Paus Leo XIV saat berjumpa dengan orang-orang muda Katolik pada Misa pertama di Vatikan untuk influencer Katolik mengingatkan juga tentang bahaya kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) sebagai bahaya merusak martabat manusia. Ia menyerukan kepada kaum muda dan dunia untuk melindungi ‘martabat’ manusia secara daring saat menghadapi tantangan AI.
Paus kelahiran Amerika berkebangsaan Peru-AS itu berbicara di tengah jutaan peziarah orang muda Katolik yang tengah berada di Roma selama seminggu untuk Yubelium Khusus Pemuda di Roma-sebuah acara yang berlangsung setiap 25 tahun itu menekankan peran orang muda mempromosikan pesan-pesan Kristus secara damai melalui daring tanpa merongrong atau mendestruksi martabat kemanusiaan setiap orang.
“Tidak ada sesuatu pun yang berasal dari manusia dan kreativitasnya yang boleh digunakan untuk merendahkan martabat orang lain,” kata Paus lulusan Matematika Amerika sekaligus seorang “polyglot” yang fasih berbicara dalam empat bahasa: Italia, Spanyol, Inggris, dan Prancis pada pertemuan tersebut. Bapa Suci juga meminta para influencer media sosial Katolik untuk meyakinkan orang lain agar membuat konten yang yang melibatkan pencarian mereka yang menderita dan pelu mengenal Tuhan.
Sebagaimana ditayangkan di berbagai kanal audio visual, tampak anak-anak muda tumpuan masa depan gereja dan masyarakat menyusuri jalanan berbatu dengan kaos oblong seraya berdoa Rosario dan menyanyikan himne diiringi gitar, drum bongo, dan rebana yang bergoyang-goyang.
Mereka menggunakan bendera masing-masing negara sebagai terpal untuk melindungi diri dari sengatan matahari di Kota Abadi. Mereka telah menguasai seluruh piazza untuk konser rock Kristen dan ceramah inspiratif, serta berdiri berjam-jam di Circus Maximus untuk mengaku dosa kepada 1.000 pastor yang menyampaikan sakramen dalam belasan bahasa.
Paus Leo tiba dengan helikopter saat matahari terbenam di atas lapangan Tor Vergata dan langsung menumpang mobil Paus beratap terbuka untuk berputar-putar panjang di antara para peziarah dan menyapa mereka yang tengah bersorak sorai sambil melambaikan bendera dengan seruan Viva il Papa (Hidup Paus).
“Ini sesuatu yang spiritual, yang hanya bisa kita alami setiap 25 tahun sekali,” kata Francisco Michel, seorang peziarah dari Meksiko. “Sebagai seorang muda, memiliki kesempatan untuk mengalami pertemuan ini dengan Paus, saya merasa ini adalah pertumbuhan spiritual,” katanya.
“Dari sudut pandang pribadi, saya juga dapat membuktikan betapa pentingnya Hari Orang Muda Sedunia. Dua belas tahun yang lalu, saya menghadiri Hari Orang Muda Sedunia pertama saya di Madrid. Saya benar-benar tidak tahu apa yang akan terjadi. Saat itu saya berusia 21 tahun, mempertanyakan dunia di sekitar saya dan mencari jawaban yang lebih mendalam tentang iman saya. Pengalaman saya dengan Gereja Katolik saat itu terbatas pada Irlandia yang sempit dan saya tidak tahu betapa besar, betapa beragam, dan betapa indahnya Gereja Katolik. Menjelang Hari Pemuda Sedunia yang resmi, waktu diisi dengan doa, diskusi, ziarah, proyek keadilan sosial, dan konser. Tak perlu dikatakan lagi, debat intelektual, diskusi, dan keseruan yang luar biasa bersama anak muda lain dari seluruh dunia sungguh tak tertandingi, saya didorong,” kata seorang peziarah asal Irlandia.
Yubelium dikenal sebagai Tahun Suci adalah salah satu perayaan besar Gereja Katolik sedunia. Secara tradisional, Yubelium dirayakan setiap 25 tahun. Ini merupakan masa doa, refleksi, dan penebusan dosa. Selama ini para peziarah yang ingin memperingati tradisi yang bermula pada tahun 1300 ketika Paus Bonifasius mengumumkan tahun suci pertama ini pergi ke Roma dan mengunjungi gereja-gereja tertentu dapat memperoleh indulgensi penuh (pengampunan dosa).
Pertemuan massal ini berlangsung setelah lebih dari dua bulan Paus Leo XIV menjadi kepala Gereja Katolik dan Paus Amerika pertama. Misa pembukaan yang diadakan di Basilika Santo Petrus pada malam hari yang didedikasikan untuk iman dan budaya. Pekan tersebut ditutup dengan Misa bersama yang dipimpin Paus Leo pada Minggu bersama 20 kardinal, 450 Uskup, dan 7.000 pastor.
Krisis Gaza dan Ukraina
Dalam pertemuan akbar ini, topik terpenting yang diangkat adalah masalah perang. “Topik terpenting bagi saya adalah perang. Semua orang membicarakan, memikirkannya, dan kami ingin tahu apa yang dipikirkan Paus tentang hal itu dan apa yang beliau harapkan dari kami,” ujar Tiago Santos (25), peziarah dari Portugal.
Theophanie Nasta (26), seorang peziarah Lebanon yang meninggalkan negaranya untuk pertama kalinya mengatakan, terlepas dari konflik di Timur Tengah, ia dipenuhi dengan keyakinan terhadap kemanusiaan dengan melihat begitu banyak anak muda berkumpul di gereja.
Tentu, apa yang diutarakan oleh ketiga perwakilan pemuda dalam Yubelium ini relevan dengan kondisi aktual yang terjadi di Gaza-Palestina dan Ukraina. Puluhan ribu orang Palestina terbunuh di Gaza dan mati kelaparan setelah hampir dua tahun pecahnya konflik dengan Israel dan saat kelompok PBB memperingatkan akan meluasnya kelaparan di wilayah yang diblokir oleh Israel.
Rusia menginvasi Ukraina berlangsung selama 3,5 tahun telah menewaskan ribuan orang. Rusia terus melanjutkan serangan mematikan meskipun ada tekanan Barat untuk mengakhiri pendudukannya di Ukraina. Krisis kemanusiaan di Gaza dan perang di Ukraina juga disinggung Paus Leo XIV selama Angelus di akhir Misa.
Paus mengucapkan terima kasih kepada semua orang muda Katolik dari penjuru dunia —yang datang ke Kota Abadi— berpartisipasi dalam Yubelium 2025. “Ini merupakan curahan rahmat bagi Gereja dan bagi seluruh dunia. Kami bersama pemuda Gaza, pemuda Ukraina, dan seluruh negeri yang berlumuran darah akibat perang. Kalian adalah tanda bahwa dunia lain itu mungkin. Dunia persahabatan di mana konflik tidak diselesaikan dengan senjata, melainkan dialog,” kata Paus bernama asli Robert Francis Prevost (Euronews, 2025).
Dengan melihat berbagai persoalan yang tengah terjadi di seluruh dunia dewasa ini, termasuk krisis hak asasi manusia akibat konflik dan perang yang tak berkesudahan terutama di Gaza antara Israel dan Palestina, juga Rusia dan Ukraina, maka suka atau tidak, orang muda Katolik harus mengambil sikap dan posisi, melibatkan diri sebagai trouble solver, dengan cara dan metode damai guna mengakhiri kekerasan dan kematian yang berkelanjutan.
Di tengah perpecahan, konflik, darah, dan air mata yang terus merebak ke mana-mana, merobek dinding-dinding kemanusiaan, orang muda Katolik tidak bisa lagi bungkam menyaksikan semua kesakitan itu. Apalagi menghindar dan melarikan diri, bukanlah solusi tetapi ikut menjadi bagian yang merasakan penderitaan korban sebagai penderitaan dirinya, dengan membangun jembatan dialog antara para pihak yang berkonflik guna mencari jalan penyelesaiannya.
Pasalnya, bila kekerasan dilawan dengan kekerasan, perang dilawan dengan perang, kebencian dilawan dengan kebencian bahkan dendam dibalas dengan dendam tidak akan membawa perdamaian. Justru memperkeruh keadaan hak asasi manusia dan menciptakan instabilitas berkepanjangan dalam segala aspek kehidupan sebagai bentuk kejahatan yang merendahkan martabat kemanusiaan! Pro Ecclesia et Humanitate!!! (Bagian kedua, terakhir)
Thomas Ch Syufi
Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) dan Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Sanctus Thomas Aquinas Periode 2013-2015