KETIMPANGAN penegakan hukum di Tanah Papua bukan lagi sekadar anomali; ia telah menjelma menjadi pengkhianatan terang-terangan terhadap prinsip keadilan. Negara tampil dengan wajah ganda: satu wajah melindungi aparat pelaku pelanggaran HAM berat melalui impunitas, sementara wajah lain menghukum tanpa kompromi warga Papua yang dituduh melakukan makar. Inilah potret hukum yang tidak hanya pincang, tetapi secara sadar dipelintir untuk melayani kepentingan kekuasaan.
Daftar pelanggaran HAM berat di Papua bukan rahasia dan bukan pula cerita sepihak. Biak Berdarah 1998, Abepura Berdarah 2000, Wasior 2001, Wamena 2003, hingga Paniai 2014 merupakan rangkaian peristiwa berdarah yang telah diselidiki dan diakui oleh Komnas HAM sebagai pelanggaran HAM berat. Namun pengakuan itu berhenti sebagai dokumen administratif. Negara tahu, negara mencatat, tetapi negara memilih untuk tidak menindaklanjuti secara hukum.
Biak Berdarah memperlihatkan bagaimana aksi damai warga sipil dibalas dengan operasi keamanan yang mematikan. Abepura Berdarah menegaskan pola balas dendam kolektif aparat terhadap warga yang sama sekali tidak terlibat. Penyisiran brutal, penyiksaan, penahanan sewenang-wenang, hingga pembunuhan terjadi secara sistematis. Dua dekade lebih berlalu, namun keadilan tidak pernah datang. Pelaku dari unsur aparat nyaris tidak tersentuh hukum, sementara korban dan keluarga korban dibiarkan memikul trauma tanpa pemulihan yang layak.
Sebaliknya, ketika negara berhadapan dengan dugaan makar, hukum bergerak dengan kecepatan dan ketegasan luar biasa. Aktivis Papua yang mengibarkan simbol politik, menyampaikan pendapat, atau mengekspresikan aspirasi secara damai segera ditangkap dan dijerat pasal-pasal makar. Proses hukum berlangsung cepat: penahanan panjang, persidangan singkat, dan vonis berat. Tidak ada upaya dialog, tidak ada pendekatan keadilan restoratif, dan tidak ada pengakuan atas konteks sejarah panjang kekerasan di Papua.
Standar ganda ini adalah bentuk ketidakadilan yang terang-benderang. Negara yang berani menghukum rakyatnya, tetapi enggan mengadili aparatnya sendiri, adalah negara yang kehilangan keberanian moral. Kedaulatan yang ditegakkan dengan membiarkan pembunuhan warga sipil tanpa pertanggungjawaban bukanlah kedaulatan, melainkan dominasi yang dibungkus hukum.
Lebih jauh, impunitas aparat keamanan di Papua mengirim pesan yang berbahaya: kekerasan negara dapat ditoleransi. Pesan ini menormalisasi pelanggaran HAM, memperpanjang siklus kekerasan, dan menghancurkan kepercayaan rakyat Papua terhadap hukum dan negara. Dalam situasi seperti ini, tuntutan agar rakyat taat hukum terdengar hipokrit dan kehilangan legitimasi.
Kekerasan dalam bentuk apa pun, termasuk oleh kelompok bersenjata, memang harus dipertanggungjawabkan. Namun keadilan tidak boleh bersifat selektif. Negara tidak memiliki dasar moral untuk menuntut kepatuhan hukum jika ia sendiri menolak tunduk pada hukum yang sama. Selama impunitas dibiarkan dan pasal makar terus digunakan sebagai alat represi politik, maka damai di Papua hanya akan menjadi slogan kosong, dan hukum akan terus dikenang sebagai simbol ketidakadilan yang dilembagakan. (Editor)










