NABIRE, ODIYAIWUU.com — Pasca konflik dua kelompok masyarakat di Topo, Distrik Uwapa, Kabupaten Nabire, Provinsi Papua Tengah, situasi keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) kian kondusif. Konflik yang terjadi pada Senin (5/6) tersebut sempat menjalar beberapa waktu sesudahnya sebelum akhirnya terhenti, bukanlah konflik suku.
Dewan Adat Wilayah Meepago menghimbau semua pihak mendukung para bupati di wilayah Meepago, aparat keamanan, para tokoh, dan dua kelompok yang berseteru agar konflik yang terjadi dapat diselesaikan dengan baik dan tuntas dalam semangat persaudaraan. Berbagai upaya yang telah dilakukan menjembatani kedua belah pihak berdamai ala Meepago merupakan sebuah langkah maju.
“Konflik di Topo sudah ada upaya penanganan oleh para bupati dan aparat keamanan sehingga semua pihak harus mendukung upaya penanganan dan penyelesaian yang sedang dilakukan agar konflik dapat diselesaikan secara baik dan tuntas,” ujar Ketua Dewan Adat Wilayah Meepago Marko Okto Pekei melalui keterangan tertulis yang diterima Odiyaiwuu.com dari Nabire, kota Provinsi Papua Tengah, Senin (12/6).
Okto juga mengingatkan, semua pihak perlu menyampaikan informasi yang benar kepada publik dan berhenti menyebarkan informasi tidak benar yang berujung meresahkan masyarakat. Informasi yang disebar pihak-pihak tertentu tersebut menggambarkan seolah-olah masih berlangsung kekerasan fisik di Topo dan di kota Nabire.
“Semua pihak harus berhenti menggiring konflik di Topo sebagai perang suku tanpa melihat dinamika konflik dan perkembangan situasi sebenarnya. Ini penting mengingat tidak semua warga suku Mee dan warga suku Lani terlibat dalam konflik Topo. Karena itu, jangan samakan konflik Topo dengan perang suku yang terjadi di beberapa daerah lain,” kata Okto lebih lanjut.
Okto, tokoh muda Dewan Adat Meepago yang meliputi Kabupaten Dogiyai, Deiyai, Nabire, Intan Jaya, Paniai, dan Mimika juga menghimbau masyarakat suku Mee dan Lani di Kota Nabire agar tetap tetang sambil menunggu proses penyelesaiaan yang dimediasi para bupati, aparat keamanan, dan pihak-pihak yang diberi kepercayaan.
Warga kedua pihak yang berselisih juga dihimbau menjaga keamanan bersama tanpa melakukan aksi saling mengganggu sehingga terbangun situasi yang dapat memungkinkan pembicaraan dan penyelesaian masalah dilakukan. Untuk itu, perlu kedua belah pihak bertikai juga dihimbau menahan diri dan menghindari pihak lain masuk memprovokasi situasi yang sudah kondusif yang berpotensi menunda penyelesaian masalah.
“Masyarakat Mee dan Lani yang ada di luar Nabire juga dihimbau jangan terpengaruh apalagi membawa masalah yang terjadi di Topo ke daerah-daerah lain. Pasca konflik Topo saat ini tidak ada kekerasan fisik, entah di Topo maupun di kota Nabire. Kini sudah ada upaya penyelesaian pokok masalah dengan melibatkan semua pemangku kepentingan,” kata Okto.
Himbauan dan harapan Dewan Adat Wilayah Meepago lahir mencermati konflik Topo yang menyita perhatian publik tak hanya di wilayah Nabire namun juga di luar Papua Tengah. Okto mengakui, tak dapat dipungkiri, konflik Topo menyita perhatian publik tak hanya di wilayah adat Meepago, tetapi juga Papua bahkan luar Papua.
Merebaknya informasi konflik tersebut terjadi karena konflik memakan korban jiwa dan materi. Perseteruan dua kelompok menggiring pendapat publik pada kesimpulan bahwa konflik Topo adalah perang suku.
Basis pemahaman publik atas konflik Topo sebagai perang suku menimbulkan keresahan dan kekhawatiran masyarakat suku Mee dan Lani baik yang ada di daerah Nabire maupun beberapa daerah di luar Nabire.
Dewan Adat Wilayah Meepago memantau dan menilai bahwa konflik yang terjadi di Topo bukan perang suku karena nihil ciri-ciri yang menunjukkan terjadi perang suku. Kedua pihak yang bertikan tidak nampak saling panah memanah dalam kondisi yang berhadapan di lokasi tertentu dalam jangka waktu tertentu.
“Kondisi itu tidak nampak dalam beberapa hari pasca terjadi pembicaraan atas sengketa tanah. Bahkan dua korban nyawa yang pertama pun bukan dalam kondisi saling memanah, melainkan menjadi korban dalam situasi biasa,” ujar Okto.
Selain itu, urai Okto, tidak ada pemimpin yang memerintah dan memimpin untuk perang antar suku. Tindakan beberapa orang di luar konteks masalah utama yang melakukan pemalangan, penyandraan, kekerasan fisik, kekerasan seksual bahkan pembunuhan menimbulkan amarah yang luas hingga muncul rasa simpati dari kalangan masyarakat Mee sehingga terjadi mobilisasi massa secara spontan.
“Konflik Topo bukan perang suku, sebab tidak nampak saling memanah dalam kondisi berhadapan. Kedua kelompok juga tidak ada lokasi khusus untuk saling memanah dan jangka waktu tertentu. Juga tidak ada pemimpin yang memerintah, tidak ada pemimpin yang memimpin perang,” katanya.
Sekalipun demikian, hingga saat ini publik menilai konflik di Topo sebagai perang suku dan merasa resah dengan opini yang dibangun. Padahal, konflik tersebut tidak mengatasnamakan suku dan eskalasi konfliknya juga bukan meningkat, tetapi menurun pasca para bupati dan pimpinan aparat mendatangi masyarakat di Topo.
Para pihak juga berupaya menahan diri untuk tidak melakukan aksi kekerasan. Sementara itu, masyarakat dari kedua belah pihak di kota Nabire masih berjaga-jaga. Namun, kondisi itu biasa pasca konflik di mana masyarakat tetap waspada dan bekerja sekuat tenaga mencegah terjadinya tindakan penyerangan hingga konflik diselesaikan secara tuntas.
Pasca konflik Topi, jajaran Polres Nabire merespon cepat dengan menggelar pertemuan yang dihadiri sejumlah pihak, Sabtu (10/6). Hadir dalam pertemuan itu Wakapolres Nabire Kompol I Wayan Laba, SH, MH, Kepala Bagian Perencanaan Polres AKP Nasruddin, Kapolsek Uwapa Ipda Exaudio Hasibuan, S.Tr.K, MH, Kepala Suku Mee Topo John Madai, dan Sekretaris Distrik Uwapa Karel Petege.
Dalam pertemuan tersebut, Madai dan Karel mengungkapkan, saat itu keduanya berusaha meredam dan menghimbau masyarakat suku Mee agar tidak melakukan pembakaran. Namun, himbauan tersebut tidak diindahkan. Keduanya mengharapkan agar kejadian serupa tidak terulang dan sebaiknya menunggu mediasi.
Laba dalam kesempatan tersebut mengajak kedua tokoh adat untuk membantu Polri menjaga situasi kamtibmas dengan mencegah terjadinya tindakan serupa di masa depan.
“Kedua belah pihak telah mengalami korban dalam insiden ini, namun jika tindakan semacam ini terus terjadi, maka pertikaian lebih lanjut dapat terjadi,” kata Laba.
Setelah berkoordinasi, personel Polres Nabire diterjunkan ke lokasi kejadian guna melakukan pengamanan dan penyelidikan di tempat kejadian.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Papua Kombes Pol. Ignatius Benny Ady Prabowo, SH, SIK, M.Kom mengatakan, pasca kejadian, situasi disekitar lokasi relatif kondusif. Pihaknya akan menindak tegas para pelaku utama dari kejadian pembakaran sehingga mengakibatkan kerugian bagi masyarakat tersebut.
“Kami menghimbau kepada kedua belah pihak yang bertikai agar dapat menahan diri dan tidak mudah terprovokasi, upaya mediasi yang saat ini tengah dilakukan oleh aparat keamanan bersama pemerintah daerah serta para tokoh setempat masih terus dilakukan guna mencari solusi terbaik untuk mengakhiri konflik ini,” kata Benny. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)