Banjir Sumatera: Kejahatan Lingkungan yang Dibiarkan Negara

Banjir Sumatera: Kejahatan Lingkungan yang Dibiarkan Negara. Gambar ilustrasi: Odiyaiwuu.com

SEJAK akhir November hingga pertengahan Desember 2025, banjir besar dan longsor melanda Aceh serta sejumlah wilayah Sumatera Utara dan Sumatera Barat. Kabupaten Aceh Selatan, Aceh Tenggara, Aceh Singkil, Mandailing Natal, Tapanuli Selatan, dan Agam mengalami kerusakan parah. Hingga 15 Desember 2025, data sementara mencatat lebih dari 700 orang meninggal dunia, ribuan luka-luka, dan ratusan ribu warga mengungsi. Puluhan jembatan putus, ribuan rumah rusak, dan banyak kampung terisolasi. Ini bukan bencana biasa, melainkan bencana yang lahir dari kebijakan gagal dan keserakahan yang dilegalkan.

Pemerintah kembali mereduksi tragedi ini sebagai akibat hujan ekstrem dan perubahan iklim. Narasi ini sengaja menyederhanakan persoalan dan menyesatkan publik. Hujan memang turun deras, tetapi hujan tidak menebangi hutan, tidak menggali gunung, dan tidak menerbitkan izin tambang. Semua itu dilakukan manusia, sementara negara bertindak sebagai pemberi izin dan pelindung kepentingan modal. Tanpa pembalakan hutan, tambang terbuka, dan ekspansi perkebunan skala besar, hujan deras tidak akan menjelma menjadi banjir bandang yang mematikan.

Kerusakan daerah hulu sungai di Aceh dan Sumatera bukan peristiwa baru. Tutupan hutan menyusut drastis, tanah kehilangan daya serap, sungai menyempit dan dangkal. Ketika hujan ekstrem datang pada akhir November 2025, bencana menjadi kepastian yang tak terelakkan. Namun hingga hari ini, tidak satu pun korporasi besar dimintai pertanggungjawaban secara terbuka. Negara memilih diam, seolah kerusakan lingkungan adalah ongkos wajar dari pembangunan yang mereka rayakan.

Lebih memalukan lagi, meskipun bencana ini berskala lintas provinsi dan korban jiwa terus bertambah, pemerintah pusat belum menetapkan status bencana nasional hingga pertengahan Desember 2025. Ini bukan soal administratif, melainkan keputusan politik yang sadar. Penundaan ini patut dicurigai sebagai upaya menghindari audit kebijakan lingkungan dan izin usaha yang berpotensi membuka keterlibatan negara dalam kejahatan ekologis yang sistemik dan terstruktur.

Ironisnya, pada saat yang sama, pemerintah menyatakan Indonesia mampu menangani sendiri dan belum memerlukan bantuan internasional. Pernyataan ini disampaikan meskipun Pemerintah Aceh secara terbuka mengakui keterbatasan logistik dan kapasitas penanganan di lapangan. Retorika kemandirian terdengar gagah di pusat kekuasaan, tetapi berubah menjadi kekejaman di tengah pengungsian. Rakyat tidak membutuhkan slogan kedaulatan, melainkan makanan, air bersih, obat-obatan, dan evakuasi cepat.

Di lapangan, keluhan warga menunjukkan kenyataan yang bertolak belakang dengan pidato resmi. Bantuan datang terlambat, distribusi semrawut, dan banyak wilayah terisolasi dibiarkan berhari-hari tanpa pertolongan. Warga terpaksa berjalan kaki melewati lumpur dan puing untuk mencari bantuan. Dalam situasi ini, negara tidak hadir sebagai pelindung kehidupan, melainkan sekadar penonton yang sibuk menjaga citra dan mengatur narasi.

Hingga kini, tidak ada moratorium tambang darurat, tidak ada pencabutan izin di wilayah rawan bencana, dan tidak ada satu pun perusahaan besar yang disebut namanya. Semua seolah dibiarkan berjalan normal, seakan nyawa ratusan warga hanyalah statistik yang bisa ditelan waktu. Sikap ini memperlihatkan satu kenyataan pahit: stabilitas investasi masih dianggap lebih penting daripada keselamatan dan martabat manusia.

Banjir Sumatera 2025 adalah peringatan keras yang seharusnya mengguncang nurani negara. Jika pemerintah terus berpura-pura bahwa ini sekadar takdir alam, rakyat berhak menyebut kebenaran yang pahit dan telanjang. Ini bukan takdir, melainkan kejahatan lingkungan yang dibiarkan, bahkan dilindungi, oleh negara. Sejarah tidak pernah memaafkan penguasa yang memilih modal daripada nyawa manusia. (Editor)