OTONOMI Khusus (Otsus) Papua pernah dipuji sebagai jalan damai antara Jakarta dan Papua — sebuah kompromi politik yang diharapkan menjawab luka sejarah dan ketidakadilan struktural. Ia lahir untuk memberi ruang bagi rakyat Papua mengatur dirinya sendiri di dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun janji itu kini tinggal kenangan. Revisi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 pada tahun 2021 telah menutup babak harapan itu. Melalui revisi ini, hampir seluruh ruh kekhususan Papua dikubur hidup-hidup.
Revisi tersebut bukan penyempurnaan, melainkan pembunuhan gagasan. Kekhususan yang dulu dimaksudkan untuk melindungi identitas, adat, dan martabat orang Papua kini diganti dengan mekanisme kontrol yang semakin ketat dari pusat. Majelis Rakyat Papua (MRP) — simbol moral dan kultural rakyat — dibuat ompong. Kewenangan politik dan kebijakan lokal yang dulu dimiliki daerah kini dipangkas melalui ketentuan administratif yang membuat Papua kembali menjadi penonton di tanahnya sendiri.
Dana Otsus yang semestinya menjadi instrumen kemandirian justru menjadi alat ketergantungan. Pemerintah pusat memegang kendali penuh, menentukan arah dan prioritas tanpa harus mendengar suara rakyat Papua. Dengan dalih percepatan pembangunan, negara memekarkan provinsi-provinsi baru tanpa konsultasi adat dan tanpa keputusan politik lokal. Pemekaran ini tidak memperkuat rakyat, tetapi memperkuat kontrol negara atas wilayah yang kaya emas, gas, dan hutan.
Kebijakan ini bukan sekadar kesalahan administratif — ia adalah bentuk pengkhianatan terhadap semangat damai dan kesetaraan yang melahirkan Otsus dua dekade lalu. Papua yang dulu dijanjikan “khusus” kini menjadi sama seperti daerah lain, bahkan lebih dikekang. Otsus yang seharusnya menjadi jembatan keadilan berubah menjadi rantai kekuasaan.
Kini, rakyat Papua kembali pada posisi semula: menjadi objek kebijakan, bukan subjek penentu masa depan. Revisi Otsus 2021 memusnahkan gagasan dasar bahwa Papua berhak berbeda dan setara. Ia menghapus prinsip penghormatan terhadap adat dan identitas, membungkam ruang dialog, dan menggantikannya dengan perintah dan pengawasan.
Pertanyaan besar kini menggema di Tanah Papua: setelah Otsus mati, apa yang tersisa untuk diperjuangkan? Apakah rakyat Papua harus terus menjalani Otsus tanpa kekhususan — sebuah ilusi otonomi tanpa jiwa? Ataukah kini saatnya rakyat Papua bangkit untuk mendirikan negara Papua sendiri yang benar-benar menjamin kehidupan dan martabat manusia Papua?
Sebab ketika negara mematikan otonomi yang lahir dari janji perdamaian, ia juga mematikan kepercayaan rakyat terhadap keadilan. Dan bila keadilan telah mati di Tanah Papua, maka sejarah akan menuntut jawabannya: apakah rakyat Papua akan terus hidup dalam bayang-bayang kebohongan yang disebut Otonomi Khusus, atau memilih bangkit untuk menulis sejarahnya sendiri — dengan nama dan nasibnya sendiri. (Editor)