Islam: Satu Iman, Seribu Perpecahan

Islam: Satu Iman, Seribu Perpecahan. Gambar ilustrasi: Odiyaiwuu.com

DUNIA Islam hari ini tampak seperti mozaik retak yang sulit direkatkan kembali. Dari Timur Tengah, Afrika Utara, hingga Asia Selatan, negara-negara mayoritas Muslim terus berkutat dalam konflik internal, perebutan kekuasaan, dan polarisasi sosial yang tak kunjung reda. Pola ini bukan kebetulan. Ia berakar pada dinamika panjang di mana agama, kekuasaan, dan tafsir saling bertabrakan dalam sejarah politik Islam.

Sejak wafatnya Nabi Muhammad, umat tidak pernah memiliki konsensus tunggal tentang siapa yang paling sah memimpin. Konflik politik pertama—perebutan kepemimpinan antara keluarga Nabi dan elite Quraisy—melahirkan pembelahan Sunni–Syiah yang bertahan lebih dari 14 abad. Perpecahan awal ini bukan sekadar kesalahpahaman teologis, tetapi perebutan otoritas atas kebenaran. Ketika kebenaran dipertaruhkan, umat pun terbelah. Dan pola ini terus bergema dalam politik negara-negara Islam modern.

Tidak seperti agama lain yang memiliki struktur otoritas tunggal, Islam memuat ruang tafsir yang sangat luas tanpa pusat kendali yang final. Hasilnya: setiap tokoh, kelompok, atau negara bisa mengklaim diri sebagai penjaga Islam paling sah. Negara menciptakan ulama istana untuk melegitimasi kekuasaan. Kelompok oposisi menciptakan ulama tandingan untuk menggugatnya. Faksi ekstremis mengambil potongan ayat untuk membenarkan kekerasan. Pemerintah menggunakan ayat lain untuk menertibkan rakyat. Satu kitab, tetapi dipakai oleh banyak tangan untuk tujuan yang saling bertolak belakang.

Situasi ini melahirkan tradisi politik yang penuh kecurigaan. Dalam banyak negara Muslim, lawan politik bukan sekadar kompetitor, tetapi dianggap ancaman moral yang harus dibungkam demi “kesucian negara.” Ketika kekuasaan berlindung di balik teks suci, konflik tidak lagi dipahami sebagai pertarungan kebijakan, melainkan pertarungan identitas eksistensial. Perbedaan kecil berubah menjadi jurang besar.

Pluralitas mazhab dan tradisi fikih, yang semestinya menjadi kekayaan intelektual, malah menjadi sumber fragmentasi ketika negara tidak mampu mengelolanya secara inklusif. Di banyak negara, mazhab tertentu dipaksakan sebagai standar negara, sementara yang lain disingkirkan. Di titik inilah, agama berubah dari sumber etika menjadi alat kontrol politik. Negara-negara Islam modern gagal mengembangkan sistem yang mampu menampung keragaman internal umat sendiri.

Geopolitik memperkeruh semuanya. Rivalitas Arab Saudi–Iran adalah contoh paling telanjang: dua negara memperebutkan siapa yang paling sah sebagai pusat dunia Islam. Di balik propaganda teologis, yang terjadi adalah perang perebutan pengaruh. Yaman, Suriah, Irak, Lebanon — semuanya menjadi panggung perpanjangan konflik dua imperium modern ini. Di kawasan lain, Turki, Mesir, Qatar, dan UEA turut bermain dalam pertarungan ideologi politik Islam versi masing-masing.

Maka, pertanyaan tajamnya bukan lagi mengapa dunia Islam terpecah, tetapi apa mungkin ia bersatu, selama legitimasi keagamaan terus dijadikan senjata politik, tafsir agama digunakan untuk menyerang lawan, dan sejarah memelihara budaya perebutan otoritas yang tak pernah selesai?

Selama agama dijadikan medan perebutan kekuasaan, bukan landasan etika publik, keterpecahan internal akan tetap menjadi wajah abadi negara-negara mayoritas Muslim. (Editor)