Oleh: Helga Maria Udam
(Warga Kampung Sawoi, Distrik Kemtuk Gresi, Kabupaten Jayapura, Papua)
DI TANAH ini, di bawah langit biru dan di antara gunung serta laut yang kaya, bangsa Papua sedang menapaki satu babak sejarah yang sangat penting. Ini bukan lagi masa diam, bukan masa sekadar menunggu keajaiban turun dari langit. Ini adalah masa bangkit. Masa ketika bangsa ini mulai melangkah dengan keyakinan, menatap masa depan dengan mata sendiri, dan memegang arah hidupnya dengan tangan sendiri. Api yang dulu hanya berupa janji, kini mulai menyala menjadi kenyataan.
Satu abad yang lalu, pada 25 Oktober 1925, I.S. Kijne berdiri di atas sebongkah batu di Aitumeri, Wasior, Teluk Wondama. Dari sana, ia mengucapkan kata-kata yang terus hidup hingga hari ini: “Di atas batu ini, saya meletakkan peradaban orang Papua. Sekalipun orang memiliki kepandaian tinggi, akal budi dan marifat tetapi tidak dapat memimpin bangsa ini, bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri.”
Kalimat ini bukan sekadar kenangan dari masa lalu. Ia adalah nubuatan — sebuah bisikan ilahi yang ditanamkan ke dalam sejarah sebuah bangsa. Seperti benih yang ditanam dalam tanah subur, janji itu tidak mati. Ia tumbuh perlahan, menembus waktu, dan kini mulai bertunas di hati generasi Papua.
Hari ini, nubuatan itu bukan hanya cerita. Ia hidup dalam langkah nyata anak-anak Papua. Mereka belajar dengan tekun, mengasah kemampuan, dan membuka mata untuk melihat dunia lebih luas. Mereka menjadi guru, dokter, jurnalis, pendeta, pemimpin masyarakat, pekerja keras di ladang dan laut, pembangun harapan di tengah kehidupan yang terus bergerak. Papua tidak lagi sekadar menjadi penonton dalam panggung sejarahnya sendiri. Papua sedang berdiri.
Kebangkitan ini mungkin tidak selalu terdengar lantang. Ia hadir dalam langkah kecil, dalam perjuangan sehari-hari, dalam keteguhan hati untuk tidak menyerah. Di kampung-kampung, orang Papua mulai mengelola tanah dan lautnya sendiri. Di kota-kota, pemuda dan pemudi Papua menciptakan ruang-ruang baru untuk tumbuh dan berdampak. Di sekolah dan kampus, generasi muda menyiapkan masa depan dengan pena dan pikiran. Di gereja dan tempat ibadah, mereka menyalakan api iman, menjaga semangat persaudaraan, dan mengingat bahwa janji Tuhan tidak pernah gagal.
Bangkit dan memimpin diri sendiri bukan hanya tentang politik. Ia jauh lebih dalam dari itu. Ia berarti mengatur arah hidup secara utuh: membangun ekonomi yang berdiri di atas kekayaan sendiri, memperkuat pendidikan untuk mencerdaskan generasi, merawat budaya sebagai jati diri, memperkuat iman sebagai fondasi hidup, dan menjaga martabat sebagai bangsa yang berharga di mata Tuhan dan dunia. Kepemimpinan sejati bukan hanya soal kursi kekuasaan, tapi tentang kesadaran kolektif untuk berdiri di atas kaki sendiri dan percaya pada kemampuan sendiri.
Tanda-tanda kebangkitan itu kini nyata. Di sekolah, anak-anak Papua membaca buku dengan mimpi besar di kepala mereka. Di ladang, para petani menanam bukan hanya tanaman, tapi harapan. Di laut, nelayan mengangkat hasil tangkapan dengan rasa bangga. Di ruang publik, suara anak muda Papua semakin lantang menyampaikan pikiran, gagasan, dan cita-cita mereka. Di hati banyak orang Papua, tumbuh keyakinan baru: masa depan bangsa ini tidak ditentukan oleh orang lain, melainkan oleh tangan mereka sendiri.
Seperti pohon besar yang tumbuh dari akar yang dalam, kebangkitan Papua tidak datang seketika. Ia tumbuh perlahan tapi pasti. Nubuatan Kijne tidak pernah menjanjikan jalan mudah, tapi ia menegaskan arah yang pasti. Akan tiba saatnya ketika bangsa ini bukan hanya bangkit, tapi matang, kokoh, dan teguh sebagai bangsa besar yang berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain.
Pada masa itu, kepemimpinan Papua tidak akan lahir dari tekanan luar, tapi dari hati anak-anaknya sendiri. Politiknya akan lahir dari suara rakyatnya. Ekonominya akan tumbuh dari tangannya sendiri. Budayanya akan menjadi sumber kebanggaan. Pendidikannya akan melahirkan pemikir besar. Imannya akan menjadi kekuatan yang tak tergoyahkan. Papua akan menjadi bangsa yang memimpin seluruh aspek kehidupannya sendiri, seperti yang pernah dinubuatkan di atas batu Aitumeri hampir seratus tahun lalu.
Janji itu sedang bergerak. Hari itu belum tiba sepenuhnya, tetapi langkah ke arahnya sudah dimulai. Dan setiap langkah kecil bangsa ini — setiap anak yang belajar, setiap pemuda yang bekerja, setiap doa yang dipanjatkan, setiap suara yang menyerukan keadilan — adalah bagian dari penggenapan nubuatan itu.
Papua sedang bangkit. Papua sedang belajar memimpin dirinya sendiri. Papua sedang berjalan menuju masa di mana bangsa ini akan berdiri tegak, bermartabat, dan kuat. Bukan karena belas kasihan siapa pun, tetapi karena Tuhan sudah menanamkan janji itu sejak lama. Janji yang ditanam di batu, ditumbuhkan oleh sejarah, dan kini disiram oleh semangat generasi baru.
Suatu saat, bangsa Papua akan benar-benar berdiri sebagai bangsa yang memimpin seluruh kehidupannya sendiri — dengan kepala tegak, dengan hati yang teguh, dengan iman yang tak tergoyahkan. Nubuatan itu bukan masa lalu. Ia adalah masa depan yang sedang diperjuangkan hari ini.









