OPINI  

Indonesiaku Kapan Bisa Akur?

Kasdin Sihotang, Dosen Filsafat Moral di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta. Foto: Istimewa

Oleh Kasdin Sihotang

Dosen Filsafat Moral di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta

JUDUL artikel di atas terinspirasi dari ungkapan Rodney King, seorang laki-laki berkulit hitam yang mendapat perlakuan tidak manusiawi di Los Angeles tahun 1991. “Can we all get along?” begitulah pertanyaan retoris Rodney King. Pertanyaan Rodney King yang dikutip oleh Jonathan Haidt, seorang psikolog, nampaknya sangat tepat diangkat dalam merespon berbagai fenomena sosial akhir-akhir ini.

Jika kita mencermati tulisan-tulisan di media sosial maupun tampilan kalangan tertentu di sejumlah acara televisi, ada satu hal yang paling menonjol, yakni masyarakat terbelah dan hidup dengan bahasa yang kurang positif. Secara umum masyarakat sekarang terbelah dalam dua kubu, yakni kubu yang berada di pihak Tiroris (Tifa, Roy Suryo, dan Rismon), dan kubu yang melawan kelompok Tiroris itu.

Kelompok ini pertama sesungguhnya jumlah tidak sebesar kelompok antagonisnya. Kendati kecil, kelompok ini lebih menjadi konsumnsi media sosial dan media televisi tertentu yang tentunya pembaca dapat menyimpulkan media itu berpihak ke mana.

Kubu yang pertama selalu memandang sinis bahkan buruk pemimpin yang sebelumnya berkuasa, yakni Presiden ke-7, Joko Widodo (Jokowi) dan keluarganya. Apapun yang dilakukan oleh Jokowi, termasuk yang dilakukan oleh Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia, dipandang sebagai hal buruk di mata kelompok itu.

Tidak jarang yang dilakukan kelompok kecil ini sudah melebihi ambang batas kewajaran dan kepatutan, terlebih-lebih jika dikaitkan dengan nilai-nilai Pancasila dan tradisi sebagai bangsa yang beradab dan berbudi luhur, yang menjadi penciri nilai keindonesiaan (tata laku sopan, berbudi luhur dan menghargai nilai-nilai kemanusiaan serta tepo seliro), seperti ditegaskan Wisnuboroto Baron dkk dalam Nilai Keindonesiaan:Tiada Bangsa Besar Tanpa Budaya Kokoh (2017).

Kelompok berseberangan tidak tinggal diam atas gelagak dan tindak laku tiroris dan pengikutnya. Tidak jarang kelompok ini mengkaunter dengan diksi yang tidak jauh berbeda dengan diksi tiroris dan para pengikutnya. Disayangkan, sikap antagonisme sosial itu berlangsung begitu lama, dan paling menyedihkan menyita perhatian bersama hingga kini, seolah-olah tidak ada hal lain lagi yang ingin dibicarakan.

Kesehatan Masyarakat Terganggu

Dari sisi tata kesehatan hidup bermasyarakat seperti dipotret oleh Erich Fromm dalam The Sane Society (1997) dan dipertegas oleh Paul Leonardi dalam Digital Exhaustion (2025) minimal ada tiga dampak negatif yang ditimbulkan oleh situasi dikotomi sosial demikian. Dampak pertama adalah masyarakat jadi tidak sehat.

Erich Fromm mengidentifikasi dalam bukunya yang sudah disebutkan bahwa satu ciri masyarakat yang tidak sehat adalah ketika di sana bertebaran situasi psikologis yang tidak sehat. Situasi psikologis yang tidak sehat itu tergambar melalui sikap tidak percaya satu sama lain, saling menjatuhkan dan kurang mampu melihat hal yang positif di dalam diri orang lain.

Di era digital ini, Paul Leonardi mempertegas apa yang dikatakan oleh Erich Fromm. Menurut Leonardi, situasi demikian memiliki dampak yang tidak sedikit bagi tiga hal, yakni berkurangnya perhatian pada hal-hal yang positif, matinya penalaran, dan tumbuhnya emosi yang tidak sehat di masyarakat.

Leonardi menyatakan bahwa perang kata-kata buruk di media digital membuat perhatian orang terkuras oleh hal-hal yang negatif, lalu lupa atau abai pada hal-hal yang positif. Itu pula yang kita saksikan di media sosial belakangan ini yang sedikit banyak mempengaruhi bagaimana kehidupan berbangsa dan bernegara.

Tidak berhenti di situ. Ciri masyarakat yang tidak sehat itu ditandai dengan hampir matinya penalaran di ruang publik. Paul Leonardi menyatakan bahwa tumbuh suburnya kata-kata yang kurang pantas di ruang publik menandakan sebuah fenomena bahwa manusia sekarang sudah kehilangan penalaran yang sehat.

Ia tidak lagi dikuasai oleh rasionalitasnya, tetapi oleh naluri instingtualnya menjatuhkan dan mengalahkan orang lain dengan segala cara. Bahkan upaya itu dilakukan terus menerus hingga tujuannya tercapai, yakni menjatuhkan lawan.

Situasi kita dewasa ini persis seperti yang digaungkan oleh Thomas Hobbes dengan semboyan “homo homini lupus”, artinya satu sama lain melihat orang lain yang harus dimangsa, persis seperti seekor serigala yang memandang serigala yang lain sebagai musuh yang harus ditaklukkan.

Leonardi mengamati kondisi demikian tidak terlepas dari munculnya kejiwaan yang tidak sehat atau situasi psikologis yang sakit di masyarakat. Emosi destruktif dibangkitkan. Orang tidak lagi memberi perhatian pada apa yang disebutkan oleh Erich Fromm dengan kata “biofilia”, berpihak pada kehidupan, tetapi “nekrofilia” berpihak pada kematian, yakni kehancuran orang lain.

Sekali lagi menurut Leonardi, situasi demikian merupakan sesuatu yang melelahkan, sebagai akibat perang bahasa digital.

Gadaikan Moralitas

Dampak kedua adalah mudahnya orang berpaling dari prinsip-prinsip moral dan masuk dalam perangkap immoralitas.  Fromm menggambarkan bahwa masyarakat adalah kuat dan sehat ketika di dalamnya prinsip-prinsip moral dihidup secara saklak dan ketat oleh masyarakat.

Prinsip-prinsip moral itu justru menjadi lem pengikat antara satu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat yang lain. Prinsip utamanya adalah menghargai kehidupan manusia sebagai yang paling utama.

Meminjam terminologi Immanuel Kant, di sana setiap orang memperlihatkan sikap saling menghargai dan mengangkat harkat dan martabat setiap individu. Di sana hadir dan terlaksana imperatif kategoris.

Manakala kita melihat fenomena sosial akhir-akhir ini, nampaknya bukan itu yang terjadi, malahan sebaliknya, antitesisnya yang setiap hari disajikan ke masyarakat di ruang publik. Bangsa ini seolah-olah kehilangan jati dirinya sebagai bangsa yang terkenal tata kramanya dan sopan santunnya.

Nilai-nilai ketimurannya terkubur dalam oleh kepentingan. Tokoh-tokoh yang dulunya memiliki peran besar dan role model juga begitu mudah berpaling dari prinsip-prinsip etis kebangsaan dan masuk dalam perangkap sentimentalisme, termasuk mereka yang mengenyam pendidikan tinggi bahkan akademisi dan bergelar profesor. Kehadirannya sebagai penyejuk bangsa dan pemberi terang kebenaran justru hilang ditelan oleh kepentingan.

Potret bangsa kita sekarang persis seperti apa yang dikatakan oleh Jonathan Haidt, seorang pemerhati dan pengamat psikologi moral bahwa kalangan intelektual bangsa ini lebih cenderung berpihak pada kepentingan politik kelompok daripada kepentingan kemanusiaan.

Kata dan laku mereka lebih menghakimi dan tidak toleran terhadap orang lain. “Our righteous minds made it possible for human beings to produce large cooperative groups tribes, and nations without the glue of kindship. But at the same time, our righteous minds guarantee that our cooperative groups will always be cursed bad moralistic strive” begitu tandas Jonathan Haidt dalam The Righteous Mind: Why Good People Are Divided by Politics and Religion (2019: xiv).

Situasi demikian diamati oleh Haidt sebagai indikasi bahwa manusia sekarang begitu mudah terbelah dan tergoncang oleh kepentingan politik, membenarkan adagium lama bahwa “tidak ada yang abadi, selain kepentingan”.

Mereka abai akan moralitas, padahal moralitas itu seyogianya mengikat nilai kehidupan manusia. Mereka juga sangkal sisi sosialitas manusia dan kemampuan untuk menghargai kebaikan yang ada dalam diri orang lain. Yang mereka akui hanyalah kepentingan dan ideologi kelompoknya.

Seolah-olah kelompoknyalah yang paling benar, dan yang lain tidak memiliki kebenaran, sebaliknya menyingkirkan kebenaran bahwa dalam diri orang lain itu ada kebaikan, seperti dikatakan oleh John Locke dengan istilah tabularasa.

Namun dominasi kepentingan membuat hati manusia jadi hitam pekat, gelap tak tertembus warna terang lainnya. Kehitaman yang menyirami dinding batinnya membuat manusia tidak mampu melihat hal yang baik dalam diri orang lain, dan dalam dirinya sendiri.

Dalam diri manusia seyogianya ada prinsip yang lebih tinggi, yakni moralitas dan bertindak adil daripada merusak harkat dan martabat kemanusiaan orang lain. Merujuk pendapat Isaiah Berlin, Jonathan Haidt menyatakan bahwa manusia itu adalah pribadi yang dapat mengerti apa yang dilakukannya dan jeli atas lingkungan sosialnya. Itulah pemahaman kemanusiaan yang sesungguhnya, karena ia memiliki akal budi dan hati nurani.

Lupa Kekinian dan Masa Depan

Tanda ketiga adalah condong berorientasi pada masa lalu dan melupakan masa kini dan masa depan. Masyarakat yang sakit seperti diindikasikan oleh Fromm adalah ketika masyarakat selalu hanya menoleh ke belakang, ke masa lalunya dan tidak berani menatap jauh ke depan.

Tidak bisa dimungkiri bahwa masa lalu adalah bagian momen waktu yang dimiliki oleh manusia dalam membangun sejarahnya. Namun masa lalu itu tidak akan berarti apa-apa kalau ia terus dilihat sebagai masa lalu belaka, tanpa menempatkannya di masa kini dan masa yang akan datang.

Artinya apa? Jangan menempatkan masa kini dan masa yang akan datang dalam konteks masa lalu, tetapi kontekskanlah masa lalu dengan masa kini dan untuk masa yang akan datang. Dengan penempatan itulah orang meraih kemajuan.

Yang tentunya bisa membangun untuk masa kini dan masa yang akan datang adalah hal yang positif di masa lalu untuk ditempatkan di masa kini dan masa yang akan datang.

Konkretnya, tidak tepat lagi mengungkit-ungkit kekeliruan di masa lalu, bahkan menyita perhatian untuk itu, lalu lupa menjalani masa kini dan masa yang akan datang.

Orang demikian seperti dikatakan oleh Martin Heidegger dalam Being and Time (1967) justru menghidupi suatu dunia yang asing, bahkan di luar dunia yang sebenarnya. Apalagi dalam melihat masa lalu itu ia dikobarkan oleh semangat kebencian dan dengki yang akut.

Orang seperti ini mengingkari hakikat manusia sebagai “Mitsein in der Welt”, ada bersama di dunia. Ia yang tidak mengakui kehadiran orang lain, apalagi menganggapnya sebagai musuh belaka adalah indikasi dari orang yang tidak sehat. Apa yang yang ditegaskan oleh Heidegger, nampaknya itulah yang sedang menghantui bangsa ini.

Sinergitas untuk Indonesia Emas

Bangsa ini merancang satu hajatan besar menyambut pesta emas kemerdekaan Indonesia pada tahun 2045 yang dikenal dengan Indonesia emas. Untuk sampai ke sana tidak terlalu lama lagi. Tinggal dua puluh tahun. Namun dari sisi kebangsaan waktu demikian tentunya sangat singkat.

Tidak ada cara lain untuk membuat peristiwa yang penting tersebut bermakna dan berdampak positif selain dari menciptakan iklim hidup berbangsa dan bernegara yang sehat. Ini berarti apa? Perlu partisipasi setiap elemen bangsa untuk membuat Indonesia emas itu sukses. Karena itu tanggung jawab prospektif setiap elemen bangsa perlu dibangkitkan secara terus menerus.

Terkait dengan itu sinergitas antara pemerintah dan masyarakat terus dibangun. Dari pemerintah perlu dirancang program-program yang mengembangkan kreativitas dan inovasi masyarakat secara berkelanjutan. Artinya pemberdayaan sosial secara jorjoran dengan menggerakkan kekuatan yang ada di masyarakat.

Jadi paritisipasi masyarakat harus dibangkitkan dalam upaya merajut masa depan Indonesia yang berkemanusiaan dan berkeadilan berdasarkan nilai-nilai etis Pancasila dan sejalan dengan budaya luhur bangsa. Karena itu ada baiknya pemerintah secara persuasif mengeleminir perilaku-perilaku yang mengganggu kehidupan berbangsa dan bernegara.

Jika tidak mampan baru mencari cara tegas dengan tetap mengedepankan keadilan dan kemanusiaan. Konkretnya penegakan hukum secara berkeadilan sangatlah diperlukan demi menyongsong Indonesia emas yang bermartabat.

Peran masyarakat secara keseluruhan tentunya juga sangat membantu untuk terwujudnya Indonesia Emas itu. Karena itu sudah saatnya pola pikir negatif dihentikan. Dikotomi yang sedang terjadi di masyarakat sudah harus diubah menjadi pola pikir koordinatif dan sinergis antara elemen bangsa.

Membangkitkan kebencian dan permusuhan adalah hal yang tidak sejalan dengan nilai-nilai religius manapun dan tentu juga nilai-nilai budaya bangsa, lebih-lebih membuat bangsa ini stagnan.

Dengan format pernyataan afirmatif ungkapan Rodney King, kita bisa katakan “We can all get along” (kita semua dapat akur”). Pernyataan afirmatif ini perlu digaungkan, mengingat bangsa ini adalah bangsa yang religius dan berbudaya luhur.

Bangsa yang maju adalah bangsa yang mengembangkan pemikiran positif. “The Power of Positive thinking” (1952) seperti dituliskan oleh Norman Vincent Peale, seyogianya perlu disuarakan di ruang publik, karena kesehatan masyarakat dan titik berangkat kemajuan ada di sikap positif itu. Semoga.