OPINI  

Beras Membunuh Papua

Yakobus Dumupa, Orang asli Papua, tinggal di Nabire, Tanah Papua. Foto: Dok. Odiyaiwuu.com

Oleh: Yakobus Dumupa
(Orang asli Papua, tinggal di Nabire, Tanah Papua)

PAPUA adalah tanah yang diberkati dengan kesuburan. Ubi jalar yang tumbuh di pegunungan, sagu yang merajai rawa-rawa, keladi, talas, pisang, ikan dari sungai dan laut, daging hasil berburu, sayur dari hutan—semuanya adalah kekayaan pangan yang melimpah, yang telah menghidupi orang asli Papua selama berabad-abad. Itulah makanan sejati Papua, makanan yang terhubung dengan tanah, budaya, dan jiwa. Namun, hari ini, makanan itu ditinggalkan. Orang asli Papua dari kota hingga kampung semakin menggantungkan hidup pada beras, makanan impor yang datang dari luar tanah mereka.

Apa akibatnya? Lebih dari sekadar perut yang kenyang, beras diam-diam membunuh Papua. Membunuh kesehatan, membunuh ekonomi, membunuh budaya, dan membunuh kedaulatan. Kini, hampir setiap keluarga merasa belum makan kalau belum makan nasi. Padahal, tubuh orang Papua dibentuk oleh ubi, sagu, dan pisang, bukan oleh beras. Akibat pergeseran itu, penyakit-penyakit modern seperti diabetes, hipertensi, dan obesitas kini meledak di tanah Papua. Dulu, ketika pangan lokal masih menjadi makanan utama, penyakit-penyakit semacam itu hampir tidak dikenal.

Lebih parah lagi, ketergantungan pada beras membuat orang Papua semakin rapuh secara ekonomi. Beras bukan produk utama tanah Papua, melainkan harus didatangkan dari luar. Itu berarti setiap kenaikan harga beras di Jawa atau Sulawesi, orang Papua ikut menderita. Di pasar, harga beras semakin melambung, sementara kebun ubi ditelantarkan, hutan sagu ditebangi, dan generasi muda sudah tidak tahu lagi bagaimana menokok sagu atau menanam keladi. Ketika pangan lokal dipinggirkan, orang Papua kehilangan pegangan hidup mereka sendiri. Mereka menjadi konsumen abadi dari sistem pasar yang tidak mereka kuasai.

Namun yang lebih menyakitkan adalah dampak budaya. Makanan adalah identitas. Ubi adalah jiwa bakar batu, sagu adalah inti papeda. Ketika ubi dan sagu tergantikan beras, itu berarti jati diri Papua sedang terkikis. Bagaimana mungkin sebuah pesta bakar batu yang sejati digelar tanpa ubi? Bagaimana mungkin orang Papua bangga menyebut dirinya anak sagu, tetapi setiap hari yang masuk ke perut adalah nasi? Inilah yang sedang terjadi: makanan lokal dipandang kampungan, sedangkan beras dianggap lebih modern, lebih bergengsi. Mental inilah yang perlahan tapi pasti membunuh kebanggaan orang Papua terhadap dirinya sendiri.

Apakah Papua akan terus dibiarkan mati perlahan karena nasi? Inilah saatnya membalik arah. Gerakan kembali ke pangan lokal bukan lagi pilihan, tetapi keharusan. Orang Papua harus sadar bahwa tanah mereka sudah menyediakan segala yang dibutuhkan untuk hidup sehat dan bermartabat. Ubi ungu yang penuh antioksidan, sagu yang kaya serat, keladi dan pisang yang menyehatkan—semua itu adalah harta yang lebih berharga dari beras yang datang dari luar. Orang Papua harus kembali menanam, kembali memanen, dan kembali makan dari tanah mereka sendiri.

Gerakan ini harus dimulai dari semua lini. Pemerintah Papua jangan lagi bangga hanya mendistribusikan beras, tetapi harus berani memberi kebijakan afirmatif untuk menghidupkan kembali pangan lokal. Gereja dan adat jangan hanya bicara iman dan tradisi, tetapi juga menegakkan martabat lewat pangan. Sekolah-sekolah jangan hanya mengajarkan teori, tetapi juga memberi makan anak-anak dengan menu lokal agar mereka tumbuh dengan rasa bangga. Media dan komunitas harus berani berkampanye bahwa makan ubi bukan mundur, melainkan maju, bahwa makan sagu bukan kuno, melainkan beradab.

Beras telah mengikat Papua dalam rantai ketergantungan yang memalukan. Tetapi masih ada waktu untuk melawan. Dengan kembali ke pangan lokal, orang Papua bisa merdeka dari dominasi luar, merdeka dari penyakit, merdeka dari ketergantungan ekonomi, dan merdeka dalam menjaga identitas. Beras bisa tetap ada, tetapi tidak boleh menjadi tuan atas tanah Papua. Tuan atas tanah Papua hanyalah tanah itu sendiri, yang dengan setia memberi makan lewat sagu, ubi, keladi, dan pisang.

Jika orang asli Papua ingin bertahan sebagai bangsa yang bermartabat, mereka harus berani berkata: cukup! Cukup menjadi budak beras. Saatnya kembali ke akar. Saatnya kembali ke pangan yang lahir dari tanah sendiri. Sebab hanya dengan begitu, Papua akan hidup, sehat, kuat, dan bangga. Kalau tidak, beras akan terus membunuh Papua, pelan tapi pasti, hingga tinggal nama.