TANGGAL 1 Oktober setiap tahun diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Pemerintah menggelar upacara khidmat, pidato penuh jargon, dan seremoni simbolis seolah-olah Pancasila masih hidup sebagai ideologi bangsa. Namun semua itu hanyalah sandiwara politik. Kenyataan di lapangan membuktikan bahwa Pancasila sudah kehilangan daya magisnya. Ia tidak lagi sakti, tidak lagi menjadi pedoman hidup bangsa ini.
Sila pertama tentang Ketuhanan hanya tinggal slogan. Negeri ini masih menyaksikan intoleransi yang brutal: rumah ibadah disegel, kelompok minoritas ditekan, bahkan keyakinan dijadikan alasan untuk menindas sesama. Pemerintah diam, aparat membiarkan, elite politik memanfaatkannya untuk meraup suara. Apa arti Ketuhanan Yang Maha Esa jika di bumi Indonesia, iman justru dijadikan senjata untuk memecah belah rakyat?
Sila kedua tentang Kemanusiaan semakin terinjak-injak. Rakyat kecil terus menjadi korban kekerasan aparat, pelanggaran hak asasi manusia dibiarkan tanpa penyelesaian, dan tanah rakyat dirampas atas nama pembangunan. Korupsi merajalela, menggerogoti uang rakyat hingga miliaran bahkan triliunan rupiah. Para pejabat yang mestinya melindungi justru menjadi predator yang menghisap darah rakyat. Di mana kemanusiaan yang adil dan beradab? Nyatanya, kemanusiaan di negeri ini hanya berlaku bagi mereka yang punya kuasa dan harta.
Sila ketiga tentang Persatuan Indonesia sudah hancur dirobek politik identitas. Suku, agama, dan ras diperdagangkan di panggung politik. Elite tak segan menghasut kebencian demi mempertahankan kursi kekuasaan. Persatuan hanya menjadi kata kosong yang didengungkan saat kampanye, sementara kenyataannya bangsa ini terbelah dalam kebencian yang dipelihara.
Sila keempat tentang Kerakyatan telah mati suri. Demokrasi yang seharusnya memberi ruang musyawarah telah dibajak oleh oligarki. Rakyat tidak lagi menjadi pemilik kedaulatan, karena suara mereka dibeli dengan uang dan janji kosong. Musyawarah mufakat hanya tersisa di buku teks, sedangkan kenyataan politik diisi transaksi, manipulasi, dan tipu daya.
Sila kelima tentang Keadilan Sosial adalah ironi paling pahit. Kesenjangan ekonomi semakin brutal: segelintir oligarki menguasai sumber daya negeri, sementara jutaan rakyat hidup miskin dan terpinggirkan. Lahan-lahan dikuasai korporasi besar, sementara petani menjerit tak punya tanah. Anak-anak muda berpendidikan tinggi hanya jadi penganggur, sedangkan mereka yang dekat dengan penguasa hidup bergelimang fasilitas. Keadilan sosial yang dijanjikan Pancasila hanyalah mimpi basi yang tak pernah diwujudkan.
Hari ini, Pancasila tidak lagi sakti. Ia dikurung dalam pidato pejabat, dipajang di dinding-dinding kantor, dan diperingati dengan upacara seremonial. Namun dalam kehidupan nyata, sila demi sila sudah dipreteli, diinjak, dan diperdagangkan. Pancasila bukan lagi ideologi pemersatu, melainkan topeng yang dipakai penguasa untuk menutupi kerakusan mereka.
Jika bangsa ini masih mengaku ber-Pancasila, maka satu-satunya jalan adalah menghidupkan kembali nilai-nilai itu dalam praktik nyata. Tanpa itu, setiap seremoni Hari Kesaktian Pancasila hanyalah upacara kemunafikan nasional. (Editor)