OPINI  

Skandal Korupsi Lanny Jaya

Ruben Benyamin Gwijangge, Mahasiswa Magister Kebijakan Publik Universitas Cenderawasih, Jayapura. Foto: Istimewa

Loading

Oleh Ruben Benyamin Gwijangge 

Mahasiswa Magister Kebijakan Publik Universitas Cenderawasih, Jayapura 

DUGAAN korupsi alokasi dana desa (ADD) di Kabupaten Lanny Jaya, Provinsi Papua Pegunungan, mencuat sebagai salah satu skandal terbesar dalam sejarah pengelolaan dana desa di Indonesia. Sebanyak sembilan orang terkait ditetapkan Polda Papua sebagai tersangka. 

Mulai dari pejabat dinas, tenaga ahli hingga pimpinan bank. Nilai kerugian negara ditaksir menyentuh angka Rp 168 miliar. Jumlah ini tergolong fantastis jika dibandingkan dengan minimnya pembangunan dan kesejahteraan di kampung-kampung di Lanny Jaya.

Fakta yang paling mencolok adalah adanya kebijakan penyaluran ADD dalam bentuk tunai. Kebijakan inilah yang membuka jalan mulus bagi korupsi berjamaah. Pertanyaan mendasar pun muncul. Bagaimana mungkin sebuah mekanisme yang begitu bertentangan dengan regulasi bisa dilegalkan di tingkat kabupaten?

Untuk memahami akar persoalan, kita perlu membedah kerangka hukum, prinsip tata kelola dana desa serta menyimak bagaimana penyimpangan kebijakan bisa menjadi “jalan tol” bagi korupsi.

Kerangka Hukum 

Pertama-tama, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa secara tegas menyebutkan bahwa dana desa ditujukan untuk mendukung pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat. Dana ini dikelola dengan prinsip partisipatif, transparan, akuntabel, dan berkeadilan.

Secara teknis, pengelolaan dana desa diatur lebih lanjut melalui Permendagri Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa. Regulasi ini menyatakan bahwa seluruh penerimaan dan pengeluaran desa harus dilakukan melalui rekening kas desa. Mekanisme ini dibuat agar setiap rupiah dana desa dapat ditelusuri, diverifikasi, dan dipertanggungjawabkan.

Secara spesifik, petunjuk teknis (juknis) dan petunjuk pelaksanaan (juklak) penyaluran ADD mengatur bahwa penyaluran dilakukan secara non tunai —melalui transfer rekening dari kas daerah ke rekening desa. Tujuannya jelas yaitu menghindari kebocoran dan memastikan dana benar-benar masuk ke desa.

Dengan demikian, kebijakan penyaluran ADD secara tunai di Lanny Jaya jelas merupakan pelanggaran. Pertama, pola penyalurannya bertentangan dengan UU Desa dan Permendagri. Kedua, penyalurannya menyalahi asas akuntabilitas publik. Ketiga, merusak sistem pengawasan karena transaksi tunai sulit ditelusuri.

Penyimpangan Kebijakan

Fenomena penyaluran ADD tunai bisa dikategorikan sebagai policy failure —kegagalan kebijakan akibat perancangan dan implementasi yang menyimpang. Dalam literatur kebijakan publik, policy failure terjadi ketika suatu kebijakan justru menghasilkan dampak yang berlawanan dengan tujuan aslinya. ADD yang semestinya memperkuat desa justru menjadi sumber penjarahan.

Lebih jauh, kasus ini juga menunjukkan gejala regulatory capture ketika aturan yang ada dikooptasi oleh kepentingan kelompok tertentu. Dalam kasus Lanny Jaya, pejabat daerah menggunakan Peraturan Bupati (Perbup) untuk melegalkan mekanisme yang bertentangan dengan hukum lebih tinggi. Dengan kata lain, regulasi disandera demi kepentingan perilaku koruptif.

Jika kita tarik ke teori tata kelola pemerintahan, praktik ini mengingkari prinsip pemerintahan yang baik dan bersih (good and clean governance). Transparansi hilang, akuntabilitas dilumpuhkan, partisipasi masyarakat dihapus. Desa tidak lagi menjadi subjek pembangunan, melainkan objek eksploitasi elite daerah.

Korupsi ADD bukan sekadar kejahatan administratif. Dampaknya langsung terasa di tingkat paling bawah. Dampak dimaksud dapat dilihat sebagai berikut. Pertama, masyarakat desa kehilangan hak atas pembangunan infrastruktur dasar seperti jalan, air bersih, dan fasilitas kesehatan. 

Kedua, kepercayaan publik (public trust) terhadap pemerintah terkikis. Ketiga, konflik sosial di desa bisa meningkat akibat ketidakpuasan warga terhadap distribusi dana yang tidak adil. Bahkan, di balik itu korupsi ini memperparah stereotip negatif terhadap Papua sebagai daerah rawan korupsi. 

Padahal, persoalannya bukan terletak pada budaya masyarakat Papua, melainkan pada struktur kekuasaan yang memberi ruang besar pada penyimpangan atau penyalahgunaan wewenang.

Jalan Tol Korupsi

Penting untuk ditegaskan bahwa kasus ini tidak bisa dipandang semata sebagai “ulah oknum.” Korupsi ADD di Lanny Jaya adalah hasil dari rekayasa kebijakan melalui jalan pintas atau jalan tol. Ketika Perbup diterbitkan untuk melegalkan penyaluran tunai, maka struktur kebijakan itu sendiri sudah menjadi instrumen korupsi.

Artinya, pemberantasan korupsi tidak cukup dengan memenjarakan sembilan orang tersangka. Selama akar kebijakan menyimpang tidak dibongkar, peluang korupsi akan terus terbuka. Lebih berbahaya lagi, praktik seperti ini bisa menjadi preseden di daerah lain, dengan alasan “bisa kok di Lanny Jaya.”

Kasus Lanny Jaya adalah alarm keras bagi bangsa ini. Ketika dana desa yang seharusnya menetes ke kampung-kampung justru mengalir deras ke kantong elite, maka yang dirampok bukan sekadar uang negara, melainkan masa depan rakyat desa.

Masyarakat Papua Pegunungan berhak bertanya, di mana jalan, di mana air bersih, di mana sekolah yang dijanjikan dari alokasi dana desa? Jawabannya, sebagian besar tersangkut di rekening pribadi pejabat dan oknum bank.

Kita tidak boleh berhenti pada sembilan tersangka. Publik menuntut agar aktor intelektual, para penyusun Perbup yang menyimpang, juga diadili. Jika tidak, maka hukum hanya menjadi tontonan, dan desa kembali menjadi korban.

ADD bukanlah anjungan tunai mandiri (ATM) pejabat. Desa bukanlah lumbung uang tunai untuk dikuras demi memenuhi libido kuasa formal. Desa adalah denyut nadi republik ini. Maka siapa pun yang berani mengubah mekanisme penyaluran dana desa menjadi tunai, sesungguhnya sedang menggali kubur bagi demokrasi lokal dan keadilan sosial.

Sudah saatnya kita berkata tegas: hentikan praktik ADD tunai. Hentikan rekayasa kebijakan untuk korupsi. Kembalikan dana desa ke desa! Jika tidak, desa hanya akan menjadi ladang panen uang bagi oknum elite yang bersekongkol dengan oknum bank. 

Sementara rakyat terus diborgol dalam kemiskinan elite pejabat kemudian praktek itu diwariskan turun-temurun dari generasi ke generasi. Lanny Jaya memberi pelajaran berharga dalam pengelolaan alokasi dana desa.