OPINI  

Afirmasi Ketenagakerjaan untuk OAP: Saatnya Tempat Usaha Wajib Merekrut OAP

Helga Maria Udam, Warga Kampung Sawoi, Distrik Kemtuk Gresi, Kabupaten Jayapura, Papua. Foto: Dok. Odiyaiwuu.com

Loading

Oleh: Helga Maria Udam
(Warga Kampung Sawoi, Distrik Kemtuk Gresi, Kabupaten Jayapura, Papua)

PENGANGGURAN orang asli Papua (OAP) menjadi masalah serius yang terus mencuat di tengah pelaksanaan kebijakan Otonomi Khusus (Otsus). Ironisnya, Otsus justru lahir dengan semangat memperkuat dan memberdayakan OAP agar menjadi pelaku utama pembangunan di tanah mereka sendiri. Namun kenyataan di lapangan jauh dari harapan itu. Di banyak daerah—mulai dari Jayapura, Nabire, Timika, Sorong, Wanokwari, Wamena hingga Merauke—pembangunan ekonomi tumbuh pesat, tetapi masyarakat asli Papua justru menjadi penonton, bukan pelaku. Lapangan kerja diisi oleh tenaga kerja dari luar Papua, sementara ribuan anak muda Papua menganggur di kampung halaman mereka sendiri.

Fenomena ini bukan kebetulan, melainkan hasil dari praktik rekrutmen tenaga kerja yang tidak berpihak. Banyak perusahaan dan tempat usaha, baik swasta maupun proyek pemerintah, lebih memilih mendatangkan pekerja dari luar Papua. Alasan yang sering digunakan pun sama: tenaga kerja dari luar dianggap lebih siap, lebih terampil, dan lebih disiplin. Alasan ini menjadi pembenaran yang terus digunakan, padahal banyak anak muda Papua yang memiliki semangat kerja dan keinginan untuk belajar. Mereka lulusan SMA, SMK, hingga perguruan tinggi lokal, tetapi jarang diberi kesempatan untuk bekerja.

Padahal, semangat utama Otsus adalah memberikan afirmasi nyata kepada OAP agar mereka dapat hidup dan berkembang secara mandiri. Afirmasi itu tidak cukup hanya dalam bentuk dana atau program bantuan sosial, tetapi harus diwujudkan dalam bentuk kebijakan ketenagakerjaan yang nyata, mengikat, dan berkeadilan. Orang Papua harus diberi kesempatan bekerja di tanah mereka sendiri. Lebih dari itu, dengan bekerja, mereka belajar dan mengembangkan diri. Inilah esensi pemberdayaan yang sesungguhnya: bukan memberi ikan, tetapi memberi kail dan kesempatan untuk tumbuh.

Karena itu, langkah pertama yang perlu diambil adalah menyusun kebijakan afirmatif yang jelas dan tegas di bidang ketenagakerjaan. Pemerintah daerah memiliki kewenangan besar untuk membuat peraturan daerah khusus (Perdasus) yang mewajibkan semua perusahaan, lembaga, dan tempat usaha yang beroperasi di Papua untuk merekrut tenaga kerja OAP dalam jumlah yang proporsional dan terukur. Misalnya, untuk posisi non-teknis dan dasar, mayoritas tenaga kerja harus berasal dari OAP. Sementara untuk posisi teknis dan manajerial, perusahaan dapat diwajibkan melakukan pelatihan agar dalam jangka waktu tertentu posisi tersebut juga bisa diisi oleh tenaga kerja Papua.

Kebijakan afirmatif ini bukan bentuk diskriminasi terhadap pendatang, melainkan langkah keadilan untuk memperbaiki ketimpangan sejarah yang sudah berlangsung lama. Orang Papua telah terlalu lama berada di pinggir pembangunan. Mereka menyaksikan tanah mereka digarap, sumber daya mereka dieksploitasi, tetapi mereka sendiri tidak ikut menikmati hasilnya. Ketimpangan ini hanya bisa dikoreksi melalui keberpihakan yang nyata dan konsisten.

Selain membuka akses kerja, kebijakan ini juga memiliki fungsi pendidikan dan pemberdayaan. Ketika anak-anak muda Papua direkrut untuk bekerja, mereka tidak hanya mendapat penghasilan, tetapi juga belajar keterampilan baru, memahami dunia kerja, beradaptasi dengan tuntutan profesional, dan membangun kepercayaan diri. Proses bekerja itu sendiri adalah bentuk pemberdayaan yang paling nyata. Setiap pengalaman kerja akan memperluas kemampuan dan membuka peluang karier yang lebih besar di masa depan. Inilah yang tidak akan pernah terjadi jika mereka terus-menerus dipinggirkan dari kesempatan kerja.

Sebaliknya, bila perusahaan terus mendatangkan tenaga kerja dari luar Papua, maka OAP akan semakin tertinggal. Dalam berbagai proyek besar—terutama di sektor pertambangan, infrastruktur, dan perdagangan—ratusan pekerja dari luar daerah didatangkan secara serentak. Hal ini menutup peluang bagi anak-anak muda Papua yang sebenarnya mampu mengisi posisi tersebut. Selain itu, ketika tenaga kerja dari luar mendominasi, perputaran uang dari sektor usaha juga tidak tinggal di Papua. Pendapatan mereka lebih banyak dibawa keluar daerah, sehingga manfaat ekonomi pembangunan tidak banyak dirasakan oleh masyarakat setempat.

Pemerintah daerah harus memastikan kebijakan afirmatif tidak berhenti di atas kertas. Dibutuhkan mekanisme pengawasan dan sanksi yang jelas bagi perusahaan atau tempat usaha yang tidak mematuhi kewajiban merekrut OAP. Sanksi bisa berupa peringatan, denda, pembatasan operasi, bahkan pencabutan izin usaha bila pelanggaran terus dilakukan. Sebaliknya, pemerintah dapat memberi insentif bagi perusahaan yang patuh, seperti kemudahan perizinan atau pengurangan pajak daerah. Dengan cara ini, pelaku usaha akan lebih serius menjalankan kewajiban sosial dan moralnya terhadap masyarakat Papua.

Namun, peluang kerja tidak akan optimal tanpa kesiapan tenaga kerja lokal. Karena itu, pemerintah dan pelaku usaha perlu bekerja sama menyusun program pelatihan kerja yang terarah dan berkelanjutan bagi OAP. Pelatihan ini bisa dilakukan di berbagai bidang seperti teknik, konstruksi, administrasi, perhotelan, perdagangan, logistik, dan lain-lain, sesuai kebutuhan pasar kerja di Papua. Dengan begitu, orang Papua tidak hanya dipekerjakan pada posisi dasar, tetapi juga memiliki peluang berkembang menjadi pekerja terampil dan profesional.

Ketika orang Papua bekerja, mereka tidak sekadar mengisi posisi kerja. Mereka belajar, berkembang, dan membangun masa depan mereka sendiri. Proses ini akan melahirkan lapisan masyarakat Papua yang produktif, mandiri, dan percaya diri. Itulah esensi pemberdayaan sejati: menciptakan manusia Papua yang kuat, bukan bergantung pada bantuan. Memberi kesempatan kerja berarti memberi ruang bagi mereka untuk tumbuh.

Di sisi lain, kebijakan afirmatif juga dapat mengurangi ketegangan sosial antara pendatang dan masyarakat asli. Selama ini, kesenjangan ekonomi antara kedua kelompok sering menjadi sumber kecemburuan sosial. Dengan membuka kesempatan kerja seluas-luasnya bagi OAP, pembangunan ekonomi akan lebih inklusif. Orang Papua akan merasakan manfaat langsung dari kegiatan ekonomi di wilayahnya, bukan sekadar menjadi penonton yang terluka oleh ketimpangan.

Afirmasi ketenagakerjaan untuk OAP adalah langkah strategis untuk memperkuat fondasi sosial dan ekonomi Papua. Ini bukan sekadar urusan perekrutan tenaga kerja, melainkan soal keadilan, kedaulatan, dan pemberdayaan masyarakat lokal. Tempat usaha yang berdiri di atas tanah Papua memiliki tanggung jawab moral untuk melibatkan orang Papua dalam aktivitas ekonominya. Pembangunan yang tidak melibatkan masyarakat lokal bukanlah pembangunan, melainkan bentuk pengasingan di tanah sendiri.

Sudah saatnya pemerintah daerah menegakkan kebijakan ini secara konsisten. Sudah saatnya pelaku usaha menyadari bahwa pembangunan Papua tidak akan kokoh tanpa partisipasi masyarakat aslinya. Dan sudah saatnya anak-anak muda Papua diberi kesempatan untuk bekerja, belajar, dan maju.

Afirmasi ketenagakerjaan bukan kemurahan hati siapa pun. Ini adalah hak. Hak orang Papua untuk membangun hidupnya di tanahnya sendiri. Jika kebijakan ini dijalankan dengan sungguh-sungguh, maka Otsus bukan lagi sekadar janji, tetapi menjadi alat nyata untuk menciptakan kemandirian dan martabat bagi orang asli Papua. Pembangunan sejati hanya akan terjadi ketika Papua dibangun oleh dan untuk orang Papua.