Pesan Peneliti Made Supriatma Kepada Anak Muda Papua: Tidak Ada Guna Merdeka Bila Ko Mati

Pegiat HAM dan sosial Papua Almarhum Markus Binur atau Max Binur (kiri) dan Almarhum Daniel Charles Radongkir (kanan). Foto: Istimewa

JAKARTA, ODIYAIWUU.com — Visiting research fellow Iseas-Yusof Ishak Institute, Singapura Made Supriatma mengaku kehilangan dua sahabat baik, Daniel Charles Radongkir dan Markus Binur atau akrab disapa Max Binur. Kehilangan dua kawan hanya selang waktu beberapa hari, kata Made Supriatma, rasanya berat sekali. 

“Saya mengenal Daniel Randongkir sebagai aktivis yang sejak mahasiswa menyuarakan hak-hak bangsa Papua. Dia orang Byak yang sangat mencintai kebudayaan dan masyarakatnya. Daniel banyak sekali berbuat untuk bangsa Papua,” ujar Made melalui akun Facebook-nya setelah mendengar kabar duka dua sahabatnya itu meninggal. 

Made juga mengenang Almarhum Max Binur sebagai sosok seorang pejuang kebudayaan. Ia mengaku pernah mampir di Sanggar Max yang penuh dengan patung dan benda-benda kebudayaan. Max, ujar Made, menawarkan semacam oase di kota Sorong, Papua Barat Daya untuk para seniman dan para pemikir Papua. 

“Kehilangan dua kawan ini tentu juga kehilangan bangsa Papua. Mereka adalah pejuang-pejuang yang sangat berdedikasi mengangkat martabat bangsa Papua,” kata Made, peneliti kelahiran Denpasar, Bali tahun 1966.

Made juga mengungkapkan kondisi Papua yang sering ia keluhkan bahwa ‘di Papua, umur itu pendek. Penderitaan itu panjang tiada batas.’ Made menitip doa, semoga roh kedua sahabatnya, Daniel dan Max mendampingi kawan-kawan lain yang masih berjuang untuk martabat bangsa Papua, khususnya mereka yang masih muda. 

“Sekali lagi, saya mohon kepada anak-anak muda Papua. Tolong lebih memperhatikan hidup Anda. Tidak ada gunanya merdeka, jika ko (Anda) mati. Ko harus hidup untuk merdeka!,” ujar Made.

Daniel Randongkir lahir 6 September 1976 di Jayapura. Ia menempuh pendidikan dasar di SD Advent Argapura tahun 1982-1988. Kemudian masuk SMP Negeri 3 Hamadi tahun 1988-1991 dan SMA Santo Fransiskus Taruna Dharma tahun 1991-1994. Daniel merampungkan kuliah S1 jurusan Antropologi Uncen Jayapura tahun 1994-2001.

Daniel merenda karier awal sebagai peneliti etnografi suku Bangsa Biak pada Juli 1999 lalu staf Lembaga Studi Advokasi Hak Asasi Manusia (Elsham) Papua tahun 2000-2018. Ia juga aktif dalam rekonsiliasi nasional Gerakan Pembebasan Rakyat Papua Barat tahun 2003-2025 menuju pembebasan nasional bangsa Papua Barat. 

Randongkir kemudian dipercaya sebagai Wakil Sekretaris WPNCL periode 2019-2024. Ia juga terlibat penuh dalam mendorong terbentuknya JDP di Jayapura pada Januari 2010 yang mendorong kampanye dan kerja mewujudkan Dialog Jakarta-Papua. 

Daniel menghembuskan nafas terakhir Senin, 15 September 2025. “Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman.” Ayat penghiburan yang diambil dari 2 Timotius 4:7 mengiringi langkah Daniel, sang pejuang HAM di atas tanah Papua, menuju rumah-Nya.

Sedangkan Max Binur lahir 18 Januari 1970 di Biak, Kabupaten Biak Numfor, Papua. Ia adalah seorang budayawan Papua dan Pendiri sekaligus Direktur Bengkel Pembelajaran Antar Rakyat (Belantara) Papua.

Selama 20 tahun lebih Max mendedikasikan hidup dan karyanya memberdayakan masyarakat melalui pendidikan alternatif, pemberdayaan masyarakat sipil (civil society), pelatihan seni, dan pegiat kebudayaan di Sorong, kota Provinsi Papua Barat Daya.

Max juga pejuang seni dan kebudayaan. Ia juga akti mengadvokasi berbagai isu melalui jaringan lembaga pegiat hak asasi manusia (HAM), lingkungan hidup, perempuan, masyarakat adat, dan kaum difabel.

Max menghembuskan nafas terakhir di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Sorong, Papua Barat Daya, Kamis (18/9) sekitar pukul 19.24 WIT. Ia menyusul sang istri, Danarti Wulandari, pegiat sosial dan pendidikan yang juga berjuang bersamanya semasa hidup yang lebih dahulu meninggal. 

Markus Binur alias Max Binur menyusul Daniel Charles Radongkir, sahabatnya memenuhi panggilan Tuhan dalam waktu yang hanya terpaut tiga hari. Pesan Made Supriatma di atas kepada generasi muda tanah semoga tetap terngiang: “Tolong lebih memperhatikan hidup Anda. Tidak ada gunanya merdeka, jika ko (Anda) mati. Ko harus hidup untuk merdeka!” 

Made Supriatma meraih gelar sarjana Ilmu Politik dari Departemen Politik dan Pemerintahan, Fisipol, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta tahun 1991. Ia kemudian memperdalam ilmu politik pada Department of Government, Cornell University, Ithaca, New York, AS. 

Made Supriatma juga pernah menjadi visiting research fellow Iseas-Yusof Ishak Institute, Singapura. Ia bergabung dengan Program Studi Indonesia dan melakukan penelitian tentang Pemilu, desentralisasi, Papua, konflik dan kekerasan etnis, dan hal-hal yang berkait politik militer. 

Made bersama Dr Hui Yew Foongm, menjadi co-editor buku: The Jokowi-Prabowo Elections 2.0 (2022). Ia juga fellow pada The Simon-Skjodt Center for the Prevention of Genocide, sebuah institusi riset di bawah United States Holocaust Memorial Museum, Washington DC, Amerika Serikat.

Made Supriatma juga penulis utama Don’t Abandon Us: Preventing Mass Atrocities in Papua, Indonesia, laporan The Simon-Skjodt Center mengenai risiko kekejaman massal di Papua. (*)