WAMENA, ODIYAIWUU.com — Sejumlah elemen organisasi kemasyarakatan pemuda (OKP) di Provinsi Papua Pegunungan mengecam tindakan pembakaran mahkota Cenderawasih milik warga Papua yang dilakukan pihak Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua di Jayapura beberapa waktu lalu.
Dalam aksi reflektif yang digelar di Wamena, kota Provinsi Papua Pegunungan, Senin (28/10), elemen OKP menilai tindakan pemkabaran tersebut sebagai bentuk kekerasan budaya sekaligus upaya sistematis untuk menghapus simbol identitas orang asli Papua.
Elemen OKP tersebut terdiri dari Dewan Pimpinan Daerah KNPI Papua Pegunungan, Pemuda Adat Papua Pegunungan, dan kelompok Cipayung. Dalam kesempatan itu, berbagai elemen tersebut menyerahkan pernyataan sikap, rekomendasi, dan draf usulan Rancangan Peraturan Daerah Khusus (Ranperdasus) tentang Perlindungan Satwa Endemik, Aksesoris, dan Simbol-Simbol Budaya Papua kepada Majelis Rakyat Papua (MRP) Papua Pegunungan.
Ketua DPD KNPI Papua Pegunungan Dolpinus Weya, A.Md.Sos mengatakan, pembakaran mahkota Cenderawasih sebagai tindakan yang melukai martabat orang Papua karena mahkota cenderawasih bukan sekadar hiasan.
“Mahkota Cenderawasih itu simbol kehormatan, kebijaksanaan, dan spiritualitas masyarakat adat. Saat dibakar, itu berarti identitas dan martabat kami juga ikut dibakar,” ujar Dolpinus melalui keterangan tertulis dari Wamena, Jayawijaya, Papua Pegunungan, Selasa (28/10).
Dolpinus menilai, tindakan BBKSDA Papua dengan dalih penegakan Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam justru menunjukkan ketimpangan hukum.
“Rakyat kecil ditekan atas nama hukum konservasi, tetapi korporasi perusak hutan dibiarkan. Ini bukti negara masih menutup mata terhadap ketidakadilan ekologis di Papua,” kata Dolpinus lebih lanjut.
Ketua Pemuda Adat Papua Pegunungan Dines Muni, SIP, M.Si menegaskan, pembakaran mahkota Cenderawasih merupakan simbol nyata dari genosida kultural terhadap orang Papua.
Pembakaran itu, kata Dines, bukan pelanggaran biasa tetapi kejahatan budaya yang dilegitimasi oleh regulasi negara. Pembakaran simbol budaya berarti menghapus akar eksistensi masyarakat adat.
“Bentuk kolonialisasi modern kini muncul dalam wajah baru. Bukan lagi dengan senjata tetapi melalui regulasi dan kebijakan yang merusak tatanan sosial dan kebudayaan local,” ujar Dines.
Ketika simbol budaya dibakar, katanya, ingatan kolektif masyarakat juga ikut musnah. Itulah cara paling halus untuk melikuidasi sebuah bangsa.
Wakil Ketua III KNPI Papua Pegunungan Leo Himan, S.Si juga menyoroti kontradiksi antara kebijakan konservasi dan kebijakan ekonomi pemerintah. Negara melarang masyarakat lokal berburu satwa endemik, tapi di sisi lain memberi izin bagi perusahaan tambang dan perkebunan besar yang justru menghancurkan habitat satwa itu. Ini paradoks hukum yang merusak kepercayaan publik.
“Akar masalah bukan pada rakyat kecil, melainkan pada kebijakan negara yang membuka ruang bagi eksploitasi sumber daya alam tanpa memperhatikan keberlanjutan lingkungan,” kata Leo.
Leo menegaskan, yang merusak hutan dan satwa bukan masyarakat adat, tetapi proyek strategis dan investasi besar yang dibiarkan merajalela.
Sekretaris KNPI Papua Pegunungan Yulans FY Wenda menambahkan, hasil refleksi dan konsolidasi pemuda dituangkan dalam tiga dokumen penting berupa pernyataan sikap, rekomendasi, dan draf usulan Raperdasus terkait perlindungan satwa endemik dan simbol-simbol budaya Papua.
“Kami menyerahkan dokumen ini kepada MRP Papua Pegunungan agar menjadi dasar moral dan hukum untuk membangun kebijakan perlindungan budaya dan lingkungan yang berkeadilan,” ujar Yulans.
Yulans menyebut tiga poin utama dalam rekomendasi. Pertama, melindungi satwa langka, hutan, tanah, hak ulayat masyarakat adat dan perlindungan terhadap atribut dan simbol-simbol kebudayaan masyarakat Papua Pegunungan.
Kedua, mendesak pemerintah pusat memberikan kewenangan lebih besar kepada pemerintah provinsi dalam mengatur izin investasi dan konservasi.
Ketiga, menuntut penegakan hukum terhadap pelaku pembakaran simbol budaya agar menjadi efek moral, sosial, dan hukum bagi lembaga negara.
Menurut Yulans, tindakan pembakaran simbol budaya tidak boleh dianggap sepele. Ini persoalan moral dan eksistensi bangsa.
Gerakan kolektif elemen OKP di Papua Pegunungan menjadi penanda munculnya kesadaran baru di kalangan generasi muda adat terhadap pentingnya perlindungan nilai-nilai budaya dan ekologi.
Pasalnya, Cenderawasih bukan sekadar burung melainkan lambang kehidupan orang Papua. Melindungi burung endemik itu berarti menjaga jantung budaya dan masa depan orang asli Papua.
Elemen OKP juga menegaskan, perlindungan terhadap simbol budaya harus menjadi prioritas negara dan lembaga MRP dan DPR kabupaten serta provinsi di seluruh tanah Papua dalam menjaga martabat dan keberlanjutan kebudayaan orang asli Papua. (*)


 
									







