Quo Vadis Papua Merdeka - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan
OPINI  

Quo Vadis Papua Merdeka

Moksen Sirfefa, intelektual Papua. Foto: Istimewa

Loading

Oleh Moksen Sirfefa

Intelektual Papua

PERJUANGAN Papua merdeka berjalan tak menentu. Sejak pemberontakan Permenas Ferry Awom (bekas anggota Papoea Vrijwilligers Korps buatan Belanda) pada 1964 hingga perjuangan diplomasi lalu reorganisasi menjadi ULMWP (United Liberation Movement of West Papua) selalu mengalami kegagalan. 

Di jalan diplomasi, terjadi skisma antara kubu Ketua Persatuan Gerakan Pembebasan Papua Barat atau United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) Benny Wenda dan Sekretaris Jenderal ULMWP Octovianus Mote.

Benny Wenda merasa lebih berhak bersuara atas nama ULMWP dibanding Octovianus Mote. Perebutan siapa juru bicara di dalam ULMWP ini mengesankan di antara mereka terjadi perbedaan pandangan. Dalam kondisi ketidakkompakan itu perjuangan menaikkan status observer (peninjau) menjadi member (anggota penuh) di Melanesian Spearhead Group (MSG) gagal total.

Sementara di sisi lain, jalan pemberontakan (rebelion) makin tidak jelas, sporadis, disorientasi, beringas, brutal dan tak beradab. Pemberontakan yang mestinya diarahkan pada institusi militer dan kepolisian, malah menyasar pada pembunuhan masyarakat sipil, pekerja sosial-kemanusiaan dan orang-orang tak berdosa orang asli Papua OAP dan non-OAP.

Masing-masing mengklaim diri pemimpin dan di antara mereka saling mencurigai. Di mata pemberontak, jalan diplomasi adalah “tipu saja” seperti yang pernah diungkapkan Egianus Kogeya, pemimpin pemberontakan di wilayah Ndugama-Ndarakma. Menurutnya, diplomasi itu omong-kosong. Egianus bahkan mengancam para pemimpin ULMWP. 

Bisa juga Egianus tidak suka dengan cara Sebby Sambom yang selalu bertindak sebagai Juru Bicara Markas Pusat TPN-PB (sering juga disebut TPN-OPM) yang bermarkas di gubuk kebun di wilayah Papua Nugini. Strategi “baku tipu” membangun pencitraan ini menjadi salah satu ciri politik Melanesia.

Kembali ke sikap Egianus yang non-compromise itu juga yang menjadi faktor utama mengapa pilot maskapai Susi Air Phillip Mark Mehrtens masih dalam sekapannya. Jadi, bukan karena militer Indonesia dan para pemberontak sama-sama tidak mau berdamai seperti analisis di New Zealand Herald di atas.

Salah diagnosa

Di satu sisi, pemerintah juga salah mendiagnosa, sehingga menghidupkan kembali “Almarhum” Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang telah mati terkubur sekian lama. OPM dibangkitkan kembali untuk memperoleh basis legitimasi negara dapat berperang melawan separatisme. Sebab kalau sekadar penegakan hukum terhadap pelaku kriminal bersenjata dengan menggunakan kekuatan militer, hal itu bisa berdampak pada pelanggaran terhadap hukum humaniter internasional. 

Tetapi keputusan pemerintah itu sebuah kekeliruan besar karena OPM sendiri adalah labeling yang entah dibuat oleh orang Papua atau militer Indonesia, hingga kini publik di Indonesia dan Papua tidak tahu. Setelah bolak-balik buku John RG Djopari Pemberontakan Organisasi Papua Merdeka (Grasindo, 1993), penulis tidak menemukan itu, maka secara teori sesungguhnya OPM itu tidak ada. Yang ada hanya pemberontakan orang Papua yang tidak puas dengan keputusan politik Papua menjadi bagian NKRI.

Perjuangan Papua merdeka memang suatu perjuangan yang sia-sia. Karena dari sisi hukum internasional, Papua adalah wilayah kedaulatan NKRI dan pemberontakan di Papua menjadi domain pemerintah Indonesia untuk mengatasinya. Itu sebabnya, mengapa internasionalisasi isu Papua hanya ditanggapi dingin oleh mayoritas negara di dunia dan hanya dimanfaatkan oleh “kelompok mencari” (pinjam istilah Julian Howay) agar dunia (PBB dan negara-negara yang bersimpati) mengakui keberadaan mereka dan “menghidupi” mereka.   

Banyak orang Papua yang eksodus ke luar negeri seperti ke Eropa, Amerika, Papua Nugini, Australia dan negara-negara pulau di Pasifik Selatan bukan semata-mata karena faktor tidak nyaman tinggal di kampung halamannya di Papua di bawah cengkeraman militer masa Orde Baru. 

Mereka eksodus karena faktor lanskap politik yang dibangun Belanda di Papua. Belanda menjanjikan kemerdekaan yang hanya akal-akalan Belanda saja untuk membuat Papua sama dengan Suriname dan Antilen. Bom waktu yang akhirnya dihadapi orang Papua dan Indonesia.

Fakta sepeninggal Belanda sejak 1 Mei 1963, intrik politik dan kekerasan sipil bergayung-sambut tanpa henti. Meskipun hasil Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 sudah disahkan dengan Resolusi 2504 PBB, sebagian orang Papua masih merasa masih ada kekuasaan di atas PBB, yakni Ratu Adil, Manseren Imam Mahdi atau Yesus Kristus. Ideologi mesianisme ini terus menghantui para pendukung Papua Merdeka untuk “berjuang” tanpa henti hingga ke dalam doa-doa gereja.

Menutup ulasan ini, kita mencatat banyak orang Papua yang berjuang Papua Merdeka, ada yang sudah wafat karena usia, juga sadar dan kembali hidup damai di dalam NKRI. Juga masih banyak yang terus berjuang mempertahankan idealismenya. Pertanyaannya, sampai kapan?

Dunia saat ini berada pada tahapan perang proxy, di mana dua kekuatan ekonomi politik dunia memainkan pionnya di wilayah-wilayah yang rentan konflik ideologis. Konflik di Eropa Timur (Rusia-Ukraina) dan Timur Tengah (Israel-Hamas) mungkin terlihat nun jauh di sana, tetapi naiknya nilai tukar dolar Amerika yang telah mendekati Rp 17.000 di sini bisa  menyebabkan krisis 1998 terulang kembali. 

Penulis teringat pidato Presiden Gereja Injili di Indonesia (GIDI) Pendeta Dorman Wandikbo di Kelila dua bulan lalu, Indonesia akan dilanda krisis, sehingga ia meminta jemaatnya segera berkebun. Dunia dan Indonesia akan dilanda kelaparan hebat, include orang Papua akan kelaparan. Kelaparan tentu saja membuat orang kalap dan kekalapan akan membuat orang gelap mata untuk saling membunuh.

Penulis berpendapat, selaku Bapa Gereja Pendeta Wandikbo pasti mendapat vision dalam pergumulannya, sehingga bagi Papua yang terbaik saat ini adalah melanjutkan kehidupan umat manusia (sustainability of human being) dalam kerja, doa, dan kedamaian. 

Lansekap politik dunia berubah dan tentunya saja konstelasi sosial, politik, ekonomi, budaya pun berubah. Kita yang tinggal di Papua dan menjadi pewaris sulung tanah Papua, tak ada cara lain selain meningkatkan kualitas dan kapabilitas diri kita dalam lapangan pengabdian kita masing-masing. 

Sudah banyak darah mengalir di tanah ini. Tanah Papua yang kita cinta dan yang tersisa hanya nestapa. Tidak ada yang untung. Semuanya mengalami kerugian. Dari Terianus Aronggear hingga Terianus Sato, dari John Ariks hingga John Anari, semuanya bak menggarami laut. Tabea, Syowi, Wanyambe, Kinaonak, Amakane, Amanai, Amole.

Tinggalkan Komentar Anda :