasan yang mulia: memastikan setiap anak Indonesia mendapatkan asupan gizi yang layak untuk tumbuh kembang optimal. Namun, di lapangan, pelaksanaan program ini justru menimbulkan pertanyaan serius: apakah anak-anak benar-benar mendapatkan makanan bergizi, atau hanya sekadar makan kenyang?
Banyak laporan dari berbagai daerah menunjukkan bahwa paket makanan yang dibagikan dalam program ini jauh dari kata bergizi. Dalam banyak kasus, menu hanya berisi nasi dengan lauk pauk seadanya, minim sayuran, apalagi buah. Kandungan protein hewani yang menjadi komponen penting dalam gizi anak-anak justru paling sering absen. Padahal, esensi dari “makanan bergizi” bukan sekadar mengisi perut, melainkan memenuhi kebutuhan nutrisi harian secara seimbang.
Kondisi ini menandakan bahwa implementasi program belum dirancang dengan baik, terutama dalam hal perencanaan menu, pengawasan kualitas makanan, dan keterlibatan ahli gizi. Pendekatan serba cepat dan massal tampaknya lebih diarahkan pada pencapaian kuantitas dan citra keberhasilan program, bukan kualitas hasilnya. Pemerintah pusat dan daerah seolah berlomba menuntaskan target distribusi makanan, tanpa memastikan apakah makanan itu benar-benar memberikan manfaat gizi.
Masalah lain yang mengemuka adalah lemahnya sistem logistik dan pengawasan. Tidak sedikit penyedia makanan yang bekerja asal-asalan, didorong oleh motif keuntungan dan minimnya kontrol mutu dari pemerintah. Akibatnya, program ini rentan menjadi ladang korupsi baru, dengan dalih pengadaan cepat dan kebutuhan mendesak. Kita tidak ingin program ini berubah menjadi proyek mercusuar yang hanya menguntungkan segelintir pihak, sementara anak-anak tetap kekurangan gizi.
Ironisnya, dalam masyarakat yang masih menghadapi beban stunting dan gizi buruk kronis, program ini justru bisa menjadi kontraproduktif jika tidak dibarengi dengan pendidikan gizi yang menyeluruh dan penguatan peran keluarga. Memberi makan bukan hanya soal logistik, tapi soal nilai: nilai kesehatan, nilai kepedulian, dan nilai masa depan bangsa.
Presiden dan jajaran pemerintah perlu segera melakukan evaluasi menyeluruh. Fokus program harus dikembalikan ke semangat awal: memenuhi kebutuhan gizi anak bangsa. Itu berarti melibatkan ahli gizi sejak tahap perencanaan, memperkuat mekanisme kontrol mutu di lapangan, dan menghindari pendekatan asal kenyang atau asal terlaksana.
Makan bergizi gratis adalah janji besar yang membawa harapan besar. Tapi harapan itu hanya akan menjadi kenyataan bila program ini dijalankan dengan keseriusan, ketelitian, dan keberpihakan yang nyata pada kesehatan generasi masa depan. Jika tidak, kita hanya akan mewariskan perut kenyang tapi tubuh rapuh—dan masa depan yang lemah. (Editor)