Oleh Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran
PIDATO Presiden Prabowo Subianto di KTT PBB baru-baru ini menegaskan lagi posisi Indonesia di hadapan dunia, yakni mendukung kemerdekaan Palestina, mengutuk kekerasan terhadap warga sipil di Gaza, dan menyerukan realisasi solusi dua negara sesegera mungkin. Dengan lantang, Prabowo menyebut penderitaan rakyat di Gaza sebagai tragedi kemanusiaan yang tak tertahankan.
Dari sisi simbolisme, pidato tersebut tentu sangat menggugah. Indonesia kembali tampil sebagai pembela Palestina, sebuah peran historis yang diwariskan sejak zaman Soekarno. Namun di balik retorika geopolitik tersebut, muncul pertanyaan mendasar, apakah yang disampaikan Presiden Prabowo Subianto benar-benar relevan, atau sekadar pengulangan mantra lama yang tak lagi punya daya magis jika dihadapkan dengan realitas lapangan yang ada?
Kita tentu tidak bisa menutup mata bahwa apa yang dikatakan Prabowo terdengar sama persis dengan yang diucapkan para pemimpin dunia selama tiga dekade terakhir. Solusi dua negara, pengakuan atas Palestina, dan kehidupan ideal dua negara yang berdampingan di dalam perdamaian, adalah mantra diplomatik dunia sejak 70 tahun lalu, yang semakin kekurangan pondasi riil.
Kata-kata retoris di dalam pidato tersebut boleh jadi memang menenangkan hati nurani kita sebagai warga global, tetapi harus diakui juga bahwa semua itu nampaknya semakin kehilangan makna ketika dibenturkan dengan realitas lapangan. Gaza porak-poranda, blokade yang kian mencekik, dan korban sipil yang berguguran setiap hari, adalah fakta lapangan yang semakin menyudutkan idealitas solusi dua negara.
Tepi Barat nyaris hilang oleh permukiman ilegal yang terus bertambah dan meluas, membelah wilayah Palestina menjadi kantong-kantong terisolir yang sudah sangat mustahil untuk dirangkai menjadi sebuah negara. Fakta di lapangan hari ini memang menunjukkan bahwa tidak ada lagi ruang untuk “negara Palestina merdeka” sebagaimana dibayangkan oleh para penggagas formula dua negara.
Sehingga apa yang disampaikan Prabowo sebenarnya tak lebih dari retorika geopolitik, indah di telinga, tetapi hampa dalam substansi. Kalau kita telusuri pemikiran para pemikir kritis tentang solusi dua negara kontemporer, kita akan segera melihat betapa usang dan ilusifnya pidato semacam itu.
Solusi Sudah Mati
Jonathan Kuttab, pengacara HAM Palestina, dalam Beyond the Two-State Solution (2021) menyatakan dengan tegas bahwa solusi dua negara sudah mati. Ide tersebut, katanya, mungkin pernah berada pada fase “nyaris mungkin diwujudkan.” Namun, realitas hari ini menunjukkan bahwa Israel telah menguasai seluruh tanah Palestina, mencaplok sumber daya air, berbagai sumber daya lainnya, dan termasuk mencaplok kebebasan gerak rakyat Palestina.
Sehingga, kata Kuttab, gagasan pemisahan dua negara hanyalah ilusi politik yang dipelihara oleh para diplomat dunia untuk menghindari konfrontasi dengan Israel dan Amerika Serikat. Dengan kata lain, ketika Prabowo mengulang seruan solusi dua negara, jika menggunakan kacamata Khuttab, maka Prabowo sesungguhnya sedang memperkuat ilusi tersebut.
Apalagi pidato Presiden ke delapan Republik Indonesia itu tidak menawarkan perspektif baru, pun tidak memberi arah politik baru, hanya menambah satu suara lagi dalam paduan suara ‘kebohongan diplomatik global’. Lebih tajam lagi, Ghada Karmi, seorang intelektual Palestina, dalam bukunya, One State: The Only Democratic Future for Palestine-Israel (2023) menyebut dua negara bukan sekadar ilusi, tetapi juga solusi yang mengandung ketidakadilan sejak awal lahirnya.
Bagi Karmi, solusi dua negara gagal karena sejak awal menutup isu paling penting, yakni hak kembali jutaan pengungsi Palestina yang diusir sejak peristiwa Nakba tahun 1948. Peristiwa Nakba adalah pengungsian massal warga Palestina yang terjadi selama perang Arab-Israel tahun 1948, yang dikenal sebagai “nakba” atau “bencana”.
Sehingga, kata Karmi, solusi dua negara justru mempersempit permasalahan Palestina hanya menjadi persoalan batas wilayah, padahal inti persoalannya adalah penindasan struktural dan pembersihan etnis yang dilegalkan oleh dunia selama ini. Dengan kerangka pemikiran Karmi, pidato Presiden Prabowo bukan hanya usang, tetapi justru juga berbahaya pada saat yang sama karena mengulang mantera yang sejak awal cacat, yang justru memutihkan dosa kolonialisme Israel.
Artinya apa? Artinya pidato Presiden Prabowo juga terjebak pada narasi Barat yang selalu menomorsatukan keamanan Israel, sementara hak-hak rakyat Palestina dipinggirkan. Ian S. Lustick dalam bukunya, Paradigm Lost: From Two-State Solution to One-State Reality (2024) menambahkan lapisan kritik yang lebih mendasar.
Menurutnya, kita sebagai warga dunia harus mulai berhenti berpura-pura. Yang ada di tataran operasional hari ini adalah realitas satu negara, bukan dua negara, katanya. Faktanya, Israel sudah menguasai dan memerintah seluruh wilayah di sana, mulai dari Sungai Yordan hingga Laut Mediterania.
Memang faktanya tidak ada entitas Palestina berdaulat, kata Ian. Yang ada hanyalah sebuah rezim yang ia sebut sudah mirip dengan rezim apartheid modern, di mana Israel menikmati hak penuh sementara Palestina hidup dalam segregasi, tanpa hak politik. Artinya, menurut Ian, solusi dua negara adalah paradigma yang sudah lama hilang (paradigm lost), tetapi tetap dipertahankan sebagai mitos demi kenyamanan psikologis para diplomat.
Dengan kata lain, ketika Prabowo menyuarakan solusi dua negara, Prabowo seakan menolak mengakui kenyataan pahit tersebut sebagai realitas objektif. Prabowo memilih kenyamanan retoris dibanding mengedepankan kejujuran intelektual. Tiga pemikir itu, Kuttab, Karmi, Lustick, meskipun berbeda penekanan, punya benang merah yang sama, yakni solusi dua negara sudah mati, dan melanjutkan retorika tentang itu hanya memperpanjang status quo.
Kuttab mendorong negara tunggal demokratis inklusif, Karmi menuntut keadilan historis dengan pemulihan hak pengungsi, sementara Lustick menekankan perlunya kejujuran untuk mengakui realitas satu negara. Ketika pidato Prabowo dibaca melalui lensa ini, terlihat jelas bahwa Prabowo tidak sedang menantang status quo, melainkan justru memperkuatnya.
Ilusi Solusi Dua Negara
Dengan pidato itu, Indonesia kehilangan kesempatan untuk tampil sebagai suara alternatif yang berani, dan justru hanya menjadi bagian dari paduan suara internasional yang melanggengkan ilusi solusi dua negara. Lebih jauh, adalah suatu ilusi baru tentang fenomena pengakuan simbolik atas Palestina oleh negara-negara seperti Inggris, Perancis, Irlandia, Spanyol, Australia, dan lainnya.
Pengakuan ini sering dielu-elukan sebagai langkah maju menuju solusi dua negara. Namun kenyataannya, pengakuan tersebut tidak serta merta membuat persoalan lebih mudah. Selama Amerika Serikat tidak mendorong dan menekan Israel, maka Israel sendiri tidak akan pernah mengakui Palestina. Inilah inti persoalan, yakni Washington DC adalah kunci.
Perbandingannya bisa ditarik ke belakang di mana sejarah Indonesia sendiri dimulai. Pada Perundingan Meja Bundar tahun 1949, pengakuan Belanda terhadap kedaulatan Indonesia akhirnya terjadi karena tekanan Amerika Serikat. Washington mengancam akan menghentikan bantuan Marshall Plan jika Belanda terus menolak, sekaligus Amerika Serikat ketika itu membutuhkan pasukan tambahan dari pasukan Belanda yang ada di Indonesia untuk dialihkan ke Eropa karena Perang Dingin sudah dimulai.
Tanpa tekanan Amerika Serikat, Belanda tidak akan pernah menyatakan secara terbuka pengakuannya atas Indonesia yang merdeka. Palestina pun sama, tanpa perubahan sikap dan tekanan nyata dari Amerika Serikat, solusi dua negara hanyalah fatamorgana diplomatik.
Pertanyaannya, apakah kita puas hanya dengan menjadi pengulang narasi? Apakah kita puas dengan retorika moral tanpa konsekuensi politik? Pidato Presiden Prabowo Subianto mencerminkan satu hal bahwa Indonesia lebih memilih aman secara diplomatik daripada relevan secara politik. Prabowo ingin tetap menjadi “pembela Palestina” di mata dunia Islam, tetapi tanpa risiko mengusik kepentingan Amerika Serikat atau Israel.
Padahal, jika Indonesia benar-benar ingin berperan, Prabowo seharusnya berani menyuarakan hal yang tidak nyaman bagi dunia bahwa dua negara sudah mati, dan dunia harus mulai bicara tentang keadilan dalam kerangka satu negara demokratis, misalnya. Karena realitas di lapangan semakin memperkuat argumentasi tersebut.
Lebih dari 700 ribu pemukim Israel kini sudah tinggal menetap di Tepi Barat dan Yerusalem Timur. Bagaimana mungkin manusia sebanyak itu bisa dipindahkan untuk memberi ruang bagi negara Palestina? Di sisi lain, Gaza sudah hancur berkeping-keping, diputus dari dunia luar, dan ditinggalkan tanpa harapan.
Pun otoritas Palestina sendiri sudah kehilangan legitimasi, dianggap hanya sebagai subkontraktor Israel. Setiap elemen yang dibutuhkan untuk negara Palestina, teritorial yang utuh, kedaulatan politik, dan legitimasi rakyat, sudah tidak ada lagi. Dalam kondisi seperti ini, berbicara tentang dua negara adalah seperti menjual fatamorgana, tampak indah dari kejauhan, tetapi menghilang begitu didekati.
Prabowo, sebagai presiden baru dengan energi politik besar, sebenarnya punya peluang untuk membawa suara baru dan segar. Prabowo bisa saja menantang dunia dengan mengatakan bahwa “Solusi dua negara sudah mati. Mari kita bicara keadilan, kesetaraan, dan hak asasi manusia sebagai dasar penyelesaian!”
Dengan kata lain, Prabowo bisa mengusulkan forum global untuk menolak apartheid de facto Israel dan mendorong transisi ke satu negara demokratis. Dengan ide tersebut, saya kira, Presiden Prabowo akan membuat Indonesia benar-benar relevan.
Tetapi nyatanya presiden Indonesia yang baru ini juga memilih jalur aman, jalur klise, dan jalur nyaman. Karena itu, saya yakin, pidatonya tidak akan mengubah apa-apa, tidak memberi inspirasi baru, hanya menambah satu lagi suara kosong di panggung PBB.
Tentu pandangan saya ini bukan bermaksud meremehkan semangat solidaritas Presiden Prabowo Subianto, tetapi untuk menegaskan bahwa solidaritas tanpa kejujuran adalah kemunafikan. Solidaritas tanpa gagasan baru hanyalah pengulangan sloganistik.
Nyatanya Palestina hari ini tidak butuh slogan. Palestina butuh keberanian politik dunia untuk mengatakan fakta secara apa adanya bahwa status quo adalah apartheid, bahwa dua negara adalah ilusi, dan bahwa satu-satunya jalan adalah membangun satu kerangka demokratis yang menjamin hak semua orang, baik Yahudi maupun Palestina, dalam satu negara yang setara.
Jika Indonesia tidak berani menyuarakan itu, maka kita hanya akan dikenang sebagai bangsa yang pandai berpidato tetapi gagal memberi arah. Dan yang justru mengkhawatirkan saya, Papua Barat akan semakin bersemangat untuk menuntut isi pidato Prabowo Subianto bahwa Papua Barat juga layak diberi kesempatan seperti Palestina merdeka.