Oleh Laurens Minipko
Pemerhati Sosial Budaya Papua
PERTANYAAN ini terdengar sederhana, tetapi sesungguhnya ia adalah sebuah gugatan. Gugatan terhadap cara negara membayangkan Papua dan gugatan terhadap logika pembangunan yang terus diulang. Plus gugatan atas nasib masyarakat adat yang selalu ditempatkan sebagai biaya sosial dari ambisi nasioanl.
Jika sawit benar-benar jawaban atas krisis pangan dan energi Indonesia, mengapa ekspansinya justru diarahkan ke Papua? Padahal, wilayah dengan hutan primer tersisa, sistem pangan lokal yang hidup, dan sejarah panjang kekerasan structural. Data menunjukkan, masalahnya bukan kekuarangan lahan, melainkan pemilihan ruang yang paling lemah secara politik untuk menolak.
Menurut Pusaka Foundation, terdapat 94 perusahaan sawit yang beroperasi di tanah Papua. Total konsesi lahan menyentuh angka 1,3 juta hektare. Di Merauke saja, misalnya, proyek pangan dan energi telah menghancurkan lebih dari 22.680 hektare hutan alam, memicu konflik sosial dan banjir. Angka-angka ini bukan sekadar statistik; ia menandai hilangnya ruang hidup masyarakat adat.
Riset akademisi Universitas Gadjah Mada bahkan mencatat, ekspansi sawit di Papua telah membentuk apa yang mereka sebut “sistem kemiskinan struktural.” Di wilayah seperti Boven Digoel dan Merauke, Papua Selatan, masyarakat adat kehilangan akses ke dusun sagu dan wilayah berburu.
Ujungnya, orang Papua dipaksa membeli pangan yang sebelumnya mereka peroleh secara bebas dari alam. Dari masyarakat yang berdaulat atas pangan, mereka direduksi menjadi konsumen pasar.
Janji Utopis
Janji kesejahteraan melalui lapangan kerja pun tidak terbukti menyeluruh; sekadar janji utopis. Masih banyak pekerja adat di perkebunan sawit menghadapi kondisi kerja yang rapuh; tanpa kontrak formal, tanpa perlindungan ketenagakerjaan, dengan target panen harian 60-120 kilogram.
Demi upah sekitar Rp 4 juta per bulan, kerap tak sebanding dengan beban kerja. Inilah wajah buruh dalam indsutri yang terus dipromosikan sebagai tulang punggun pembangunan. Masalahnya bukan semata sawit, melainkan logika kolonial yang menyertainya.
Menurut Sawit Watch, hingga 2022 luas perkebunan sawit di Papua telah menyentuh angka 290.837 hektare, dengan 75.308 hektare berada di hutan primer dan kawasan konservasi. Artinya, daya dukung ekologis telah terlampaui bahkan sebelum rencana ekspansi baru diumumkan.
Greenpeace Indonesia menyebut pendekatan ini sebagai cermina “colonial logic”: Papua dipandang sebagai empty land (tanah kosong) yang menunggu diisi proyek negara sembari mengabaikan kedaulatan masyarakat adat atas tanah leluhur mereka. Logika inilah yang kini dilembagakan melalui Astacita dan Proyek Strategi Nasional (PSN).
Di bawah agenda Astacita, yang menjanjikan kedaulatan pangan, energi, dan ekonomi, sawit di Papua diposisikan sebagai solusi strategis. Melalui skema PSN, proyek perkebunan tidak lagi diperdebatkan sebagai pilihan kebijakan, melainkan dipaksakan sebagai keharusan negara.
Status PSN mempercepat perizinan, mempersempit ruang keberatan publik, dan melibatkan aparat keamanan atas nama kepentingan nasional. Di titik ini, Astacita berhenti menjadi visi lalu bermetamorfosa menjadi instrumen kuasa.
Bahasa kedaulatan dalam Astacita diproduksi dari pusat tetapi dibayar mahal di pinggiran. Papua direduksi menjadi ruang produksi biofuel, bukan ruang hidup masyarakat adat.
Sagu, kebun, dan hutan tidak diakui sebagai sistem logika industri dan ekspor. Padahal bagi orang Papua, sagu bukan sebatas pangan, melainkan sistem hidup: ritus, relasi sosial, dan memori kolektif marga, klan, dusun, kampung, dan seterusnya.
PSN bekerja persis seperti yang disebut David Harvey sebagai accumulation by dispossession, pembangunan dijalankan dengan cara merampas. Tanah adat dilepaskan, hutan dibuka, dan masyarakat dipaksa masuk ke relasi upah yang rapuh. Negara hadir bukan sebagai pelindung hak namun penjamin kepastian investasi.
Lebih problematis lagi, PSN secara sistemik menyempitkan demokrasi lokal. Prinsip free, prior, and informed consent (FPIC) direduksi menjadi formalitas administratif. Musyawarah adat berubah menjadi sosialisasi satu arah. Dalam kerangka ini, masyarakat Papua tidak diposisikan sebagai subjek pembangunan, melainkan sebagai hambatan yang harus dikelola, bahkan diamankan.
Dengan demikian, pertanyaan, “sawit, mengapa harus Papua?” menemukan jawabannya sendiri karena Papua kembali diposisikan sebagai zona pengorbanan paling aman secara politik. Tempat proyek besar dapat dijalankan dengan resistensi yang dianggap bisa dikendalikan. Tempat luka sosial dan ekologis dianggap wajar demi stabilitas nasional.
Jika Astacita benar-benar berbicara tentang kedaulatan, pertanyaan mendasar seharusnya dibalik: kedaulatan siapa yang sedang dibangun dan siapa yang harus kehilangan tanah untuk itu?
Selama kedaulatan masyarakat adat tidak diakui, Astacita dan PSN di Papua tak lebih dari kelanjutan kolonialisme dengan bahasa baru: mengganti “ekspansi” dengan “strategis”, “perampasan” dengan “nasional”. Lalu selama itu pula, Papua akan terus dijadikan jawaban atas pertanyaan yang sesungguhnya tak pernah adil sejak awal.










