Oleh: Yakobus Dumupa
(Pembelajar Hubungan Internasional dan Isu-isu Global, tinggal di Nabire, Tanah Papua)
PERTANYAAN apakah Israel berpotensi mendukung Papua Merdeka bukan sekadar wacana kosong, melainkan persoalan yang menyentuh jantung geopolitik global, rivalitas Timur Tengah, dan dinamika politik Indonesia di kawasan Pasifik. Selama ini, banyak yang menepis kemungkinan itu dengan alasan Israel tak punya kepentingan langsung di Papua. Namun bila ditelisik lebih dalam, justru ada sejumlah alasan yang membuat potensi itu masuk akal, bahkan bisa berkembang nyata di masa depan. Dunia internasional penuh dengan kalkulasi kepentingan, dan Israel adalah aktor yang lihai memainkan kartu geopolitik. Karena itu, menutup mata terhadap kemungkinan dukungan Israel untuk Papua Merdeka berarti gagal membaca arah sejarah.
Pertama, hubungan Indonesia dan Israel sejak lama berada dalam posisi berseberangan. Indonesia menjadikan isu Palestina sebagai salah satu fondasi politik luar negeri, bahkan sebagai simbol moral untuk meneguhkan diri di panggung internasional. Hampir setiap pernyataan resmi pemerintah Indonesia tentang Timur Tengah diwarnai seruan pembelaan terhadap Palestina dan kecaman terhadap Israel. Indonesia tidak membuka hubungan diplomatik dengan Israel, bahkan syarat normalisasi yang dikedepankan adalah pengakuan penuh Israel atas kemerdekaan Palestina. Dengan posisi seperti ini, tidak berlebihan jika Israel memandang Indonesia sebagai salah satu negara paling vokal dan keras menentangnya. Sebaliknya, di Papua berkembang simpati dan solidaritas terhadap Israel. Bagi banyak orang Papua, Israel bukan musuh, melainkan simbol keteguhan bangsa kecil yang mampu bertahan di tengah tekanan musuh besar. Di berbagai aksi maupun pernyataan publik, orang Papua sering menunjukkan dukungan moral terhadap Israel. Kontras ini menjadi modal politik yang bisa dimanfaatkan Israel: saat Jakarta memusuhi, Papua justru membuka tangan.
Kedua, dukungan Papua Nugini dan dunia Melanesia terhadap Israel menambah bobot potensi tersebut. Papua Nugini, yang secara etnis, geografis, dan historis terhubung dengan Papua bagian barat, pada tahun 2023 secara resmi membuka kedutaan di Yerusalem. Itu bukan langkah kecil. Dalam diplomasi internasional, menempatkan kedutaan di Yerusalem adalah bentuk dukungan politik yang sangat jelas terhadap Israel, bahkan ketika banyak negara lain menolaknya dengan alasan konflik Palestina. Lebih jauh lagi, sejumlah negara Pasifik seperti Mikronesia, Nauru, Palau, dan Tonga berkali-kali mendukung Israel di forum PBB. Kawasan Pasifik menjadi salah satu kantong suara yang relatif solid untuk Israel. Jika Papua kelak merdeka, maka ia hampir pasti akan masuk ke orbit ini, sebab solidaritas Melanesia sangat kuat. Israel tentu melihat pola ini sebagai kesempatan untuk menambah sekutu baru, dan Papua bisa menjadi pion penting di kawasan.
Ketiga, Israel memiliki tradisi panjang dalam politik luar negeri yang dikenal sebagai Periphery Doctrine. Intinya adalah membangun aliansi dengan aktor-aktor non-Arab, minoritas, atau kelompok terpinggirkan, guna menyeimbangi tekanan dari negara-negara Arab di sekitarnya. Sejarah menunjukkan bagaimana Israel menjalin hubungan dekat dengan Kurdi di Irak, dengan minoritas Kristen di Lebanon, hingga dengan Ethiopia dan bahkan Sudan Selatan sebelum negara itu merdeka. Pola yang sama bisa saja diterapkan di Asia Tenggara. Bila Israel menilai Indonesia terlalu keras kepala dan terus memusuhi, maka mencari proksi atau mitra tandingan menjadi langkah logis. Papua, yang tengah memperjuangkan kemerdekaan, memiliki kesamaan pola dengan kelompok-kelompok yang dulu dirangkul Israel. Israel dikenal pragmatis: siapa pun yang bisa menjadi sekutu dalam menekan musuh akan dirangkul. Jika dulu Kurdi dan Sudan Selatan bisa menjadi mitra, tidak tertutup kemungkinan Papua suatu saat masuk daftar itu.
Keempat, Israel saat ini berada di bawah tekanan diplomatik internasional yang kian besar. Konflik Gaza, kritik keras di PBB, hingga gelombang dukungan untuk Palestina membuat Israel makin terpojok. Negara-negara besar seperti Tiongkok, Rusia, dan bahkan sekutu Eropa kerap memberikan catatan tajam terhadap kebijakan Israel. Dalam situasi seperti ini, Israel butuh sekutu tambahan, sekecil apa pun suara itu. Pengalaman Israel di forum internasional menunjukkan bahwa suara negara-negara kecil Pasifik sering menjadi penentu dalam voting resolusi. Oleh karena itu, setiap potensi lahirnya negara baru yang berpeluang mendukung Israel pasti akan dipertimbangkan dengan serius. Papua yang mayoritas rakyatnya bersimpati kepada Israel sangat mungkin menjadi salah satu opsi strategis untuk menambah suara pendukung di PBB. Israel tidak bisa terus mengandalkan AS saja, ia butuh jaringan sekutu global, termasuk dari negara-negara kecil yang baru lahir.
Kelima, Papua memiliki posisi geografis yang strategis di Pasifik. Kawasan Pasifik semakin menjadi ajang perebutan pengaruh antara kekuatan besar, terutama AS, Tiongkok, dan sekutu mereka. Israel, meski jauh, memiliki kepentingan untuk tidak tertinggal dalam konfigurasi strategis ini. Papua sebagai entitas politik merdeka akan menjadi negara Melanesia terbesar dengan posisi geografi yang menghubungkan Asia Tenggara dan Pasifik. Dengan membangun hubungan erat sejak awal, Israel bisa memperoleh pijakan baru di kawasan yang sedang diperebutkan pengaruhnya. Tidak perlu basis militer langsung; cukup dukungan diplomatik dan jaringan ekonomi-politik untuk menjadikan Papua sebagai mitra yang loyal. Dalam politik global, posisi geografis menentukan nilai tawar. Papua memiliki nilai itu, dan Israel paham cara memanfaatkannya.
Keenam, Indonesia sendiri justru memberi alasan semakin kuat bagi Israel untuk berpikir mendukung Papua. Sikap keras Indonesia terhadap Israel menjadikan potensi hubungan diplomatik nyaris mustahil dalam jangka pendek. Jika Israel merasa tidak mungkin menembus Jakarta, maka jalan pintas bisa saja ditempuh dengan mendukung oposisi internal Jakarta, yakni gerakan Papua Merdeka. Dengan kata lain, semakin keras sikap Indonesia, semakin besar pula peluang Israel melihat Papua sebagai opsi strategis. Israel selalu menimbang untung-rugi: bila peluang normalisasi dengan Indonesia tertutup rapat, mengapa tidak berinvestasi pada kemungkinan lahirnya negara baru yang justru bersahabat? Logika geopolitik ini sangat mungkin berperan dalam hitungan jangka panjang Israel.
Ketujuh, solidaritas sipil dan simbolik antara Papua dan Israel sudah mulai terlihat di ruang publik internasional. Aksi-aksi di luar negeri yang memperlihatkan atribut Papua berdampingan dengan bendera Israel menunjukkan adanya simpati yang saling bersambut. Memang, ini belum bisa disebut dukungan resmi negara, tetapi politik global sering dimulai dari simbol-simbol kecil. Israel tidak butuh banyak alasan untuk menjalin kedekatan dengan gerakan yang punya semangat pro-Israel. Di masa lalu, Israel menjadikan saluran sipil dan non-resmi sebagai pintu masuk sebelum berlanjut ke dukungan politik formal. Simbol-simbol ini, bila konsisten, bisa menjadi fondasi awal yang mengarahkan ke hubungan lebih konkret di masa depan.
Kedelapan, ada faktor kebutuhan strategis jangka panjang Israel. Dengan semakin banyak negara yang mendukung Palestina, Israel harus memperluas basis dukungannya. Tidak semua negara besar mau menanggung risiko politik membela Israel. Karena itu, negara-negara kecil, terutama yang baru merdeka, sangat penting. Mereka bisa menjadi sekutu loyal karena merasa berutang budi sejak awal. Jika Papua suatu hari berdiri sebagai negara merdeka dengan dukungan Israel di belakangnya, hampir pasti Papua akan menjadi salah satu sekutu paling setia. Dalam perhitungan Israel, investasi politik semacam ini sangat rasional: mendukung kemerdekaan Papua hari ini berarti menambah satu suara abadi di forum internasional untuk masa depan.
Kesembilan, dinamika geopolitik dunia yang terus berubah membuka ruang bagi skenario yang dulu dianggap mustahil. Jika Perang Dingin bisa melahirkan negara-negara baru dari reruntuhan kolonialisme, maka era multipolar sekarang juga bisa melahirkan entitas politik baru dari konflik internal. Papua bisa menjadi salah satunya, terutama bila ada sponsor kuat yang mendorong. Israel, yang sudah terbukti mampu memainkan politik global melampaui wilayahnya, memiliki pengalaman dan jaringan untuk melakukan hal ini. Apalagi, Israel tidak berdiri sendiri: dukungan Amerika Serikat sebagai sekutu utama bisa menjadi jaminan tambahan. Bila Washington melihat Papua sebagai kepentingan strategis dalam menekan Jakarta atau mengimbangi Beijing di Pasifik, Israel hanya perlu mengikuti arus itu sambil menambahkan kepentingan domestiknya sendiri.
Kesepuluh, dalam politik global, faktor moral dan solidaritas seringkali menjadi alasan resmi, meski di baliknya kepentingan strategis yang lebih menentukan. Israel bisa saja menggunakan narasi solidaritas dengan rakyat Papua sebagai pintu masuk: dukungan pada bangsa kecil yang terpinggirkan, bangsa yang ingin merdeka seperti halnya bangsa Yahudi dulu. Narasi ini punya kekuatan simbolik yang besar. Di panggung internasional, dukungan berbasis moral bisa menutupi kepentingan politik yang sesungguhnya. Israel sangat paham memainkan retorika ini, sebagaimana mereka selalu mengaitkan eksistensi negara dengan sejarah panjang penderitaan bangsa Yahudi. Jika narasi itu dipadukan dengan penderitaan Papua, akan muncul legitimasi moral yang bisa diterima publik internasional.
Melihat semua faktor ini, potensi Israel mendukung Papua Merdeka bukanlah sekadar mimpi. Ia mungkin belum terjadi hari ini, tetapi benih-benihnya jelas ada. Dari kontras sikap Indonesia dan Papua terhadap Israel, dukungan regional Melanesia, doktrin geopolitik Israel yang pragmatis, kebutuhan akan sekutu baru di PBB, posisi strategis Papua di Pasifik, hingga solidaritas simbolik yang mulai tumbuh—semuanya menyusun sebuah gambaran bahwa dukungan itu bisa saja nyata di masa depan.
Dalam politik internasional, tidak ada yang abadi kecuali kepentingan. Tidak ada kawan atau musuh sejati, yang ada hanya siapa yang bisa memberi keuntungan pada waktu yang tepat. Apa yang dulu dianggap mustahil—seperti berdirinya Israel sendiri pada 1948, bubarnya Uni Soviet, atau lahirnya negara-negara baru dari reruntuhan Yugoslavia dan Sudan—semua terbukti mungkin ketika momentum dan kepentingan berpadu. Maka, terlalu gegabah bila ada yang berkata Israel tidak mungkin mendukung Papua. Justru karena politik selalu cair dan penuh kejutan, ruang kemungkinan itu terbuka lebar.
Bisa jadi hari ini dukungan Israel hanya terlihat samar dalam bentuk simbol dan solidaritas sipil, tetapi sejarah mengajarkan bahwa percikan kecil bisa menjelma menjadi api besar. Israel sangat paham memainkan percikan itu menjadi senjata politik. Dan bila kelak tiba saatnya Papua memperoleh pengakuan, Israel punya cukup alasan untuk berada di barisan pertama pendukungnya—bukan semata karena simpati, tetapi karena kalkulasi strategis yang menjadikan Papua sahabat sekaligus sekutu.
Dalam politik global, tidak ada yang tidak mungkin. Yang hari ini dianggap angan-angan bisa menjadi kenyataan esok hari. Dan siapa tahu, dukungan Israel bagi Papua Merdeka bisa menjadi kejutan sejarah yang mengubah wajah politik Asia Pasifik, sekaligus menambah bab baru dalam daftar panjang bagaimana kepentingan menentukan arah dunia.