Massa Demo di Gedung DPRK Mimika Tuntut Tutup PT Freeport dan Negara Menghentikan Kekerasan

Ratusan massa saat berunjuk rasa di halaman Kantor DPRK Mimika, Provinsi Papua Tengah, Senin (10/11). Massa menyoroti kekerasan terhadap warga sipil dan menuntut PT Freeport Indonesia, anak usaha raksasa tambang dunia Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc, yang berbasis di Phoenix, Arizona, Amerika Serikat ditutup. Foto: Istimewa

TIMIKA, ODIYAIWUU.com — Ratusan massa yang terhimpun dalam Forum Independen Mahasiswa West Papua Komite Pimpinan Kota Timika (FIMWP-KPK), Senin (10/11) menggelar aksi dem damai di halaman Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Mimika, Jalan Cenderawasih, Timika, Provinsi Papua Tengah.

Dalam unjuk rasa itu massa membawa sejumlah tuntutan penting yang menyoroti kekerasan terhadap warga sipil dan keberadaan perusahaan tambang PT Freeport Indonesia, anak usaha raksasa tambang dunia Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc, yang berbasis di Phoenix, Arizona, Amerika Serikat, yang kini beroperasi di atas tanah ulayat suku Amungme dan Kamoro, Papua Tengah.

Massa yang terdiri dari mahasiswa dan warga ini menuntut pemerintah menghentikan seluruh bentuk kekerasan dan operasi militer di wilayah konflik Papua seperti Kabupaten Intan Jaya, Puncak, Puncak Jaya, Maybrat, Pegunungan Bintang, Yahukimo serta daerah lainnya yang hingga kini masih dilanda konflik kekerasan.

Selain itu, massa juga mendesak agar PT Freeport Indonesia segera ditutup dan hak kedaulatan rakyat Amungsa atas tanah adatnya dikembalikan.

Adapun sepuluh tuntutan demonstran dalam aksi itu. Pertama, menghentikan kekerasan dan operasi militer terhadap masyarakat sipil di wilayah konflik seperti Intan Jaya, Maybrat, Pegunungan Bintang, Yahukimo, dan daerah lain di tanah Papua.

Kedua, menghentikan seluruh Proyek Strategis Nasional (PSN) di Merauke dan Kota Sorong yang dinilai mengancam kehidupan masyarakat adat Marind dan Moi. Ketiga, menutup semua perusahaan ilegal yang beroperasi di Tanah Papua dan berpotensi memicu konflik.

Keempat, mengusut tuntas seluruh kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang telah dan sedang terjadi di tanah Papua. Kelima, menutup PT Freeport Indonesia serta mengembalikan hak kedaulatan rakyat Amungsa atas tanahnya.

Keenam, menghentikan operasi militer berskala besar dan menarik seluruh pasukan non-organik dari tanah Papua. Ketujuh, memulangkan seluruh pengungsi sipil dari Nduga, Intan Jaya, Pegunungan Bintang, Maybrat, Yahukimo, dan Teluk Bintuni.

Kedelapan, mengembalikan seluruh pasukan militer ke barak karena dinilai terlibat dalam kejahatan kemanusiaan. Kesembilan, mengedepankan pendekatan humanis dan dialog sebagai jalan damai penyelesaian konflik berkepanjangan di tanah Papua.

Kesepuluh, memberikan hak penentuan nasib sendiri (right to self-determination) sebagai solusi demokratis bagi rakyat Papua.

Koordinator Lapangan (Korlap) FIMWP-KPK Freedom Kobogau dalam unjuk rasa itu menegaskan, ketidakadilan di atas tanah Papua semakin meningkat, sehingga pihaknya merasa perlu bersuara demi kelangsungan hidup masyarakat adat.

“Saat ini masyarakat Amungme, Kamoro, dan orang asli Papua lainnya di Mimika terpinggirkan. Kami yang bersuara hari ini adalah mereka yang tersisa untuk mempertahankan tanah adat kami,” ujar Freedom Kobogau.

Sementara itu Ketua DPRK Mimika Primus Natikapereyau menyatakan, selaku wakil rakyat ia Bersama rekan-rekan anggota DPRK Mimika menerima dan akan meneruskan aspirasi para demonstran ke instansi terkait.

“Kami menerima aspirasi ini dan akan meneruskannya kepada pihak-pihak yang berwenang. Kami juga bagian dari masyarakat, sehingga kami berharap upaya bersama dapat segera ditempuh untuk menemukan solusi,” kata Primus.

Usai menyampaikan aspirasi dan melakukan orasi, massa aksi membubarkan diri secara tertib. Situasi keamanan selama kegiatan berlangsung aman dan kondusif.

Keuskupan Timika melalui Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP), Selasa (22/7 2025) menggelar konferensi pers terkait situasi kemanusiaan menyusul konflik bersenjata yang melibatkan aparat TNI-Polri dan TPNPB OPM di wilayah pelayanan pastoral Keuskupan Timika.

“Kami menyampaikan keprihatinan mendalam atas situasi kemanusiaan yang semakin hari semakin memburuk di tanah Papua, khususnya terkait dengan konflik perang yang terus berlangsung antara aparat keamanan negara dan pejuang Papua merdeka di sejumlah wilayah pastoral Keuskupan Timika,” ujar Saul Wanimbo dan Rudolf Kambayong, perwakilan Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Timika dari Timika, Papua Tengah, Rabu (23/7).

Saul Wanimbo mengatakan, hingga saat ini eskalasi konflik bersenjata atau perang semakin meningkat, mematikan, dan mengancam kehidupan masyarakat sipil di tanah Papua, khususnya di wilayah pastoral Keuskupan Timika seperti di Kabupaten Intan Jaya, Puncak, dan sesekali di Kabupaten Paniai, Dogiyai, dan Deiyai.

“Semakin meningkatnya eskalasi konflik perang bukan saja karena operasi militer, perang dengan strategi ‘membumihanguskan’ perkampungan warga sipil. Eskalasi itu terutama juga karena aparat keamanan menggunakan persenjataan modern dan canggih dengan daya ledak tinggi dengan jangkauan lebih luas,” kata Saul Wanimbo.

Saul menambahkan, penggunaan persenjataan modern dimaksud seperti pesawat tempur, mortir, bom, dan drone. Persenjataan modern itu tidak hanya menyerang anggota TPNPB OPM tetapi menyasar pemukiman dan ruang-ruang sipil seperti perkampungan, sekolah, rumah sakit, Puskesmas, gereja dan rumah petugas  gereja, kebun, kandang ternak warga, dan tempat-tempat lain dimana masyarakat sipil beraktivitas sehingga mereka benar-benar masyarakat sipil terperangkap di tengah konflik perang.

Saul mencontohkan, baru-baru ini serangan terjadi di Kampung Tuanggi I, Distrik Gome Utara, Kabupaten Puncak. Sedangkan pada Senin (12/5) terjadi serangan terhadap empat warga sipil di Kampung Titigi, Distrik Sugapa, Intan Jaya, yang berujung salah seorang warga sipil dengan gangguan jiwa (ODGJ) meninggal.

“Perang antara TNI-Polri melawan TPNPB OPM sudah cukup lama dan memakan banyak korban jiwa. Korban bukan hanya pihak yang berkonflik tetapi juga warga sipil. Ribuan warga sipil ketakutan lalu lari meninggalkan rumah, kebun, ternak piaraan dan pekerjaan sehari-hari mencari tempat aman untuk mengungsi,” ujar Saul.

Saul menjelaskan, hingga kini banyak warga sipil berada di tempat pengungsian, baik yang mengungsi di kabupaten yang dilanda konflik atau ke kabupaten-kabupaten tetangga yang dianggap lebih menjamin keselamatan dan keamanannya. Data yang diperoleh Keuskupan Timika menunjukkan, jumlah pengungsi dari Puncak sebanyak 4.469 jiwa.

“Ribuan warga yang mengungsi ini tersebar di beberapa distrik seperti Distrik Gome, Gome Utara, Ilaga, Omukia, Oneri, Pogoma, Sinak, dan Distrik Yugumoak. Sedangkan pengungsi di Intan Jaya sebanyak 1.231 jiwa tersebar di Kampung Sugapa Lama, Desa Hitadipa, Kampung Janamba, Desa Sanaba, Kampung Jalinggapa dan Kampung Titigi,” kata Saul.

Kabar lebih miris, akibat kondisi bersenjata tersebut tercatat sekitar 216 anak di Puncak tidak mengikuti kegiatan belajar di kelas. Mereka terdiri dari 109 anak sekolah dasar (SD) dan 107 anak tingkat SMP. Jumlah itu, belum terhitung anak korban pengungsi yang telah keluar dari wilayah konflik yang mencari perlindungan keamanan seperti di Kabupaten Nabire dan Mimika.

Sementara itu, di saat bersamaan pasukan TNI-Polri terus dikirim ke daerah-daerah konflik di wilayah pelayanan pastoral Keuskupan Timika dengan membuka pos-pos baru di tengah pemukiman warga yang tersisa, turut menimbulkan teror dan trauma mendalam bagi warga sipil dan pengungsi yang sudah semakin tidak berdaya.

“Sebagai Gereja yang selalu berjalan bersama dan bergumul bersama umat tentang iman dan situasinya, menyaksikan konflik, penderitaan umat beriman dengan ‘budaya kematian’ yang tidak beradab ini, kami tegaskan bahwa selain isu politik Papua merdeka, investasi pertambangan juga menjadi latar belakang lahirnya konflik berkepanjangan hingga saat ini,” kata Saul.

Padahal, investasi akan membawa dampak lebih luas seperti laju deforestasi dan degradasi kualitas lingkungan hidup mengingat hampir pasti terjadi pembabatan hutan, rusaknya ekosistem dan menambah buruknya iklim. Bahkan lebih lagi, masyarakat pemilik hak ulayat dipastikan akan kehilangan hak-hak dasar mereka terutama hak hidup di atas tanah leluhurnya.

Dalam konferensi pers tersebut, pihak Keuskupan Timika menyampaikan sejumlah hal penting kepada pemerintah dan pihak-pihak yang berkonflik di wilayah pastoral Keuskupan Timika.

Pertama, kepada aparat keamanan dan pihak TPNPB OPM yang mengangkat senjata untuk segera melakukan jeda kemanusiaan, meletakkan senjata, menciptakan zona tanpa perang demi adanya pertolongan kemanusiaan bagi masyarakat sipil yang mengungsi di berbagai tempat.

Kedua, agar negara menjamin perlindungan hak-hak dasar masyarakat sipil, khususnya para pengungsi akibat konflik sesuai dengan amanat konstitusi  dan prinsip-prinsip kemanusiaan.

Ketiga, kepada aparat keamanan dan TPNPB OPM agar menghentikan pertikaian di perkampungan warga atau dekat dengan pemukiman warga sipil dan menjamin perlindungannya sesuai dengan hukum Humaniter Internasional  dan UU TNI-Polri, yakni UU TNI Nomor 34 Tahun 2004 dan UU Polri Nomor 2 Tahun 2002.

Keempat, kepada aparat keamanan agar menghentikan kebijakan militeristik terhadap warga sipil di kamp pengungsian, termasuk pelarangan berkebun dan wajib lapor yang mengekang kebebasan para pengungsi. Karena kebijakan seperti ini mengancam ketahanan pangan dan keberlangsungan hidup para pengungsi yang saat ini hidup penuh keterbatasan sandang dan pangan.

Kelima, agar negara segera melakukan jeda investasi di seluruh Tanah Papua, meninjau kembali proses-proses dengan masyarakat pemilik hak ulayat, meninjau kembali semua izin-izin eksploitasi sumber daya alam yang telah dikeluarkan kepada investor yang berpotensi merusak alam dan menghancurkan sumber penghidupan masyarakat pribumi Papua.

Keenam, kepada pemerintah pusat, provinsi, dan daerah agar sungguh-sungguh hadir dan menjalankan fungsi pelayanan publik secara maksimal kepada semua warga masyarakat dan secara khusus kepada para pengungsi, termasuk penyediaan bantuan kemanusiaan dan pemulihan sosial.

Ketujuh, kepada pemerintah mulai dari pusat hingga daerah, pihak TPNPB OPM, TNI-Polri agar bersama-sama berupaya mencari pendekatan penyelesaian konflik yang lebih beradab, bermartabat, dan manusiawi serta kepada semua pihak harus bersedia berdialog melalui mediasi pihak ketiga yang netral.

“Kami Gereja Katolik Keuskupan Timika percaya, dengan kemauan baik negara dan semua pihak terkait, situasi kemanusiaan di tanah Papua khususnya di Papua Tengah yang terus memburuk dan secara khusus di Intan Jaya dan Puncak dapat dipulihkan. Semoga Tuhan Yang Maha Esa membantu dan memberkati upaya-upaya kita bersama ke depan,” ujar Saul. (*)